KPU Sebut Gugatan Rp 70,5 Triliun Pendaftaran Gibran 'Salah Kamar'

Penggugat menilai perbuatan yang dilakukan KPU itu adalah perbuatan melawan hukum.

Prayogi/Republika.
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Idham Holik.
Rep: Febryan A Red: Erik Purnama Putra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI angkat bicara usai digugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Senin (31/10/2023), karena menerima pendaftaran pasangan bakal capres-cawapres, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming. Dalam gugatan tersebut, KPU diminta membayar ganti rugi Rp 70,5 triliun.

Komisioner KPU RI Idham Holik mengatakan, dalam UU Pemilu hanya diatur empat jalur penyelesaian perkara pelanggaran aturan pemilu. Pertama, pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu ditangani Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan perkara pelanggaran administrasi ditangani Bawaslu.

Kedua, perkara sengketa proses pemilu ditangani Bawaslu dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ketiga, perkara perselisihan hasil pemilu ditangani Mahkamah Konstitusi. Keempat, perkara tindak pidana pemilu diproses oleh Sentra Penegak Hukum Terpadu (Gakkumdu).

Dengan demikian, gugatan atas penerimaan pendaftaran Prabowo-Gibran itu seharusnya diajukan ke Bawaslu atau PTUN. Pengajuan gugatan ke PN Jakpus berarti 'salah kamar'.

"Pendaftaran calon atau pasangan calon adalah ranahnya sengketa proses yang ditangani oleh Bawaslu ataupun PTUN, bukan pengadilan negeri," kata Idham kepada wartawan di Jakarta, Selasa (31/10/2023).

Pada Senin (30/10/2023), seorang dosen bernama Brian Demas Wicaksono mengajukan gugatan perdata terhadap KPU RI di PN Jakpus. Sebab, dia menilai KPU RI melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) karena menerima berkas pendaftaran bakal pasangan capres-cawapres Prabowo-Gibran pada 25 Oktober 2023.

Kuasa hukum penggugat, Anang Suindro menjelaskan, peristiwa KPU menerima pendaftaran Prabowo-Gibran melanggar ketentuan Pasal 13 ayat 1 huruf i dalam  Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Pasal tersebut mengatur syarat batas usia minimum capres-cawapres adalah 40 tahun. Adapun Gibran baru berusia 36 tahun.

"Kami menilai perbuatan yang dilakukan KPU itu adalah perbuatan melawan hukum, maka kami menggugat KPU yang merugikan kami selaku warga negara Indonesia dan dalam gugatan kami meminta KPU untuk dihukum, salah satunya membayar kerugian materi Rp 70,5 triliun," ucap Anang di PN Jakpus.

Tiga hari sebelum gugatan tersebut dilayangkan, Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari sudah menegaskan bahwa pendaftaran Gibran tak bermasalah, meski pasal batas usia minimum capres-cawapres 40 tahun dalam PKPU belum direvisi. Gibran yang kini berusia 36 tahun tak terbentur pasal tersebut karena ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Sebagai gambaran, ketentuan batas usia minimum 40 tahun dalam PKPU itu merupakan turunan dari dari Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Adapun MK pada Senin (16/10/2023) membacakan putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 yang isinya menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu itu bertentangan dengan konstitusi.

MK dalam amar putusannya mengubah bunyi pasal batas usia minimum capres-cawapres itu menjadi: "berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah".

Putusan MK dianggap berlaku sejak dibacakan. KPU kini sedang berupaya merevisi Pasal 13 dalam PKPU itu agar sesuai dengan putusan MK. Proses revisi berlangsung saat tahapan pendaftaran capres-cawapres Pilpres 2024 sudah ditutup.


Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler