Palestina Sebut Perdamaian Bisa Terwujud Jika Israel Akhiri Pendudukan

Israel sedang melancarkan serangan ke Jalur Gaza merespons serangan roket Hamas.

EPA-EFE/ATEF SAFADI
Kendaraan terbakar di Ashkelon, Israel, setelah peluncuran roket dari Gaza, 7 Oktober 2023. Tembakan roket diluncurkan dari Jalur Gaza pada Sabtu dini hari dalam serangan mendadak yang diklaim Hamas.
Red: Israr Itah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Luar Negeri dan Ekspatriat Palestina pada Sabtu (7/10/2023) mengatakan, mengakhiri pendudukan Israel di wilayah Palestina adalah satu-satunya jaminan terhadap perdamaian, keamanan dan stabilitas di kawasan.

Baca Juga


Dalam sebuah pernyataan, kementerian tersebut menyatakan bahwa mereka telah berulang kali memperingatkan bahwa jika konflik Israel-Palestina tidak diselesaikan dan rakyat Palestina tidak diberikan hak untuk menentukan nasib sendiri, maka akan ada konsekuensi yang serius, dikutip dari kantor berita Palestina WAFA.

"Kami juga telah memperingatkan konsekuensi dari provokasi dan serangan yang dilakukan setiap hari, terorisme yang terus berlanjut oleh para pemukim dan pasukan pendudukan Israel, serta penggerebekan terhadap Masjid Al Aqsa dan situs-situs suci Kristen dan Islam," lanjut pernyataan tersebut.

Pernyataan tersebut disampaikan atas respons kondisi saat ini ketika Israel sedang melancarkan serangan ke Jalur Gaza. Serangan tersebut dilakukan sebagai balasan atas rentetan roket yang diluncurkan pasukan militan Palestina ke wilayah Israel pada Sabtu pagi waktu setempat.

Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan serangan Israel di Jalur Gaza itu telah menewaskan sedikitnya 198 orang. 

Kementerian Luar Negeri dan Ekspatriat Palestina menyatakan satu-satunya cara untuk mencapai perdamaian dan keamanan abadi di Timur Tengah adalah dengan mengakhiri pendudukan Israel atas Negara Palestina, termasuk Yerusalem Timur dan "Garis Hijau".

Garis Hijau adalah batas-batas yang ada antara Israel dan negara-negara tetangganya yang disepakati dalam Perjanjian Gencatan Senjata 1949. Namun, Israel mengabaikan batas tersebut dalam Perang Enam Hari 1967 dan merebut wilayah-wilayah, termasuk Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur.

“Penolakan Israel terhadap perjanjian yang ditandatangani dan ketidakpatuhan terhadap resolusi legitimasi internasional menyebabkan hancurnya proses perdamaian dan tidak adanya solusi terhadap masalah Palestina setelah 75 tahun penderitaan dan pemindahan," kata kementerian tersebut.

Kemlu Palestina menyebut pula bahwa kebijakan standar ganda, diamnya masyarakat internasional terhadap praktik kriminal dan rasis yang dilakukan pasukan pendudukan Israel terhadap rakyat Palestina, serta berlanjutnya ketidakadilan dan penindasan yang dialami rakyat Palestina, menjadi alasan di balik situasi memanas saat ini.

"Perdamaian membutuhkan keadilan, kebebasan dan kemerdekaan bagi rakyat Palestina, kembalinya para pengungsi, dan implementasi penuh resolusi legitimasi internasional,” lanjutnya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler