Ganjar, Prabowo, Anies: Sengkarut Gagasan Poros Koalisi dan Negosiasi Politik

Bukan elektabilitas, Gagasan seharusnya kini jadi bahan dikedepankan dalam Pilpres

ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra
Memasukan kartu pilihan di kotak suara. (ilustrasi).
Red: Muhammad Subarkah

Oleh: Dr Verdy Firmantoro, Pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya; Peneliti di Pusat Studi Peradaban; dan Analis Komunikasi Politik Indopol


Dinamika pembentukan poros koalisi menemui babak baru jelang Pilpres 2024 yang semakin dekat. Asumsi tiga poros koalisi masih mendominasi wacana publik, meskipun potensi dua poros masih memungkinkan terjadi. Otak-atik strategi dari parpol pengusung dan negosiasi politik di level elite masih belum tuntas.

Sederet nama mulai dari Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan mengisi papan atas tren popularitas dan elektabilitas. Rumus sederhananya, tiga bakal kandidat itu yang merepresentasikan pembentukan poros koalisi.

Sementara itu, dalam kalkulasi politik praktis, adanya kandidat hanya salah satu variabel yang selebihnya ditentukan oleh para king maker. Para penentu itu bisa jadi figur yang elektabilitasnya tidak begitu menonjol di mata publik, tetapi mereka pemilik tiket kandidasi.

Lantas, pertanyaanya dalam proses negosiasi itu sebenarnya siapa yang akan dimenangkan? Harapan publik, partai atau segelintir elite yang punya kuasa lebih mengatur sirkulasi demokrasi?

 

 

Dari Negosiasi ke Koalisi

Tulisan Lewis Rice dari Harvard Kennedy School mencatatkan bahwa negosiasi politik tak lain untuk melakukan kompromi mencapai win-win solution. Namun, dalam praktiknya, hambatan yang ditemui para pihak berinteraksi secara tertutup dan justru terkesan saling menyandera dengan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan. Aturan main di ranah politik memang agak sulit dipastikan, karena yang pasti dari politik itu ketidakpastian. 

Sementara itu, publik sudah menunggu kepastian ke mana arah koalisi, pasangan mana yang lebih serasi, sampai siapa tokoh kunci di balik kandidasi? Harapan publik sebenarnya sederhana, ingin merayakan demokrasi. Kenyataannya, proses negosiasi tak sesederhana itu. Hitung-hitungan plus minus sampai “gak bahaya ta?” secara politik menjadi pertimbangan sentral memilih jalur koalisi. 

Kegagalan melakukan power sharing dengan partai yang merasa punya “saham penuh” atau kepemilikan utama atas kandidat bisa menganggu jalannya komunikasi politik yang stabil. Sementara, klaim politis untuk mendapatkan legitimasi publik menjadi battleground setiap partai pengusung maupun pendukung. Artinya, pembentukan poros koalisi bukanlah proses linier, melainkan bentuk asimetris dari berbagai kepentingan yang menginginkan untuk diakomodasi. Oleh karena itu, kandidat yang akomodatif berpotensi memudahkan pembentukan poros koalisi. Meski, setelah terbentuk poros itu bukan berarti proses negosiasi selesai, tetapi hanya beralih ke tahapan lain untuk saling menegosiasikan kepentingan yang lebih inti. 

 

Dari Koalisi ke Kandidasi

Tiga koalisi yang sementara ini terbentuk bersumber dari tiga bakal capres sebagai simbol poros politik. Poros Prabowo Subianto (PS) diusung oleh Gerindra (78 kursi/ 13,57%), Golkar (85 kursi/ 14,78%), PAN (44 kursi/ 7,65%), dan Demokrat (54 kursi/ 9,39%). Poros Ganjar Pranowo (GP) diusung oleh PDI Perjuangan (128 kursi/ 22,26%) dan PPP (19 kursi/ 3,30%). Sementara, poros Anies Baswedan (AB) diusung oleh Nasdem (59 kursi/ 10,26%), PKB (58 kursi/ 10,09 %) dan PKS (50 kursi/ 8,70%). Dinamika persilangan poros masih sangat potensial terjadi hingga resmi didaftarkan ke KPU. 

Sebagaimana regulasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), persyaratan perolehan kursi menjadi pertimbangan koalisi menentukan proyeksi. Parpol atau gabungan parpol mengantar usulan capres dan cawapres yang dipertarungkan di pasar elektoral. Proses kandidasi dimatangkan oleh parpol hingga last minute dan aksi saling intip strategi terus berlangsung untuk berebut simpati.

Parpol di satu sisi menjadi kendaraan pencalonan capres dan cawapres. Di sisi lain, data yang dirilis Indopol Survey & Consulting per Juni 2023 menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap parpol masih cukup rendah berada di angka 63,3 persen. Lebih, lanjut tidak kurang dari 36,7 persen menyebutkan tidak percaya bahkan sangat tidak percaya terhadap parpol mampu mengatasi persoalan bangsa. Krisis kepercayaan terhadap lembaga demokrasi menjadi hambatan negosiasi ke publik, sehingga negosiasi politik sangat elitis. Alhasil, negosiasi yang deliberatif sulit tercapai, ketika koalisi lebih sebagai mekanisme kompromi para petinggi partai.

 

 

Menegosiasikan Koalisi Gagasan

Pertarungan pengaruh di level elite politik sering kali lebih mendominasi dari pertarungan substantif para kandidat yang berkontestasi. Alhasil, alih-alih fokus menawarkan program ke publik, namun justru energi tersita dengan meyakinkan para king maker. Lebih lanjut, sejumlah pihak juga saling berperang narasi dengan membangun opini publik yang multitafsir.

Persoalannya, dinamika proses negosiasi politik tidak sepenuhnya dipahami masyarakat. Apakah itu riil atau sekedar gimmick, sementara publik menganggap semua akrobat politik serius, sehingga menyulut emosi yang berpotensi menimbulkan chaos.

Sudah waktunya panggung demokrasi diisi dengan negosiasi yang melahirkan koalisi gagasan bukan sekedar partisan. Publik tidak hanya diajak ke sana ke mari mengikuti ritme dan kehendak elite, tetapi dibuka kran untuk melakukan uji gagasan terhadap para kandidat capres atau cawapres.

Dalam konteks ini, Kuliah Kebangsaan yang diselenggarakan FISIP UI atau Dialog Kebangsaan yang diadakan oleh UGM dengan mengundang para capres potensial untuk menyajikan sudut pandangannya merupakan contoh yang bagus. Kampus memang bukan tempat kampanye, melainkan kampus adalah bagian dari rumah demokrasi. 

Dinamika poros koalisi sudah semestinya dibangun secara demokratis. Interaksi dan interdependensi antar elite, parpol, dan publik selalu berkembang.

Menegosiasikan koalisi gagasan menjadi harapan bersama untuk memastikan bahwa segala bentuk kerja sama politik bertujuan memenangkan rakyat dan meloloskan kandidat terbaik di bursa elektoral.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler