Israel Enggan Perluas Perang dan Ingin Fokus Tumpas Hamas
Israel membombardir Gaza pada 7 Oktober sebagai respons atas serangan Hamas.
REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant mengatakan, negaranya tidak tertarik terlibat perang dengan musuh lain selain Hamas. Meski mengetahui adanya serangan berkala dari kelompok Hizbullah Lebanon, dia menegaskan Israel tak ingin memperluas perang.
“Kami melancarkan perang di front selatan melawan Hamas, bersiap menghadapi segala perkembangan di utara, Hizbullah menderita banyak kerugian. Namun, kami tidak tertarik untuk memperluas perang,” kata Gallant kepada awak media setelah ditanya tentang kemungkinan konfrontasi Israel dengan Iran, Kamis (26/10/2023).
Gallant pun ditanya tentang apakah Israel akan melanjutkan rencananya melancarkan operasi pertempuran darat ke Jalur Gaza. “Harinya tidak lama lagi. Manuver akan dimulai ketika kondisinya tepat,” ujar Gallant merespons pertanyaan tersebut.
Gallant enggan mengomentari mengenai kemungkinan pembebasan orang-orang yang disandera Hamas lewat mediasi Qatar. Dia hanya menyampaikan bahwa saluran apa pun bisa saja dipakai selama tujuan pembebasan sandera tercapai.
Saat ini Hamas diduga masih menyandera lebih dari 200 orang yang terdiri dari warga Israel, warga Israel berkewarganegaraan ganda, dan warga asing.
Israel mulai membombardir Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023 lalu sebagai respons atas serangan dan operasi infiltrasi Hamas. Menurut Kementerian Kesehatan di Gaza, hingga Kamis lalu, korban terbunuh akibat agresi Israel ke Gaza telah melampaui 7.000 jiwa, termasuk di dalamnya sekitar 3.000 anak-anak.
Sementara korban luka melampaui 18 ribu orang. Serangan Israel juga menyebabkan sekitar 1,3 juta dari 2,2 juta penduduk Gaza terlantar dan mengungsi.
Pada Rabu (25/10/2023) lalu, Dewan Keamanan PBB kembali gagal mengadopsi resolusi terkait konflik Israel-Palestina. Dua rancangan resolusi yang diajukan secara terpisah oleh Rusia dan Amerika Serikat (AS) sama-sama gagal disahkan akibat diveto.
Pada rancangan resolusi AS, di dalamnya menuntut jeda kemanusiaan di Jalur Gaza. Namun draf resolusi itu turut mengutuk serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023 lalu. Resolusi usulan AS juga menyerukan Hamas membebaskan seluruh warga Israel dan warga asing lainnya yang mereka sandera di Gaza tanpa syarat apa pun.
Rancangan resolusi AS memperoleh 10 suara mendukung. Namun Rusia, Cina, dan Uni Emirat Arab (UEA) menentangnya. Moskow dan Beijing diketahui merupakan anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield menyayangkan keputusan Rusia dan Cina memveto rancangan resolusi terkait Israel-Palestina yang diajukan negaranya. Dia menilai resolusi tersebut kuat dan seimbang.
“Itu adalah hasil konsultasi dengan para anggota Dewan (Keamanan) ini. Kami mendengarkan Anda semua. Kami memasukkan masukan,” ucapnya, dikutip Anadolu Agency.
Rancangan resolusi yang diajukan Rusia juga berisi tentang tuntutan gencatan senjata kemanusiaan di Gaza. Namun resolusi tersebut turut ditolak dengan komposisi empat negara mendung, dua menentang, dan sembilan lainnya abstain. AS dan Inggris adalah dua negara yang menolak rancangan resolusi Rusia.
Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia mengatakan, negaranya menyesalkan Dewan Keamanan tidak dapat menggunakan kesempatan lainnya untuk merespons krisis yang belum terjadi sebelumnya di Timur Tengah. Sebelumnya Dewan Keamanan PBB memang sudah dua kali gagal mengadopsi rancangan resolusi untuk merespons situasi di Jalur Gaza.
Pada 16 Oktober 2023 lalu, resolusi rancangan Rusia yang berisi seruan gencatan senjata kemanusiaan dalam perang antara Hamas dan Israel gagal disahkan di Dewan Keamanan PBB.
Rancangan resolusi tersebut memperoleh lima suara setuju, empat menentang, dan enam lainnya abstain. AS termasuk di antara negara yang menentang.
Selain Rusia, Brasil juga mengajukan rancangan resolusi serupa. Namun rancangan resolusi tersebut juga gagal diadopsi pada 18 Oktober 2023 lalu akibat diveto AS. Sejak pecahnya pertempuran pada 7 Oktober 2023 lalu, Washington telah berulang kali menyatakan bahwa Israel memiliki hak untuk membela diri ketika diserang.
Namun sejumlah negara dan lembaga internasional menilai, apa yang dilancarkan Israel ke Jalur Gaza telah melampaui aksi pembelaan diri. Hal itu mengingat banyaknya korban dan infrastruktur sipil, termasuk rumah sakit serta tempat ibadah yang terimbas serangan Israel.