Nusron Pecat Beberapa Pejabat BPN Terkait Kasus Pagar Laut, Ungkap Modus Operandi
Pemecatan berdasarkan investigasi dugaan penyalahgunaan wewenang di kasus pagar laut.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nusron Wahid menyatakan bahwa dirinya akan mengumumkan beberapa pejabat BPN yang akan dipecat. Pemecatan berdasarkan investigasi terkait dugaan penyalahgunaan wewenang dalam kasus pagar laut di Bekasi, Jawa Barat.
Usai menemui Presiden Prabowo di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin, Nusron melaporkan laporan perkembangan terkini terkait pertanahan, termasuk penyalahgunaan sertifikat tanah di wilayah Bekasi dan Tangerang dalam kasus pagar laut.
"Yang Bekasi pun proses investigasi terhadap aparat kita juga sudah selesai. Mungkin besok atau lusa saya umumkan, ada beberapa orang yang akan diberhentikan juga yang di Bekasi," kata Nusron saat memberikan keterangan di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (17/2/2025).
Nusron menjelaskan bahwa modus operandi dalam kasus pemindahan peta bidang tanah ke laut dilakukan oleh oknum pejabat di tingkat bawah. Kasus itu berawal dari adanya nomor induk bidang pada 89 sertifikat yang dimiliki oleh 84 orang dengan luas mencapai 11,6 hektare.
Kemudian, ketika sertifikat itu dipindahkan ke laut, luasnya menjadi 79 hektare. Kemudian, kepemilikan sertifikat itu juga berubah dari 84 pemilik, menjadi 11 pemilik, di mana salah satunya adalah oknum kepala desa setempat.
Nusron juga baru mengetahui bahwa 89 sertifikat itu didaftarkan melalui skema Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Akun PTSL ini dapat dikelola oleh tim di bawah koordinator pelaksana PTSL di tingkat kabupaten, sehingga memberikan ruang terjadinya penyalahgunaan wewenang.
"Yang memegang akun itu memang kalau nggak Kepala Kantor, Kepala Seksi. Nah ternyata karena ini program PTSL, saya baru dapat informasi, kalau program PTSL itu tim adjudikasi pun, tim di bawah koordinator pelaksana PTSL di tingkat kabupaten itu juga boleh mendapatkan akun," kata Nusron.
Nusron menegaskan bahwa pejabat BPN yang diduga melakukan penyalahgunaan jabatan dalam kasus pagar laut bukan berasal dari eselon 1 dan eselon 2. Dalam pertemuannya dengan Presiden Prabowo, Nusron juga membahas mengenai tumpang tindih kepemilikan sertifikat hak milik (SHM) yang sering terjadi akibat kesalahan administrasi pertanahan di masa lalu.
Menurut Nusron, banyak sertifikat yang terbit pada periode 1960-1987 tidak memiliki peta bidang tanah yang jelas, sehingga menimbulkan permasalahan kepemilikan di kemudian hari.
Sebelumnya, Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menduga adanya praktik korupsi dan kolusi dalam kasus pagar laut Tangerang, Banten. Oleh karena itu, dia meminta pihak berwajib untuk memfokuskan penyelidikan ke arah korupsi-kolusi karena membahayakan negara.
"Ini hampir tidak mungkin tidak ada permainan uang, tidak ada kompensasi yang sifatnya korupsi sampai sesuatu yang jelas-jelas dilarang bisa diberi sertifikat, mulai dari situ arahnya," kata Mahfud saat ditemui wartawan di Jakarta, Rabu pekan lalu.
"Menurut saya, penyelidikan lebih dulu dan siapapun yang sudah diperiksa ini apakah itu pegawai BPN (Badan Pertanahan Nasional), apa itu KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan), kades (kepala desa) itu fokuskan ke arah korupsi, karena kolusi," ujarnya menambahkan.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menuturkan penyelidikan kasus ke arah pemalsuan dokumen tidak perlu dilakukan lantaran hal tersebut akan terungkap dengan sendirinya jika penyelidikan difokuskan ke arah korupsi-kolusi.
"Jangan ke pemalsuan dokumen. Itu nanti akan dengan sendirinya. Yang kecil-kecil itu dengan sendirinya, lurah yang bikin keterangan, RT yang bikin keterangan, itu nanti dengan sendirinya (terungkap)," tutur Mahfud.
Pekan lalu, Bareskrim Polri mengumumkan mulai melakukan penyelidikan terkait skandal pagar laut di perairan Bekasi, Jawa Barat (Jabar). Bareskrim Polri mengungkapkan adanya 93 surat kepemilikan lahan berupa SHM maupun HGB palsu yang digunakan untuk pemagaran laut tersebut.
Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Brigadir Jenderal (Brigjen) Djuhandani Rahardjo Puro mengatakan timnya sudah memeriksa sejumlah pihak terkait pemalsuan surat-surat kepemilikan lahan tersebut. Djuhandani menerangkan, penyelidikan pagar laut di Bekasi, berawal dari pelaporan yang dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN.
“Yang dilaporkan adalah tindak pidana pemalsuan surat dan atau pemalsuan akta otentik, dan atau penempatan keterangan palsu ke dalam akta otentik,” ujar Djuhandani di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (14/2/2025).
Menurut dia, konstruksi penyelidikan dalam tindak lanjut pelaporan tersebut tetap mengacu pada pembuktian Pasal 263 dan Pasal 264 KUH Pidana, juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUH Pidana. “Di mana kita penyidik, dalam hal ini direktorat tindak pidana umum, sudah melaksanakan penyelidikan dengan menerbitkan surat perintah penyelidikan,” kata Djuhandani.
Dalam proses tersebut, penyidik sudah memeriksa pihak pelapor, yakni Kemen ATR/BPN. Pun juga memeriksa ketua serta anggota panitia adjukasi PTSL.
“Pemeriksaan tersebut terkait dengan penerbitan 93 sertifikat hak milik yang terjadi di Desa Sagarajaya,” ujar Djuhandani.
Pemeriksaan juga dilakukan terhadap pejabat kantor pertanahan Bekasi, serta para inspektorat Kementerian ATR/BPN. Djuhandani menerangkan untuk sementara ini, proses penyelidikan masih terus dilakukan.
Meskipun konstruksi kasus pemagaran laut di Tangerang, dan Bekasi sama-sama tentang pemalsuan kepemilikan lahan untuk pemagaran laut, kata Djuhandani, kasus tersebut berbeda dalam modus operandi. Dia menerangkan, dalam kasus pemalsuan di Bekasi, ada terungkap pemalsuan sebanyak 93 dokumen dan sertifikat kepemilikan lahan.
Namun, pemalsuan tersebut berdasarkan atas mengubahan data pemilik hak, dan pemegang hak, serta pengubahan atas objek atau lokasi lahan yang semula berada di daratan, menjadi di perairan. Adapun, yang terjadi dalam pemalsuan kepemilikan lahan untuk pemagaran laut di Tangerang, dilakukan sebelum sertifikasi kepemilikan diterbitkan.
“Kalau kita melihat dari apa yang kita laksanakan terkait di Kohod (Tangerang) dengan di Bekasi itu ada perbedaan. Pada kasus Kohod kita melihat bahwa pemalsuan dokumen dilakukan pada saat sebelumnya atau saat proses penerbitan sertifikat. Sedangkan yang terjadi di Bekasi adalah pemalsuan dilakukan pascaterbit sertifikat asli atas nama pemegang hak yang sah, kemudian diubah sedemikian rupa menjadi nama pemegang hak yang baru, yang tidak sah, berikut perubahan data luasan dan lokasi objek sertifikat,” ujar Djuhandani.