Jika Memang Ada Alien di Luar Angkasa Lebih Cerdas, Mengapa Manusia yang Jadi Khalifah?
Alquran mengisyaratkan adanya kehidupan di luar planet bumi
Oleh : Prof KH Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Pertanyaan teologis yang sering mengusik di dalam benak kita ada lah mengapa alam semesta dengan segala isinya, termasuk para malaikat, jin, hewan, tumbuhtum buhan, dan benda-benda mineral lainnya mau tunduk kepada manusia? Bukankah usia pengabdian mereka lebih tua daripada manusia?
Bukankah mereka tidak pernah ada yang berdosa dan membangkang perintah Allah SWT? Apa dan di mana letak keistimewaan manusia sampai mereka mau menundukkan diri kepada manusia? Pertanyaan mendasar di atas sering dijawab secara dangkal dan simplistik oleh sebagian orang.
Mereka mengatakan manusia dianugerahi akal di samping diberi nafsu. Selain itu, manusia telah ditunjuk oleh Allah sebagai khalifah di alam semesta ini. Jawaban seperti ini ditolak para sufi dengan alasan bahwa manusia bukan satu-satunya ciptaan yang diberi akal (al-hayawan al-nathiqh), tetapi banyak sekali makhluk lain yang memiliki akal.
Bahkan, mungkin mereka lebih cerdas berpikirnya dibandingkan manusia. Para ahli binatang menemukan banyak bukti bahwa binatang memiliki kecerdasan berpikir bertingkat-tingkat. Monyet, misalnya, dapat menyusun kursi di atas meja untuk menggapai pisang yang digantung di langit-langit.
Seekor anjing dapat disekolahkan menjadi anjing pelacak yang dapat mengidentifikasi objek dengan cerdas. Apalagi bangsa jin dan makhluk spiritual lainnya.
Menurut para ahli, jika fenomena penampakan UFO yang tahuntahun terakhir banyak terlihat benar-benar ada, dipastikan makhluk UFO itu lebih cerdas dalam banyak segi daripada manusia. Pendapat ini didukung oleh Alquran:
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ وَالْفُلْكَ تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِأَمْرِهِ وَيُمْسِكُ السَّمَاءَ أَنْ تَقَعَ عَلَى الْأَرْضِ إِلَّا بِإِذْنِهِ
“Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya?.” (QS al-Hajj [22]: 65).
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tandatanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS al-Jasiyah [45]:13).
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يُسَبِّحُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالطَّيْرُ صَافَّاتٍ ۖ كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلَاتَهُ وَتَسْبِيحَهُ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
“Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS al- Nur [24]:41).
Baca juga: Tempat Terendah di Bumi Lokasi Kekalahan Romawi dan Kebenaran Alquran yang Diakui Barat
Khusus ayat ini menggunakan kata man fi al-samawati wa al-ardh. Dalam kaidah bahasa Arab atau Ulumul Quran, penggunaan huruf ma menunjuk pada sesuatu yang tidak berakal dan huruf man untuk makhluk cerdas atau berakal. Ayat di atas mengisyaratkan, makhluk berpikir dan cerdas bukan hanya di bumi, tetapi juga makhluk lain yang ada di langit.
Menurut Ibnu Arabi, keistimewaan manusia yang kemudian mengantarkannya menjadi khalifah lalu alam semesta tunduk kepada nya, sama sekali bukan karena akalnya. Ia mengatakan, kemampuan berpikir bukan ciri khas manusia, melainkan menjadi fenomena alam semesta.
Ia menegaskan, keliru besar orang yang beranggapan keistimewaan utama yang dimiliki manusia karena ia sebagai makhluk berpikir. Keistimewaan yang dimiliki manusia, ungkap Ibnu Arabi, adalah kesempurnaan manusia sebagai lokus penampakan namanama (asma) dan sifat-sifat Tuhan.
Alam mineral merupakan lokus paling sederhana dapat menerima penampakan tersebut, lalu disusul oleh tumbuh-tumbuhan, binatang, dan makhluk-makhluk spiritual.
Lagi pula, semua unsur alam lain ada pada diri manusia, seperti di dalam tubuh manusia ada unsur mineral (tanah dan air), tumbuhtumbuhan, dan binatang.
Dari sisi spiritual manusia juga memilikinya. Bahkan, tidak tanggung- tanggung, Allah SWT sendiri yang meniupkan ruh-Nya ke dalam diri Adam. Dengan demikian, secara lahir dan batin manusia merupakan ciptaan terbagus. Di dalam Alquran, surah Shad ayat 75, secara eksplisit Allah SWT menciptakan manusia lengkap dengan kedua tangan-Nya. Dalam surat tersebut Allah SWT berfirman:
قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ ۖ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ
“Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orangorang yang (lebih) tinggi?’’
Manusia disebut sebagai lokus penampakan asma Allah karena ia dapat memantulkan secara sempurna semua asma Allah SWT. Sedangkan makhluk-makhluk lainnya hanya bisa memantulkan sebagian.
Manusia bisa mamantulkan asma Allah SWT, termasuk nama-nama aktif-Nya yang terkesan saling berlawanan satu sama lain. Seperti asma Yang Mahaindah (al-Jamal) dan Yang Mahaagung (al-Jalal), Yang Mahalembut (al- Lathif) dan Yang Mahapemaksa (al-Qahhar), serta Yang Mahapemberi Manfaat (al-Nafi’) dan Yang Mahapemberi Bahaya (al-Dhar).
Alam mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan malaikat tidak mengenal dosa dan maksiat karena itu sulit kita membayangkan mereka dapat memantulkan sifat-sifat Allah Yang Mahapemaaf (al-‘Afuw), Yang Mahapenerima Tobat (al-Tawwab), dan Yang Mahapengampun terhadap segala dosa (al-Gafur).
Dari sudut pandang inilah, Sayyid Husain Nasr menyebut manusia sebagai satu-satunya makhluk teomorfis atau makhluk eksistensialis, yang bisa turun naik martabatnya di mata Tuhan. Dari sudut pandang ini juga, al-Jilli melihat manusia sebagai makhluk paripurna atau insan kamil (akan dibahas dalam artikel mendatang).
Manusia bisa melejit sampai ke puncak di atas dari segala puncak, seperti disimbolkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam kisah Isra Mi’raj-nya yang sampai ke Sidratul Muntaha, di mana sang Ji bril sendiri meminta maaf kepada Nabi Muhammad tidak bisa mendampinginya ke puncak karena “energi”-nya sudah tidak sanggup lagi mendaki. Sebaliknya, manusia juga bisa tergelincir jatuh ke lembah paling hina (asfala safilin), sebagaimana diisyaratkan dalam Alquran:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayatayat Allah) dan mereka mempu nyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan me reka mem punyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk men dengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai bina tang ternak, bah kan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS al-A’raf [7]: 179).
Ayat ini menggambarkan kepada kita betapa manusia itu sangat riskan dalam menjalani kehidupannya. Ada kalanya naik, statis di tempat, dan ada kalanya jatuh ke bawah. Tergantung seberapa jauh manusia bisa mengidentifikasikan diri dengan sifat-sifat dan namanama Allah SWT.
Baca juga: Ini Peperangan yang Dimenangkan Romawi Sebagaimana Dikabarkan Alquran Surat Ar Rum
Manusia paripurna (insan kamil) inilah yang merupakan khalifah sesungguhnya. Menurut Ibnu Arabi, manusia yang tidak sampai kepada derajat kesempurnaan (rutbah al-kamal) adalah binatang yang menyerupai manusia dan tidak layak menyandang predikat khalifah, bahkan tidak layak menyandang gelar insan.
Yang layak menyandang predikat insan kamil dan sekaligus menyandang posisi khalifah adalah para nabi dan wali. Namun, bagi me reka yang belum mencapai mar tabat tersebut tetap tidak boleh putus asa karena masih terbuka pintu lebar bagi manusia untuk meraih gelar tersebut.
Upaya mencapai predikat insan kamil menurut para sufi ialah mencontoh sifat-sifat Tuhan, sebagaimana disabdakan Nabi Muhammad, “Takhallaqu bi akhlaqillah (Berakhlaklah sebagaimana akhlak nya Allah).” Di samping itu, kita juga diminta mencontoh dan meneladani akhlak Nabi Muhammad.
Hal ini oleh Aisyah disebutkan, “Kana khulquhu Al-Qur’an (Akhlak Nabi ialah Alquran).” Di sinilah keterkaitan para sufi dengan syariat karena tidak mungkin seseorang bisa sampai ke puncak tanpa melewati syariat sebagai pintu gerbang utama.
Seseorang yang berusaha untuk meneladani Tuhan dalam sifat-sifat- Nya, digambarkan oleh seorang filsuf Muslim Ibnu Sina. Orang itu akan selalu bergembira dan banyak tersenyum karena hati nya telah dipenuhi kegembiraan sejak ia mengenal Tuhannya. Di mana-mana ia melihat hanya satu, yaitu kebenaran, melihat Yang Mahabenar lagi Mahasuci itu.