Tak Hanya Penjajahan dan Genosida, Israel Juga Tempuh Siasat Ini untuk Kuasai Palestina
Israel juga tingkatkan kesuburan warganya untuk tambah populasi
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Seorang perempuan di Israel memiliki kurang dari tiga anak, sampai merasa harus menjelaskannya kepada semua orang. Dan bahkan meminta maaf atas hal tersebut, karena jumlah anaknya di bawah tiga. Inilah yang digambarkan seorang ahli demografi Israel saat menjelaskan upaya Israel meningkatkan kesuburan warganya.
Warga Israel memiliki lebih banyak anak dibandingkan negara-negara kaya lainnya. Menurut laporan The Economist, tingkat kesuburan rata-rata di Inggris adalah 1,6 per perempuan, dan di Prancis 1,8 per perempuan. Namun di Israel mencapai 2,9 per perempuan.
Keuntungan demografis di Israel dan wilayah pendudukan Palestina mempunyai konsekuensi geopolitik dan ekonomi. Di antara 9,5 juta penduduk Israel, orang-orang Arab pedalaman yang sebagian besar beragama Islam, berjumlah sekitar 21 persen dari total populasi Israel.
Sementara orang Yahudi berjumlah sekitar 74 persen. Namun jika ditambah populasi penduduk di Tepi Barat dan Jalur Gaza, maka mayoritas Yahudi tadi turun menjadi hampir setengahnya. Karena itu, angka kelahiran selalu menjadi hal yang penting, dan para pemimpin Israel dan Palestina selalu berupaya untuk menyelidiki dan meneliti angka tersebut.
Baca juga: Doa Lengkap Ini untuk Mohon Ampunan dari Segala Jenis Dosa
Mantan pemimpin Palestina Yasser Arafat menggambarkan rahim wanita Palestina sebagai senjata paling ampuh rakyat Palestina. Proyeksi demografi menunjukkan bahwa jumlah warga Palestina yang tinggal di antara Sungai Yordan dan Laut Mediterania pada akhirnya akan melebihi jumlah warga Yahudi.
Di sisi lain, Perdana Menteri Israel yang paling lama menjabat, Benjamin Netanyahu, menyadari hal ini dan punya kekhawatiran yang kuat akan hal ini. Pada 2003, dia menyatakan kekhawatirannya karena angka kelahiran warga Palestina yang jauh lebih tinggi. Ini menjadi ancaman yang melemahkan mayoritas Yahudi di Israel.
Perbedaan antara angka kelahiran perempuan Palestina dan angka kelahiran perempuan Israel pada saat itu sangat besar. Ini mengakibatkan semakin lebarnya kesenjangan demografi antara kedua belah pihak.
Para wanita Palestina yang berada di wilayah pedalaman yang diduduki, mempunyai anak hampir dua kali lipat dibandingkan perempuan Israel. Namun dalam beberapa dekade terakhir, ada penurunan angka kelahiran orang Palestina, sedangkan angka kelahiran orang Yahudi Israel meningkat.
Baca juga: Gaza Masih Memanas, Baca Doa Qunut Nazilah ini Agar Allah SWT Lindungi Palestina
Tingkat kesuburan di kalangan warga Palestina pada 1960 adalah 9,3. Namun angka ini menurun pada tahun-tahun berikutnya hingga mencapai 4,7. Bahkan menurun hampir setengahnya.
Lalu terus menurun hingga mencapai 3,0 saat ini. Selain itu, angka kelahiran warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat menurun dari 4,6 pada tahun 2003, menjadi 3,8 pada tahun 2019.
Data Pew Research Center menunjukkan bahwa umat Islam memiliki tingkat kesuburan tertinggi dibandingkan seluruh kelompok agama lain di dunia. Tetapi angka ini mengalami penurunan tajam, dari 4,3 pada 1995 menjadi 2,9 pada 2015.
Tujuh negara Arab termasuk di antara 12 negara yang mencatat penurunan terbesar dalam tingkat kesuburan dunia antara akhir tahun 1970-an dan pertengahan tahun 2000-an. Hal ini juga terjadi di Iran, sehingga para ulama mendesak agar memiliki lebih banyak anak, karena angka kelahiran di sana turun dari 7,0 pada tahun 1984 menjadi 1,7.
Keadaan sebaliknya justru terjadi pada Israel. Angka kelahiran di kalangan Yahudi Israel terus bertambah. Meski angka kesuburan di kalangan Yahudi Israel menurun selama 1960 hingga 1990, dari 3,4 menjadi 2,6, angka kelahiran mereka kemudian meningkat, sehingga saat ini sebesar 3,1.
Sebagian besar alasan peningkatan ini disebabkan oleh berlipat gandanya jumlah penganut agama Yahudi (Haredim) di Israel. Tingkat kesuburan mereka adalah 6,6, lebih dari dua kali lipat tingkat kesuburan di kalangan Yahudi di Israel, dan tiga kali lipat tingkat kesuburan di kalangan Yahudi sekuler.
Ben David, seorang ekonom di Universitas Tel Aviv dan Shoresh Institute, mengemukakan bahwa inilah alasan mengapa persentase Haredim di antara populasi Israel meningkat hampir dua kali lipat setiap generasinya.
Meski Haredim hanya mewakili 13 persen dari populasi, keturunan mereka mencapai 19 persen dari populasi anak-anak Israel di bawah usia 14 tahun, dan 24 persen anak-anak di bawah usia 4 tahun.
Badan Statistik Israel memperkirakan bahwa jika keadaan terus berlanjut seperti saat ini, setengah dari anak-anak Israel pada tahun 2065 akan menjadi keturunan Haredim.
Ben David menilai, data tersebut tentu memuaskan para rabi dan nasionalis Yahudi. Namun menurutnya, konsekuensi dari hal ini akan mengubah sifat Israel dan mengancam perekonomiannya.
Kebanyakan orang Yahudi ultra-Ortodoks menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah agama untuk mempelajari Taurat, daripada mengajari mereka sains, matematika, dan bidang lain yang diperlukan untuk mendapatkan pekerjaan di perekonomian Israel yang didominasi teknologi.
Baca juga: Daftar Produk-Produk Israel yang Diserukan untuk Diboikot, Cek Listnya Berikut Ini
Faktanya, kurang dari separuh laki-laki Haredim bergabung dengan angkatan kerja di negara tersebut. Kebanyakan dari mereka terus mempelajari teks-teks kuno bahkan setelah dewasa, dan istri mereka sering kali mendukung mereka atau menerima bantuan negara.
Ada alasan lain atas tingginya angka kelahiran di kalangan Haredim, yang merupakan orang Yahudi ultra-Ortodoks. Mereka cenderung menikah dini dan mempunyai anak di usia muda. Karena sekte ultra-Ortodoks melakukan segala upaya untuk mengisolasi diri dari pengaruh luar.
Adapun bagi orang Yahudi sekuler Israel, sulit untuk menjelaskan mengapa mereka memiliki lebih banyak anak. Apalagi cuti kerja berbayar bagi orang tua Israel ketika memiliki anak, itu tidaklah murah. Belum lagi biaya penitipan anak yang tidak lebih murah dibandingkan rekan-rekan mereka di negara-negara kaya lainnya.
Alasan yang mendasarinya besar kemungkinan karena pemerintah mendesak masyarakat untuk memiliki lebih banyak anak. Di antaranya, dengan memberikan kontribusi untuk membantu mereka menemukan pengobatan kesuburan, dan memberikan dukungan fertilisasi in vitro (bayi tabung) dengan biaya sekitar 150 juta dolar AS (sekitar Rp 2,3 triliun) per tahun.
Sumber: arabicpost