'Kutukan' Bagi Orang Tua, Israel Bunuh 3.600 Anak Palestina di Gaza dalam 25 Hari
Gaza telah menjadi kuburan bagi ribuan anak.
REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Kementerian Kesehatan Palestina mencatat Israel telah membunuh lebih dari 3.600 anak-anak Palestina dalam 25 hari sejak perang yang terjadi di jalur Gaza. Anak-anak Palestina terkena serangan udara dan tertimpa bangunan, di antara mereka adalah bayi baru lahir dan balita.
Hampir setengah dari 2,3 juta penduduk Gaza berusia di bawah 18 tahun, dan sejauh ini 40 persen dari mereka yang wafat dalam perang adalah anak-anak. Analisis Asosiasi Press terhadap data Kementerian Kesehatan Gaza yang dirilis pekan lalu menunjukkan bahwa pada 26 Oktober, sebanyak 2.001 anak berusia 12 tahun ke bawah wafat, termasuk 615 anak berusia 3 tahun ke bawah akibat serangan brutal Israel
“Ketika rumah-rumah hancur, mereka roboh menimpa kepala anak-anak,” kata penulis Adam al-Madhoun pada Rabu (1/11/2023), seperti dilansir Al Arabiya, Jumat (3/11/2023).
Adam mengatakan itu ketika menghibur putrinya yang berusia 4 tahun, Kenzi, di Rumah Sakit Martir Al Aqsa di kota Deir al-Balah, Gaza tengah. Dia selamat dari serangan udara yang merobek lengan kanannya dan melukai kaki kirinya.
Sementara itu, Israel mengatakan serangan udaranya menargetkan situs dan infrastruktur militan Hamas, dan menuduh kelompok Hamas menggunakan warga sipil sebagai tameng. Bahkan Israel juga mengatakan lebih dari 500 roket militan gagal ditembakkan dan mendarat di Gaza, menewaskan sejumlah warga Palestina yang tidak diketahui jumlahnya.
Badan amal global yang bergerak melindungi anak-anak Save the Children menyebut bahwa lebih banyak anak-anak yang terbunuh hanya dalam waktu tiga minggu di Gaza dibandingkan jumlah total konflik di seluruh dunia dalam tiga tahun terakhir. Misalnya, 2.985 anak-anak terbunuh di puluhan zona perang sepanjang tahun lalu.
“Gaza telah menjadi kuburan bagi ribuan anak,” kata juru bicara UNICEF, James Elder.
Gambar dan rekaman anak-anak...
Gambar dan rekaman anak-anak yang terguncang saat ditarik dari reruntuhan di Gaza atau menggeliat di brankar rumah sakit yang kotor telah menjadi hal biasa dan memicu protes di seluruh dunia. Pemandangan dari serangan udara baru-baru ini termasuk seorang penyelamat yang menggendong balita yang lemas dengan berlumuran darah, seorang ayah berkacamata yang menjerit sambil mendekap anaknya yang meninggal erat-erat di dadanya, dan seorang anak laki-laki yang kebingungan berlumuran darah dan debu yang terhuyung-huyung sendirian melewati reruntuhan.
“Menjadi orang tua di Gaza adalah sebuah kutukan,” kata Ahmed Modawikh, seorang tukang kayu berusia 40 tahun dari Kota Gaza yang hidupnya hancur oleh kematian putrinya yang berusia 8 tahun selama lima hari pertempuran di bulan Mei.
Ketika pesawat tempur Israel menggempur Gaza, anak-anak Palestina berkumpul dengan keluarga besar di apartemen atau tempat penampungan yang dikelola PBB. Meskipun Israel telah mendesak warga Palestina untuk meninggalkan Gaza utara menuju jalur selatan, tidak ada satupun wilayah di yang terbukti aman dari serangan udara Israel.
“Orang-orang lari dari kematian hanya untuk menemukan kematian,” kata Yasmine Jouda, yang kehilangan 68 anggota keluarganya dalam serangan udara 22 Oktober yang menghancurkan dua bangunan berlantai empat di Deir al-Balah, tempat mereka mencari perlindungan dari Gaza utara.
Satu-satunya orang yang selamat dari serangan tersebut adalah keponakan Jouda yang berusia satu tahun, Milissa, yang ibunya sedang melahirkan saat serangan terjadi dan ditemukan tewas di bawah reruntuhan.
“Apa yang dilakukan bayi mungil ini hingga ia layak hidup tanpa keluarga?” kata Jouda.
Israel menyalahkan Hamas...
Israel menyalahkan Hamas atas jumlah korban tewas di Gaza yang sekarang lebih dari 8.800 orang, karena kelompok militan tersebut beroperasi dari lingkungan perumahan yang penuh sesak. Warga Palestina menyebut melonjaknya jumlah korban jiwa sebagai bukti bahwa serangan Israel tidak pandang bulu dan tidak proporsional.
Perang tersebut telah melukai lebih dari 7.000 anak-anak Palestina dan menyebabkan banyak masalah yang mengubah hidup mereka. Tepat sebelum perang, keponakan Jouda, Milissa, berjalan beberapa langkah untuk pertama kalinya. Dia tidak akan pernah bisa berjalan lagi.
Dokter mengatakan serangan udara yang menewaskan keluarga gadis itu membuat tulang punggungnya patah dan lumpuh dari dada ke bawah. Tak jauh dari rumahnya di rumah sakit pusat Gaza yang padat, Kenzi yang berusia 4 tahun terbangun sambil berteriak, menanyakan apa yang terjadi dengan lengan kanannya yang hilang. “Dibutuhkan banyak perhatian dan kerja keras hanya untuk membawanya ke titik menjalani separuh kehidupan normal,” kata ayahnya.
Bahkan mereka yang tidak terluka secara fisik pun mungkin akan terluka akibat kerusakan akibat perang. Bagi anak-anak berusia 15 tahun di Gaza, ini adalah perang kelima Israel-Hamas sejak kelompok militan tersebut menguasai wilayah tersebut pada tahun 2007.
Yang mereka tahu hanyalah hidup di bawah blokade Israel-Mesir yang melarang mereka bepergian ke luar negeri dan menghancurkan harapan mereka untuk masa depan. Menurut Bank Dunia, wilayah ini memiliki tingkat pengangguran kaum muda sebesar 70 persen.
“Tidak ada harapan bagi anak-anak ini untuk mengembangkan karir, meningkatkan standar hidup mereka, mengakses layanan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik. Namun dalam perang ini, ini adalah soal hidup dan mati. Dan di Gaza, kematian ada dimana-mana,” kata Ayed Abu Eqtaish, direktur program akuntabilitas Defense for Children International di wilayah Palestina.