Bumi Kaltim Memanas, Karhutla Mengganas
Berulangnya karhutla bukan hanya karena faktor cuaca ekstrem kemarau yang disebabkan adanya fenomena el nino, sehingga ranting ataupun dahan kering mudah terbakar.
Oleh: Ita Wahyuni, S.Pd.I.(Pemerhati Masalah Sosial)
Kebakaran hutan dan lahan di Kota Bontang terus terjadi. Berdasarkan catatan BPBD Bontang sejak Januari hingga September, musibah tersebut menghanguskan 80,41 hektare. Kepala Pelaksana BPBD Bontang Usman mengatakan meski belum mencapai akhir tahun, kebakaran hutan dan lahan tahun ini cukup parah sejak dua tahun terakhir. Yang mana, pada 2021 hanya 8,25 hektare lahan saja yang hangus terbakar dengan total 14 kejadian. Pada 2022 sebanyak 29,95 lahan terbakar dari total 13 kejadian. Sedangkan sampai awal Oktober 2023 ini telah berhasil menangani 32 kejadian Karhutla (Bontangpost.id, 03/10/2023).
Karhutla tidak hanya terjadi di Bontang, tapi hampir merata di semua daerah termasuk Kaltim. Seperti di Penajam, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Penajam Paser Utara (PPU) menyatakan siaga darurat bencana kekeringan serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla) melalui Surat Edaran (SE) Nomor 005/1533/TU-PIMP/506.BPBD Tahun 2023, tertanggal 2 Oktober 2023. Kepala BPBD PPU Budi Santoso Kamis (5/10) membeberkan, selama memasuki musim kemarau dan el nino ini telah terjadi 75 kali karhutla dengan total meludeskan 154,73 hektare.
Ia merinci, karhutla yang ditanganinya terbanyak terjadi di wilayah Kecamatan Penajam 54 kali dengan luas areal 113,8 hektare; Kecamatan Waru 6 kali dengan 5,15 hektare; Kecamatan Babulu 14 kali dengan luas 35,45 hektare; Kecamatan Sepaku 1 kali karhutla dengan luas area 0,75 hektare (Kaltimpost.com, 06/10/2023).
Menurut Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Timur (Kaltim) Joko Istanto, sebagian besar Kawasan Pengelolaan Hutan (KPH) di Kalimantan Timur telah aktif dalam mengatasi masalah ini. Meskipun jumlah titik terbakar tidak pasti, setiap KPH telah melakukan upaya pencegahan.
Dia menambahkan, telah mengawasi aktivitas masyarakat yang membakar lahan untuk pertanian. Jika ada indikasi bahwa ini berkaitan dengan perkebunan, tindakan hukuman akan diberlakukan. Selain itu, Joko memastikan perusahaan besar umumnya menggunakan alat berat untuk membersihkan lahan, bukan dengan menggunakan kebakaran.
Terus Berulang, Kok Bisa?
Berulangnya karhutla bukan hanya karena faktor cuaca ekstrem kemarau yang disebabkan adanya fenomena el nino, sehingga ranting ataupun dahan kering mudah terbakar. Melainkan sebab manusialah yang lebih banyak mengambil bagian dalam kasus karhutla. Kesalahan manusia dalam pengelolaan hutan telah menyebabkan kerusakan hutan dan lahan baik yang disebabkan oleh penebangan berlebihan, perambahan hutan untuk pertanian tebang-dan-bakar, pembukaan lahan untuk penambangan batubara dan perkebunan sawit.
Kesalahan dalam pengelolaan hutan dan lahan tersebut tidak terlepas dari penerapan sistem Kapitalisme. Karakter Kapitalisme yang individualis telah mewujud dalam sikap menomorsatukan kepemilikan individu sebagai premis ekonomi. Sehingga wajar jika dalam pengelolaan hutan hanya dipandang sebagai milik individu, yakni milik pengusaha melalui pemberian HPH (Hak Pengusaha Hutan) yang diberikan oleh penguasa.
Selain mengutamakan kepemilikan individu, pendekatan kapitalisme yang lebih mementingkan kemanfaatan telah melahirkan sikap eksploitatif atas sumber daya alam seraya mengabaikan aspek moralitas.
Tak heran penguasa dan konglomerat menjadi penentu dalam izin pengelolaan hutan. Berbagai undang-undang pun diterbitkan dengan dalih diperuntukkan agar sumber daya hutan memiliki peran memutar roda perekonomian. Awalnya memang mendongkrak perekonomian, tetapi ujungnya, hutan dijarah korporasi dengan eksploitasi serampangan yang memunculkan banyak konflik sosial dan bencana ekologis.
Ditambah lagi, sistem Kapitalisme juga telah menjadikan para penguasa abai dalam meri’ayah rakyatnya termasuk dalam menyelesaikan persoalan karhutla. Terbukti dengan berulangnya karhutla di berbagai daerah seolah menunjukkan para penguasa tidak serius dalam mengatasi permasalahan tersebut. Meskipun berbagai langkah sudah dilakukan tapi belum menyentuh sumber persoalan. Padahal, sudah jelas karhutla sangat merugikan dan berbahanya bagi kehidupan masyarakat.
Pengelolaan Hutan dan Lahan dalam Islam
Islam memiliki beberapa ketentuan dalam pengelolaan hutan dan lahan, di antaranya, pertama, hutan termasuk dalam kepemilikan umum, bukan kepemilikan individu atau negara. Ketentuan ini didasarkan pada hadits Nabi SAW, "Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: dalam air, padang rumput [gembalaan], dan api." (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah).
Hadits ini menunjukkan bahwa tiga benda tersebut adalah milik umum, karena sama-sama mempunyai sifat tertentu sebagai illat (alasan penetapan hukum), yakni menjadi hajat hidup orang banyak. Termasuk milik umum adalah hutan, karena diqiyaskan dengan tiga benda di atas berdasarkan sifat yang sama dengan tiga benda tersebut, yaitu menjadi hajat hidup orang banyak
Kedua, pengelolaan hutan hanya dilakukan oleh negara saja, bukan oleh pihak swasta atau asing. Untuk pemanfaatan hutan yang mudah dilakukan secara langsung oleh individu (misalnya oleh masyarakat sekitar hutan) dalam skala terbatas di bawah pengawasan negara. Misalnya, pengambilan ranting-ranting kayu, atau penebangan pohon dalam skala terbatas, atau pemanfaatan hutan untuk berburu hewan liar, mengambil madu, rotan, buah-buahan, dan air dalam hutan.
Semua ini dibolehkan selama tidak menimbulkan bahaya dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkan hutan. Ketiga, negara wajib melakukan pengawasan terhadap pengelolaan hutan. Fungsi pengawasan operasional lapangan ini dijalankan oleh lembaga peradilan, yaitu Muhtasib (Qadhi Hisbah) yang tugas pokoknya adalah menjaga terpeliharanya hak-hak masyarakat secara umum (termasuk pengelolaan hutan).
Muhtasib misalnya menangani kasus pencurian kayu hutan, atau pembakaran dan perusakan hutan. Muhtasib bertugas disertai aparat polisi (syurthah) di bawah wewenangnya. Muhtasib dapat bersidang di lapangan (hutan), dan menjatuhkan vonis di lapangan.
Keempat, negara wajib mencegah segala bahaya atau kerusakan pada hutan. Dalam kaidah fikih dikatakan, "Adh-dlarar yuzal", artinya segala bentuk kemudharatan atau bahaya itu wajib dihilangkan. Ketentuan ini mempunyai banyak sekali cabang-cabang peraturan teknis yang penting. Antara lain, negara wajib mengadopsi sains dan teknologi yang dapat menjaga kelestarian hutan, melakukan konservasi hutan, menjaga keanekaragaman hayati, melakukan penelitian kehutanan, dan sebagainya.
Kelima, negara berhak menjatuhkan sanksi ta’zir yang tegas atas segala pihak yang merusak hutan. Orang yang melakukan pembalakan liar, pembakaran hutan, penebangan di luar batas yang dibolehkan, dan segala macam pelanggaran lainnya terkait hutan wajib diberi sanksi ta’zir yang tegas oleh negara (peradilan). Ta’zir ini dapat berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati, tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya.
Prinsipnya, ta’zir harus sedemikian rupa menimbulkan efek jera agar kejahatan perusakan hutan tidak terjadi lagi dan hak-hak seluruh masyarakat dapat terpelihara.
Demikianlah ketentuan Islam dalam tata kelola hutan dan lahan. Jika ketentuan ini dilaksanakan pada negara yang menerapkan Islam secara kaffah tentu saja akan mampu mencegah dan mengatasi kerusakan hutan termasuk karhutla yang disebabkan oleh tangan manusia. Wallahu a’lam bisshawab.