Dunia Kian Kritis, Perlu Solusi Konkret Atasi Perubahan Iklim
Ekosistem, air, dan kondisi pangan kian buruk sehingga membuat dunia di titik kritis.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dunia menghadapi beberapa titik kritis lingkungan yang saling berkaitan dan dapat menyebabkan perubahan drastis pada masyarakat jika tidak diatasi. Hal ini diungkap oleh para ilmuwan iklim PBB dalam sebuah laporan terbaru.
Diterbitkan oleh UN University Institute for Environment and Human Security (UNU EHS), laporan ini dirancang untuk menyoroti keterkaitan antara berbagai risiko yang dihadapi dunia. Laporan ini menggarisbawahi bahwa ketika ekosistem, sistem pangan dan sistem air memburuk, dunia dapat mengalami ketidakstabilan hingga mencapai titik kritis sehingga mengubah sistem secara fundamental atau bahkan menyebabkan kehancuran.
Laporan ini mendukung solusi yang dapat mengatasi akar penyebab dari enam risiko yang disorot yaitu panas ekstrem, kepunahan keanekaragaman hayati, penipisan air tanah, pencairan gletser, tidak dapat diasuransikan (uninsurable), dan sampah antariksa.
Semua risiko ini sudah terlihat jelas di beberapa wilayah di dunia. Sebagai contoh, lebih dari 50 persen akuifer di dunia kehilangan air lebih cepat daripada yang digantikan. Jika air turun di bawah tingkat yang dapat diakses oleh sumur, produksi pangan akan terancam.
Eksploitasi air tanah secara berlebihan dan pencairan gletser juga telah terjadi banyak lokasi. Antara tahun 2000 dan 2019, gletser mengalami kehilangan 267 miliar ton es per tahun.
Sementara itu, gelombang panas juga menjadi lebih sering dan intens. Dalam dua dekade terakhir, panas yang ekstrim telah menyebabkan rata-rata 500 ribu kematian per tahun. Hal ini secara tidak proporsional mempengaruhi kelompok yang rentan karena, misalnya, usia, kondisi kesehatan atau profesi.
Suhu panas yang memecahkan rekor di bagian barat daya Amerika Serikat, Meksiko, Eropa Selatan, dan Cina juga telah meningkatkan jumlah pasien rawat inap di rumah sakit akibat suhu panas dan menyebabkan banyak kematian. Pada bulan Juli, lebih dari 200 orang di Meksiko meninggal dengan cara ini, sementara pihak berwenang mengeluarkan peringatan panas untuk sebagian besar populasi di Italia dan Spanyol dan lebih dari 100 juta orang di AS bagian selatan.
Para peneliti juga menguraikan bagaimana beradaptasi dengan cuaca buruk akan menjadi lebih menantang ketika lokasi atau aktivitas menjadi tidak dapat diasuransikan. Premi asuransi telah meningkat sebanyak 57 persen sejak tahun 2015 di daerah-daerah di mana kejadian cuaca ekstrem sudah biasa terjadi. Beberapa perusahaan asuransi telah membatasi jumlah atau jenis kerusakan yang dapat mereka tanggung, membatalkan polis, atau keluar dari pasar.
“Jika tren ini mencapai titik kritis, di mana asuransi menjadi tidak terjangkau atau tidak tersedia, masyarakat akan ditinggalkan tanpa jaring pengaman ekonomi jika terjadi bencana. Hal ini akan meningkatkan konsekuensi sosial-ekonomi, terutama bagi mereka yang paling tidak mampu untuk pindah ke daerah yang lebih aman,” kata Jack O'Connor, peneliti utama dari UNU EHS seperti dilansir Eco Business, Selasa (7/11/2023).
Kepunahan juga berisiko mencapai titik kritis, demikian laporan tersebut memperingatkan. Jika spesies yang memiliki keterkaitan erat dalam ekosistem tertentu punah, hal ini dapat memicu kepunahan berjenjang pada spesies yang bergantung padanya, yang pada akhirnya menyebabkan keruntuhan ekosistem.
Sebagai contoh, berang-berang laut membantu menyeimbangkan hutan rumput laut Pasifik dengan memakan landak laut atau bulu babi, tetapi mereka terancam punah karena perburuan yang berlebihan. Jika berang-berang laut tidak ada untuk melindungi rumput laut dari bulu babi, lebih dari 1.000 spesies, termasuk hiu, kura-kura, dan paus, akan kehilangan tempat tinggal, makanan, dan perlindungan dari hutan-hutan ini.
Laporan ini menegaskan bahwa masyarakat dan pemerintah saat ini gagal menangani akar penyebab masalah iklim dengan perubahan transformasional yang diperlukan. Sebaliknya, tindakan yang diambil hanya berupa solusi sementara yang hanya memperlambat perjalanan menuju titik kritis, dan bukan menghentikannya.
“Titik kritis di mana tubuh manusia tidak dapat lagi bertahan hidup adalah suhu bola basah sebesar 35 derajat Celcius selama lebih dari enam jam. Pengukuran ini menggabungkan suhu dan kelembaban dan penting karena kelembaban yang tinggi menghambat penguapan keringat yang diperlukan untuk mempertahankan suhu inti tubuh yang stabil,” kata O'Connor.
Solusi yang ditawarkan dalam laporan UNU EHS meliputi mengurangi emisi gas rumah kaca; menciptakan dunia tanpa limbah; menghormati kebutuhan alam; mengubah pola pikir masyarakat global; serta mengganti pertumbuhan yang didasarkan pada peningkatan ekonomi menjadi pertumbuhan yang didasarkan pada upaya untuk mendukung kesejahteraan manusia dan lingkungan.