Korporasi yang Bungkam Soal Perang Israel-Hamas, Namun Vokal Saat Rusia Invasi Ukraina
Banyak merek ternama yang vokal terhadap perang Ukraina.
REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Perusahaan-perusahaan besar menyuarakan pendapat dengan garang dan tegas saat Rusia menggelar invasi skala penuh ke Ukraina tahun lalu. Raksasa-raksasa dari Adidas sampai Disney, Bank of America dan Toyota berjanji memberikan dukungan finansial dan moral pada Ukraina.
Saat itu CEO Apple Tim Cook dan CEO Citigroup Jane Faster menggunakan mengenakan kerah bendera Ukraina sebagai bentuk solidaritas. Banyak perusahaan, termasuk raksasa minyak ExxonMobil dan merek barang rumah tangga Unilever, eksplisit mengecam Moskow.
Lebih dari 1.000 perusahaan akhirnya berjanji untuk menghentikan atau mengurangi bisnis mereka di Rusia seiring dengan memburuknya persepsi terhadap Moskow. Jika dibandingkan, tanggapan terhadap konflik Israel-Hamas perusahaan-perusahaan besar lebih banyak bungkam.
Banyak merek ternama yang vokal terhadap perang Ukraina menolak mempertimbangkan konflik Timur Tengah. Microsoft, Google, Hewlett Packard, JP Morgan dan Goldman Sachs menunjukkan dukungan kepada Israel dan mengutuk Hamas atas serangan yang dilakukan gerakan perjuangan pembebasan Palestina tersebut akhir pekan lalu.
Sebaliknya, perusahaan-perusahaan besar diam terhadap serangan udara balasan Israel di Gaza, yang sejauh ini menewaskan sedikitnya 1.799 warga Palestina dan melukai lebih dari 6.300 orang.
PBB dan organisasi kemanusiaan telah memperingatkan akan terjadinya bencana kemanusiaan di Gaza setelah Israel memerintahkan 1,1 juta warga Palestina yang terjebak di wilayah tersebut pindah ke selatan dalam waktu 24 jam sebelum pasukan Israel menggelar serangan darat.
Pakar pasar dunia mengatakan bagi perusahaan-perusahaan yang dikenal sering menggembar-gemborkan kredibilitas keadilan sosialnya, konflik Israel-Palestina merupakan isu yang sangat menantang karena sensitivitas dan dinamika yang kompleks.
Editor Campaign Asia Rahat Kapur mengatakan historisitas dan kompleksitas dalam konflik tersebut membuat perusahaan berhati-hati terlibat dalam “brandifikasi”. “Ada godaan untuk mengeluarkan sudut pandang biner untuk menunjukkan semangat dan kekuatan yang seringkali menjadi bumerang ketika pengikut atau basis konsumen melihat upaya ini,” kata Kapur seperti dikutip dari Aljazirah, Sabtu (14/10/2023).
“Demikian pula, sikap merek yang performatif di bidang sosial sering kali dapat menimbulkan lebih banyak reaksi negatif, kerusakan reputasi yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan hilangnya sentimen dan loyalitas pelanggan dalam semalam, yang semuanya sangat sulit, memakan waktu, dan mahal untuk dipulihkan,” tambahnya.
Menunjukkan dukungan khususnya terhadap Palestina kemungkinan akan menjadi langkah berisiko bagi perusahaan-perusahaan di negara-negara Barat yang banyak menggambarkan Hamas sebagai kelompok “teroris”.
Ekspresi solidaritas di negara-negara seperti Amerika Serikat dan Inggris sebagian besar terbatas pada organisasi kecil seperti asosiasi mahasiswa dan pendukung Green Brigade of Celtic Football Club.
Di AS, demonstrasi pro-Palestina selama seminggu terakhir mendapat pukulan keras dari para kritikus yang menuduh penyelenggara aksi membenarkan kekerasan yang dilakukan Hamas.
Prancis melarang semua protes pro-Palestina atas dasar ketertiban umum, sementara Jerman, Australia, Belanda dan Inggris memperingatkan atau membatasi kelompok pro-Palestina yang dituduh mendukung Hamas atau menganjurkan pandangan anti-Yahudi.
“Tindakan balasan Israel dengan nama Operasi Pedang Besi, sejak Senin, telah mengakibatkan kematian ratusan warga Palestina, banyak di antaranya adalah anak-anak,” kata dekan Sekolah Bisnis Universitas Teknologi Sydney, Carl Rhodes pada Aljazirah.
“Belum ada tanggapan nyata dari perusahaan-perusahaan Barat, yang tindakannya lebih bersifat politis daripada kemanusiaan,” tambah Rhodes.
Bisnis besar juga menghadapi kritik karena tidak memberikan kecaman yang lebih keras terhadap serangan paling mematikan di Israel sejak berdirinya negara tersebut. Dalam wawancara dengan CNN pekan ini, CEO Anti-Defamation League Baik Jonathan Greenblatt mengatakan tanggapan perusahaan Amerika “sangat mengecewakan, paling buruk menimbulkan bencana”.
Konsumen sendiri memberikan sinyal ambivalen mengenai apakah mereka lebih menyukai perusahaan yang mempertimbangkan masalah sosial dan politik.
Dalam survei tahun 2019 yang dilakukan Sprout Social, lebih dari dua pertiga konsumen Amerika mengatakan “penting bagi merek untuk mengambil sikap publik terhadap masalah sosial dan politik”.
Namun, lebih dari setengahnya mengatakan mereka akan memboikot merek-merek yang tidak “sejalan dengan pandangan mereka” sementara 34 persen mengatakan mereka akan mengurangi pengeluaran untuk merek-merek tersebut.
Pada tahun 2020, jajak pendapat yang dilakukan oleh Pew Research Center menemukan 55 persen pengguna media sosial di Amerika merasa “lelah” dengan postingan politik secara umum.
Profesor pemasaran di Said Business School di Oxford, Felipe Thomaz mengatakan persepsi terhadap kampanye keadilan sosial yang dilakukan perusahaan seringkali bergantung pada keyakinan dan nilai-nilai pribadi seseorang. “Kami menggunakan merek sebagai cara untuk mengkomunikasikan berbagai hal tentang diri kami (konsumen), jadi masuk akal jika konsumen ingin merek mencerminkan opini Anda tentang dunia,” kata Thomaz.
Thomaz mengatakan risiko yang dipertaruhkan sangat tinggi, karena itulah merek sering kali lebih memilih untuk tetap berpegang pada komentar umum yang mengecam kekerasan atau tidak mengatakan apa pun.
“Ketika merek mengambil sikap yang berlawanan dengan mayoritas penggunanya, pernyataan tersebut menjadi serangan terhadap identitas mereka, dan mereka memberontak. Jadi itu berisiko,” ujarnya.