Mantan Ketua MKMK: MKMK tak Berwenang Ubah Putusan MK

Palguna menilai Prof Jimly acapkali membuat terobosan.

Republika/Putra M. Akbar
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie (tengah) bersama anggota MKMK Wahiduddin Adams (kiri) dan Bintan R. Saragih (kanan) berbincang disela sidang pendahuluan dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (31/10/2023). Sidang pendahuluan dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi yang beragendakan mendengarkan keterangan empat pelapor dari Integrity, Constitutional and Administrative Law Society, LBH Yusuf dan Zico.
Rep: Rizky Suryarandika Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Adhoc I Gede Dewa Palguna menegaskan putusan MKMK tak bisa mengubah putusan MK. Hal semacam itu menurutnya bukan termasuk ranah kewenangan MKMK.

"MKMK memang tidak boleh memasuki putusan MK. Wewenang MKMK adalah berkenaan dengan (dugaan) pelanggaran etik dan pedoman perilaku hakim sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama," kata Palguna kepada wartawan yang dikonfirmasi Republika.co.id pada Ahad (5/11/2023).

Palguna menjelaskan kewenangan MKMK terbatas pada penjatuhan sanksi etik terhadap hakim MK jika terbukti melanggar. Bentuknya ada berupa sanksi ringan (teguran lisan), sanksi sedang (teguran tertulis), atau sanksi berat (pemberhentian tidak dengan hormat).

"Atau, mungkin MKMK membuat kreasi baru berkenaan dengan sanksi ini karena Prof Jimly acapkali senang membuat terobosan namun tetap berada di wilayah etik, tidak memasuki putusan MK," ujar Palguna.

Sehingga Palguna meminta masyarakat tetap menerima dengan lapang dada putusan MK pro pencawapresan Gibran Rakabuming. "Artinya, betapa pun jengkelnya kita terhadap putusan MK, putusan tersebut tetap mengikat sebagai hukum sesuai dengan bunyi Pasal 47 UU MK, 'Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum'," ujar mantan hakim MK itu.

Namun, putusan MKMK bisa berdampak terhadap putusan tersebut jika terdapat permohonan pengujian baru terhadap Pasal 169 huruf q (yang telah diberi penafsiran berbeda oleh MK melalui Putusan No 90/2023). Yaitu setidak-tidaknya sebagai bukti kuat untuk mengajukan alasan pengujian kembali terhadap Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 UU MK.

"Pasal 60 UU MK pada pokoknya menyatakan bahwa UU yang telah pernah dimohonkan pengujian tidak dapat diuji kembali kecuali alasan konstitusional yang digunakan sebagai dasar pengujian berbeda," ujar Palguna.

Diketahui, MKMK menuntaskan pemeriksaan terhadap pelapor dan terlapor pada Jumat lalu. MKMK bahkan melengkapi keterangan dengan menyertakan bukti rekaman kamera pengawas atau CCTV di MK. Lewat keterangan dan bukti rekaman itulah MKMK meyakini dapat mencapai pengucapan putusan sebelum batas akhir perubahan paslon peserta Pilpres 8 November 2023.

Pembentukkan MKMK disahkan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). MKMK beranggotakan hakim MK Wahiduddin Adams, ketua pertama MK Prof Jimly Asshiddiqie, dan pakar hukum Prof Bintan Saragih.

Deretan pelaporan terhadap MK merupakan akibat MK yang memutus tujuh perkara uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada Senin (16/10/2023).

Enam gugatan ditolak. Tapi MK memutuskan mengabulkan sebagian satu gugatan yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Perkara itu masuk ke MK dengan nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan yang pro pencalonan Gibran tetap diketok meski dihujani empat pendapat berbeda atau dissenting opinion hakim MK dan dua alasan berbeda dari hakim MK.

Baca Juga


BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler