Studi: Ujaran Kebencian Anti-Muslim di India Meningkat Saat Pemilu

80 persen ujaran kebencian terjadi di negara bagian yang dipimpin partai nasionalis.

REUTERS/Adnan Abidi
Sebuah keluarga mengendarai sepeda motor di jalan sepi menyusul bentrokan antara umat Hindu dan Muslim di Distrik Nuh, Haryana, India, 1 Agustus 2023.
Rep: Rossi Handayani Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Kelompok pemantau serangan terhadap kelompok minoritas yang berbasis di Washington, Hindutva Watch memberikan laporan terkait dengan meningkatnya tren ujaran kebencian anti-Muslim di India.

Dilansir dari Aljazirah pada Rabu (27/9/2023), menurut laporan Hindutva Watch, insiden ujaran kebencian anti-Muslim di India rata-rata terjadi lebih dari satu kali dalam sehari pada paruh pertama 2023. Paling banyak terjadi di negara-negara bagian yang akan mengadakan pemilu mendatang.

Berdasarkan laporan yang diterbitkan pada Senin (25/9/2023), terdapat 255 insiden pertemuan ujaran kebencian yang menargetkan umat Islam pada paruh pertama 2023 yang terdokumentasi. Tidak ada data perbandingan untuk tahun-tahun sebelumnya.

Kelompok ini menggunakan definisi PBB tentang perkataan yang mendorong kebencian sebagai “Segala bentuk komunikasi, yang menggunakan bahasa yang berprasangka atau diskriminatif terhadap individu atau kelompok berdasarkan atribut seperti agama, etnis, kebangsaan, ras, warna kulit, keturunan, jenis kelamin, atau faktor identitas lainnya”.

Menurut laporan tersebut, sekitar 70 persen insiden terjadi di negara-negara bagian yang dijadwalkan mengadakan pemilu pada 2023 dan 2024. Kemudian menambahkan 80 persen peristiwa ujaran kebencian terjadi di negara-negara bagian yang diperintah oleh Partai Nasionalis Hindu Bharatiya Janata (BJP) yang dipimpin oleh Perdana Menteri Narendra Modi.

Baca Juga


Maharashtra menyumbang 29 persen dari insiden tersebut...

Negara bagian Maharashtra, Karnataka, Madhya Pradesh, Rajasthan, dan Gujarat merupakan negara bagian dengan jumlah tertinggi perkumpulan ujaran kebencian. Maharashtra menyumbang 29 persen dari insiden tersebut, demikian temuan laporan tersebut.

Mayoritas peristiwa ujaran kebencian menyebutkan teori konspirasi dan seruan kekerasan serta boikot sosial ekonomi terhadap umat Islam. Hindutva Watch menyatakan mereka melacak aktivitas online kelompok sayap kanan Hindu, memverifikasi video ujaran kebencian yang diposting di media sosial dan mengumpulkan data tentang insiden terisolasi yang dilaporkan oleh media.

Pemerintahan Modi menyangkal adanya pelecehan terhadap kelompok minoritas. Kedutaan Besar India di Washington tidak menanggapi permintaan komentar.

Seorang legislator Muslim dari Mumbai, ibu kota Maharashtra, Abu Asim Azmi mengatakan undang-undang anti-teror harus diterapkan untuk mengendalikan ujaran kebencian. “Mahkamah Agung telah melakukan pengamatan yang kuat terhadap ujaran kebencian. Apakah pemerintah menjadi begitu tidak berdaya sehingga mereka tidak dapat mengambil tindakan?” Jika situasi hukum dan ketertiban di negara ini memburuk, 70 persennya disebabkan oleh ujaran kebencian,” ucapnya.

Azmi mengatakan, ujaran kebencian terus dilontarkan bahkan di dalam Parlemen India. Dia mengacu pada insiden pekan lalu ketika seorang anggota parlemen BJP melontarkan pernyataan Islamofobia dan rasis terhadap seorang anggota parlemen Muslim dalam sebuah debat.

"Pernyataan seperti itu dilontarkan oleh orang-orang yang telah mengambil sumpah konstitusi. Tidak ada yang lebih memalukan dari ini,” kata Azmi.

Penganiayaan umat Islam...

Kelompok hak asasi manusia juga menuduh adanya penganiayaan terhadap umat Islam di bawah pemerintahan Modi, yang menjadi perdana menteri pada 2014. Mereka menunjuk pada undang-undang kewarganegaraan 2019 yang digambarkan sebagai diskriminatif secara mendasar oleh Kantor Hak Asasi Manusia PBB karena mengecualikan migran Muslim, undang-undang anti-konversi yang menentang hak kebebasan berkeyakinan yang dilindungi konstitusi, dan pencabutan status semi-otonom Kashmir yang mayoritas penduduknya Muslim pada 2019.

Di samping itu, ada juga pembongkaran properti Muslim atas nama penghapusan bangunan ilegal dan larangan mengenakan jilbab di ruang kelas di Karnataka ketika BJP berkuasa di negara bagian selatan tersebut. Sebagai tanggapan, juru bicara BJP Tom Vadakkan menyalahkan partai oposisi karena diduga mempromosikan ujaran kebencian.

“Jika Anda berbicara tentang ujaran kebencian yang dibuat oleh anggota parlemen BJP di parlemen, itu urusan ketua (parlemen) yang akan mengambil tindakan. Atas dasar apa laporan tersebut mengatakan 80 persen ujaran kebencian dibuat di negara bagian yang dikuasai BJP,” kata dia.

Di sisi lain, aktivis dan jurnalis Teesta Setalvad mengatakan kebencian mengalir dari atas di India. “Kebencian adalah kebijakan negara dan digunakan untuk mobilisasi politik,” kata dia.

Setalvad mengatakan, pejabat terpilih dalam posisi konstitusional telah menggunakan penghinaan, stigma dan pelecehan terhadap minoritas India, terutama Muslim. “Negara-negara bagian yang melakukan pemungutan suara sebagian besar merupakan tempat terjadinya hasutan tersebut. Itu adalah keheningan atas keterlibatan. Keheningan dan impunitas yang dinikmati oleh pelaku kejahatan kebencian inilah yang membuat kehidupan sehari-hari kelompok minoritas India rapuh dan rentan,” kata dia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler