Taliban Kecewa Pemerintahannya di Afghanistan tak Kunjungi Diakui PBB

Taliban menuduh PBB disandera dan dimanfaatkan untuk melawan Afghanistan.

AP Photo/Rodrigo Abd
emerintahan Taliban kembali gagal diakui legitimasinya dan sanksi terhadap Afghanistan tak dicabut.
Rep: Kamran Dikarma Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL – Taliban menyesalkan diskusi terbaru mengenai Afghanistan di Dewan Keamanan PBB. Hal itu karena dalam diskusi tersebut pemerintahan Taliban kembali gagal diakui legitimasinya dan sanksi terhadap Afghanistan tak dicabut.

Taliban menuduh PBB disandera dan dimanfaatkan untuk melawan Afghanistan. “Politik tekanan dan paksaan masih berlaku. Kelompok-kelompok egois ini masih berperang dengan kami dan mereka menyandera PBB dan menggunakannya untuk melawan kami,” kata Juru Bicara Taliban Zabihullah Mujahid, Rabu (27/9/2023), dikutip laman Middle East Monitor.

Mujahid tak menjelaskan siapa yang dia maksud dengan kelompok-kelompok egois. Dia menambahkan, Taliban menyesalkan diskusi di Dewan Keamanan PBB hanya terfokus pada topik kecil dan domestik seperti pendidikan perempuan serta pekerjaan mereka. “Di Afghanistan, keamanan, amnesti umum, perdamaian dan stabilitas, pembangunan ekonomi, pembentukan pasukan keamanan, penyediaan anggaran dari pendapatan internal, perluasan pendidikan di seluruh negeri dan puluhan perkembangan lainnya belum dibahas,” ujarnya.

“Perlu dibahas juga berakhirnya daftar hitam di PBB, pencabutan sanksi, pelepasan aset yang disita dan, terakhir, pengakuan Imarah Islam Afghanistan dan penyerahan kursi Afghanistan kepada warga Afghanistan,” kata Mujahid. Imarah Islam adalah nama yang dipakai Taliban untuk mengidentifikasi pemerintahannya di Afghanistan.

Pada Selasa (26/9/2023) lalu, Dewan Keamanan PBB menggelar sesi diskusi untuk membahas Afghanistan. Namun ditekankan bahwa dialog dan keterlibatan dengan perwakilan Taliban dalam pembicaraan bukan berarti memaafkan kebijakan domestiknya di Afghanistan. Taliban telah menunjuk mantan juru bicaranya, Suhail Shaheen, sebagai perwakilan tetap mereka di PBB. Namun PBB belum menerima pencalonan Shaheen karena Taliban masih belum diakui sebagai pemegang kekuasaan resmi di Afghanistan.

Taliban berhasil menguasai kembali Afghanistan pada Agustus 2021. Namun hingga kini, belum ada satu pun negara yang mengakui pemerintahan mereka. Salah satu faktor penyebabnya adalah kebijakan Taliban yang tak memenuhi hak-hak kaum perempuan di negara tersebut.

Pada Juni lalu, Pelapor Khusus PBB untuk Situasi HAM Afghanistan Richard Bennett mengatakan, perlakuan Taliban terhadap perempuan dan anak perempuan di Afghanistan dapat dikategorikan sebagai apartheid gender. Hal itu karena Taliban mengekang hak-hak dasar mereka.

Dia menjelaskan, PBB mendefinisikan apartheid gender sebagai diskriminasi seksual ekonomi dan sosial terhadap individu karena gender atau jenis kelamin mereka. “Kami telah menunjukkan perlunya lebih banyak eksplorasi apartheid gender, yang saat ini bukan merupakan kejahatan internasional, tetapi bisa menjadi demikian,” ujar Bennett.  

“Tampaknya jika seseorang menerapkan definisi apartheid, yang saat ini untuk ras, pada situasi di Afghanistan dan menggunakan seks daripada ras, tampaknya ada indikasi kuat yang mengarah ke sana,” kata Bennett.

Kehidupan perempuan Afghanistan saat ini memang dikekang oleh Taliban. Anak perempuan dilarang melanjutkan pendidikan setelah mereka lulus sekolah dasar. Sekolah menengah dan universitas tak diizinkan bagi mereka. Keputusan melarang perempuan Afghanistan berkuliah diambil Taliban pada Desember tahun lalu.

Tak berselang lama setelah itu, Taliban memutuskan melarang perempuan Afghanistan bekerja di lembaga swadaya masyarakat atau organisasi non-pemerintah. Sebelumnya Taliban juga telah menerapkan larangan bagi perempuan untuk berkunjung ke taman, pasar malam, pusat kebugaran, dan pemandian umum. Taliban pun melarang perempuan bepergian sendiri tanpa didampingi saudara laki-lakinya. Ketika berada di ruang publik, perempuan Afghanistan diwajibkan mengenakan hijab.

Baca Juga


Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler