Kasus Cacar Monyet Ditemukan di Jakarta, Dinkes DKI Ungkap Gejala Pasien

Satu kasus terbaru cacar monyet adalah warga Jakarta yang dilaporkan pada 14 Oktober.

AP Photo/Martin Mejia
Seorang dokter menunjukkan luka di tangan pasien yang disebabkan oleh cacar monyet di rumah sakit Arzobispo Loayza di Lima, Peru. Kasus cacar monyet juga ditemukan di Indonesia.
Rep: Dadang Kurnia Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengonfirmasi temuan dua kasus cacar monyet atau mpox di Indonesia. Satu kasus terakhir dilaporkan pada 14 Oktober 2023 yang merupakan warga DKI Jakarta.

Baca Juga


Kepala Seksi Surveilans, Epidemiologi dan Imunisasi Dinkes DKI Jakarta Ngabila Salama mengatakan, pasien pria berusia 30 tahun di Jakarta saat ini masih dalam proses perawatan pada ruang isolasi di salah satu rumah sakit di Jakarta sejak kasusnya ditemukan pada Sabtu (14/10/2023). Menurutnya, pasien itu membutuhkan waktu pemulihan sekitar tiga pekan.

"Butuh waktu 2-4 pekan, rata-rata 3 pekan untuk sembuh. Definisi sembuh jika semua luka sudah kering sempurna dan muncul kulit baru," kata Ngabila di Jakarta, Kamis (19/10/2023).

Ngabila yang juga Staf Teknis Komunikasi Transformasi Kesehatan Kemenkes itu mengatakan gejala khas mpox juga ditemukan pada pasien yaitu pembesaran kelenjar getah bening di lipat paha. "Pasien mengeluhkan demam, lenting isi air, dan koreng di beberapa bagian tubuh dimulai dari kemaluan dan menyebar ke seluruh tubuh," katanya.

Ngabila mengimbau masyarakat untuk tidak perlu panik terhadap kasus mpox. Akan tetapi perlu waspada dengan melakukan beberapa cara mencegah sakit dan mencegah kematian.

Mpox bisa dicegah dengan menjaga kebersihan diri dengan rajin memakai masker dan mencuci tangan menggunakan air mengalir dan sabun, terutama jika sedang sakit dan bertemu orang sakit. Selain itu, kata Ngabila, hindari kontak fisik dengan orang yang sedang sakit demam, bergejala kemerahan, jerawat, luka, lenting isi air di kulitnya.

"Berhubungan seksual yang aman, bersih, sehat dengan menggunakan kondom. Jangan berhubungan seksual jika pasangan sakit apalagi ada luka pada area kemaluan atau sedang mengalami infeksi menular seksual lainnya," ujarnya.

Selain itu, masyarakat juga diimbau menghindari kontak dengan wajah, mulut, kulit, dan barang sehari-hari yang dipakai penderita seperti alat mandi, alat tidur, dan lainnya. Vaksinasi mpox sudah ada di Indonesia dengan jumlah terbatas dan diperuntukkan untuk kelompok berisiko tinggi, kata Ngabila menambahkan.

Dengan temuan kasus baru tersebut, maka saat ini terdapat dua kasus cacar monyet di Indonesia setelah kali pertama ditemukan pada 20 Agustus 2022. Secara umum jumlah kasus terkonfirmasi cacar monyet di seluruh dunia mencapai 90.618 kasus dengan angka kematian mencapai 517 kasus dari 115 negara.

Amerika Serikat menjadi negara yang paling banyak melaporkan temuan kasus, sedangkan di Asia temuan kasus paling banyak didominasi China, Thailand, dan Jepang.


 

Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Moh. Adib Khumaidi mengaku belum mengetahui terkait temuan kasus cacar monyet atau Mpox yang ditemukan di Jakarta. Adib pun memberikan sejumlah rekomendasi terkait temuan kasus tersebut.

Pertama, harus benar-benar dipastikan apakah pasien tersebut benar-benar terpapar cacar monyet atau bukan. "Ini kan kaitannya dengan surveilans epidemiologi. Pada saat kita bicara di situ ada kasus yang pertama harus dilakukan adalah apakah betul terkonfirmasi itu monkeypox," kata Adib di Surabaya, Kamis (19/10/2023).

Ketika sudah betul-betul terkonfirmasi bahwa pasien tersebut benar-benar terpapar cacar monyet, langkah selanjutnya adalah melakukan penelusuran atau tracking. Penelusuran dimaksudkan untuk mengetahui di telah bepergian dari mana dan berkomunikasi dengan siapa saja.

"Bukan hanya monkeypox, apapun itu sebenarnya termasuk pembalajaran kita di Covid-19 juga. Jadi peningkatan surveilans epidemiologi menjadi sangat penting," ujarnya.

Langkah-langkah tersebut, lanjut Adib, menjadi penting untuk memutuskan apakah yang bersangkutan perlu dilakukan isolasi untuk menghindari penyebarannya atau tidak. Selanjutnya juga penting untuk memastikan apakah yang bersangkutan cukup diberikan obat-obatan saja, atau butuh tindakan lain.

"Setelah itu nanti selanjutnya penguatan surveilans di daerah," kata Adib.

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan cacar monyet (monkeypox) dapat menyebabkan risiko kematian pada penderita hingga 10 persen. Kepala Pusat Riset Kedokteran Preklinis dan Klinis BRIN Harimat Hendarwan menyampaikan risiko kematian yang akan dihadapi oleh penderita yang terinfeksi yakni sebesar 0,1-10 persen.

"Karena kalau dari saya lihat referensi itu 0,1-10 persen fatality rate (tingkat kematian)," ujar dia saat dihubungi di Jakarta, Rabu (18/10/2023).

Harimat menjelaskan, kelompok yang rentan mengalami gejala serius akibat penyakit tersebut yakni anak-anak, ibu hamil, serta orang-orang yang memiliki daya tahan tubuh yang lemah. Ia mengatakan masa inkubasi yang akan dilewati penderita sebelum mengalami gejala infeksi yakni selama 1-21 hari dengan gejala yang akan muncul, yaitu ruam pada kulit, demam, nyeri otot, nyeri menelan, serta pembengkakan pada kelenjar getah bening.

Ia menyampaikan tidak ada perlakuan khusus dalam mengobati penyakit ini, metode pengobatan yang dilakukan berupa bantuan untuk memperkuat daya tahan tubuh serta meredakan nyeri akibat infeksi.

"Kalau secara umum pengobatannya biasanya untuk pain-nya (nyeri) saja dan juga supporting (memperkuat) daya tahan tubuh," kata Harimat.

Asal usul cacar monyet. - (Republika)

 

Epidemiolog Griffith University Australia Profesor Dicky Budiman mengimbau masyarakat untuk tidak panik menyikapi temuan baru kasus monkeypox atau cacar monyet di Jakarta. Ia memastikan bahwa risiko penularan penyakit tersebut sangat kecil bagi masyarakat umum dan penyebaran pun relatif lambat.

"Jangan panik karena yang pertama bagi masyarakat umum ini risikonya kecil sekali, kedua proses penularannya lambat ya," kata Dicky saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (17/10/2023).

Dicky mengatakan, bahwa berdasarkan data global, kecenderungan penyebaran penyakit cacar monyet 99 persen hanya terjadi kepada kelompok pria yang memiliki perilaku berisiko tinggi. Kasus cacar monyet tersebut pun, kata dia, diprediksi tidak akan menjadi pandemi dan menyebar secara luas tetapi hanya epidemik.

"Ini semakin menguatkan bahwa kecenderungan penyakit cacar monyet ini akan jadi epidemik bukan pandemi akan menyebar tapi silent ya, karena dengan stigma yang kuat penyakit ini menyebar ke kelompok pria yang memiliki perilaku yang berisiko tinggi yaitu gay atau lelaki suka lelaki," ujarnya.

Meski pun sebaran dan angka kematiannya dinilai kecil, namun bagi kelompok rentan seperti penderita HIV, akan berdampak serius. Oleh karena itu, mitigasi dan pencegahan penyakit tersebut harus dilakukan oleh pemerintah melalui mekanisme atau strategi yang sama dengan pengendalian penyakit HIV.

"Ini membuktikan Indonesia tidak berbeda dengan dunia (kasus cacar monyet) maka peningkatan literasi penting perilaku hidup sehat terutama seksual sangat penting," kata dia.

Sementara, ahli epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Iwan Ariawan menilai kasus cacar monyet atau Monkeypox di Indonesia hanya berpotensi menjadi epidemi lokal. "Potensi penyakit menjadi pandemi kecil, endemi, dan epidemi luas juga kecil. Epidemi lokal bisa terjadi," kata dr Iwan saat dihubungi di Jakarta, Rabu kemarin.

Ia menjelaskan, bahwa penyakit cacar air merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus jenis Orthipox yang disebut mirip dengan virus penyebab cacar (variola) tetapi bukan cacar air. Penyakit tersebut menurutnya kerap ditandai dengan sejumlah gejala pada tubuh seperti demam disertai bercak berair pada kulit, bahkan pada kelompok rentan bisa menyebabkan kematian.

"Penularan penyakit ini melalui kontak erat kulit," ujarnya.

Disinggung mengenai potensi terjadinya pandemi dari kasus cacar monyet, ia meyakini bahwa potensi tersebut relatif kecil dan hanya akan menjadi epidemi lokal. Namun demikian, kata dia, mitigasi terhadap penyakit tersebut harus tetap dilakukan melalui pengawasan penyakit infeksi emerging.


 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler