Hong Kong Sahkan RUU Pelarangan Penjualan dan Penyediaan Produk Plastik
Restoran hingga pedagang kaki lima dilarang gunakan peralatan plastik sekali pakai.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sampah plastik merupakan sumber limbah padat kota terbesar kedua di Hong Kong. Jumlah rata-rata yang dibuang setiap harinya mencapai 2.331 ton pada tahun 2021, beratnya setara dengan hampir 70 paus bungkuk dewasa.
Sebagai salah satu solusi, Hong Kong mengesahkan amandemen RUU Tanggung Jawab Lingkungan Produk ( Product Eco-Responsibility Bill) yang menerapkan larangan menyeluruh terhadap penjualan dan penyediaan berbagai produk plastik. Untuk tahap pertama mulai berlaku pada Hari Bumi, 22 April 2024.
Itu berarti di 28 ribu restoran, rumah makan, hingga pedagang kaki lima di Hong Kong dilarang menggunakan peralatan makan berbahan polistiren yang diperluas (expanded polystyrene, EPS) dan peralatan makan plastik sekali pakai lainnya, yang berukuran kecil dan sulit didaur ulang. Larangan ini berlaku untuk layanan bersantap di tempat (dine in) maupun dibawa pulang.
Menyajikan sup dalam wadah plastik juga dilarang, meskipun menggunakannya untuk dibawa pulang masih diperbolehkan - sampai fase kedua dimulai.
“Dimulainya tahap kedua akan bergantung pada ketersediaan dan keterjangkauan alternatif non-plastik atau alternatif yang dapat digunakan kembali,” demikian pernyataan dari otoritas Hong Kong seperti dilansir dari laman Barrons, Kamis (19/10/2023).
Barang-barang gratis di hotel dan maskapai penerbangan Hong Kong juga akan terlihat sangat berbeda. Botol air atau perlengkapan mandi plastik seperti sikat gigi bergagang plastik, serta penyumbat telinga sekali pakai, juga akan dilarang.
Toko-toko yang menjual lightstick, topi pesta, topping kue, dan cotton buds juga akan terkena dampaknya. Setiap pelanggaran dapat mengakibatkan denda antara 2.000 hingga 100 ribu dolar Hong Kong (sekitar RP 4 juta – 201,8 juta).
Namun demikian, selama tahapan transisi tersebut, anggota parlemen Peter Koon mendesak pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam menerapkan aturan tersebut. Pasalnya di Hong Kong, Chinese food sangat mendominasi, sehingga dikhawatirkan timbul ketidaknyamanan akibat penghapusan barang-barang plastik serta biaya tambahan bagi penduduk lokal dan wisatawan.
"Saya memiliki pengalaman membeli sup panas untuk dibawa pulang dari sebuah toko yang menggunakan wadah kertas, tetapi ketika saya sampai di rumah, wadahnya sudah rusak dan sup-nya sudah habis," kata Koon.
Anggota parlemen, Michael Tien, menjelaskan bahwa pekerjaan nyata dari RUU ini akan dimulai setelah pengesahan. "Bagaimana memperkenalkan pilihan-pilihan alternatif kepada masyarakat, bagaimana mendukung industri - ini akan menjadi tanggung jawab yang sangat berat dan penting bagi Biro (Lingkungan dan Ekologi),” kata Tien.
Menyambut berita tersebut, juru kampanye Greenpeace, Leanne Tam, mengatakan bahwa Hong Kong telah mendiskusikan masalah ini selama sekitar satu dekade. “Hong Kong sekarang mengejar ketertinggalannya dari kota-kota lain di kawasan ini dalam hal mengurangi sampah plastik,” jelas dia.