Deadlock DK PBB dan Memburuknya Krisis Kemanusiaan di Gaza

PBB tak berdaya menghentikan genosida yang dilakukan Israel di Gaza

EPA-EFE/MOHAMMED SABER
Keefektifan PBB dalam menangani kebrutalan perang di Jalur Gaza dipertanyakan
Rep: Kamran Dikarma Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, Keefektifan PBB dalam menangani kebrutalan perang di Jalur Gaza dipertanyakan. Badan dunia beranggotakan 193 negara itu tak berdaya untuk menghentikan agresi Israel yang tak pandang bulu ke Gaza. Lembaga PBB bersama para pejabatnya hanya bisa melayangkan kecaman dan kutukan yang tak berdampak apa pun terhadap situasi di lapangan.

Sebulan telah berlalu sejak pecahnya pertempuran terbaru antara Hamas dan Israel. Perang kali ini dimulai dengan Operasi Badai Al-Aqsa yang dilancarkan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023 lalu. Tak seperti konfrontasi sebelumnya, dalam pertempuran terbaru, anggota Hamas turut melakukan infiltrasi ke wilayah Israel di dekat perbatasan Gaza. Serangan dan operasi Hamas menewaskan sedikitnya 1.400 warga Israel.

Sejak 7 Oktober 2023, Israel pun mulai membombardir Gaza, wilayah yang telah diblokadenya selama 16 tahun terakhir. Hingga Senin (6/11/2023), agresi Israel telah membunuh lebih dari 10 ribu warga Gaza, termasuk di dalamnya 4.100 anak-anak. Sementara korban luka melampaui 25 ribu orang. Serangan Israel selama sebulan terakhir juga telah mengakibatkan sekitar 1,5 juta dari 2,2 juta warga Gaza telantar dan mengungsi.

Situasi kemanusiaan di Gaza memburuk karena dalam serangannya Israel turut membidik bangunan tempat tinggal serta fasilitas umum, termasuk sejumlah rumah sakit. Rumah Sakit (RS) Indonesia, yang pembangunannya diinisiasi kelompok Medical Emergency Rescue Committee (MER-C), juga sudah dibayangi serangan Israel. Pasukan Pertahanan Israel (IDF) telah beberapa kali melancarkan serangan ke Bait Lahiya, tempat RS Indonesia berada.

Pada Senin kemarin, Israel menuduh Hamas menggunakan RS Indonesia untuk menyembunyikan markas operasinya di bawah tanah. Ketua Presidium MER-C Sarbini Abdul Murad segera membantah tudingan tersebut. “Kita membantah tuduhan itu. Kita membangun RS Indonesia dalam konteks yang benar-benar profesional, sesuai kebutuhan masyarakat Gaza, ketika itu dan saat ini. Apa yang dituduhkan Israel bisa jadi merupakan pra-kondisi Israel untuk melakukan serangan ke RS Indonesia yang ada di Gaza,” ujar Sarbini dalam konferensi pers di Jakarta, Senin lalu.

Di tengah penargetan masyarakat dan fasilitas sipil di Gaza, harapan tertumpu pada PBB. Sebagai badan dunia terbesar, ia diharapkan mampu menghentikan kebrutalan perang di Gaza. Namun, hingga kini, PBB, lewat beberapa lembaganya, hanya bisa sekadar menyalurkan bantuan kemanusiaan. Sementara Israel, meski telah menuai kecaman internasional, terus melanjutkan agresinya ke Gaza.

Baca Juga


Resolusi DK PBB terus gagal....

 

Badan PBB yang dapat menghentikan pertempuran di Gaza adalah Dewan Keamanan (DK) lewat resolusinya yang mengikat secara hukum (legally binding). Badan beranggotakan 15 negara–lima di antaranya anggota tetap dengan hak veto–telah beberapa kali bersidang untuk membahas situasi Palestina sehubungan dengan kian memburuknya kondisi di Gaza. Empat rancangan resolusi jeda kemanusiaan juga sudah diajukan, tapi gagal diadopsi akibat diveto. 

Pada 16 Oktober 2023 lalu, resolusi rancangan Rusia yang berisi seruan gencatan senjata kemanusiaan dalam perang antara Hamas dan Israel gagal disahkan di DK PBB. Rancangan resolusi tersebut memperoleh lima suara setuju (Cina, Gabon, Mozambik, Rusia, dan Uni Emirat Arab), empat menentang (Prancis, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat), dan enam lainnya abstain (Albania, Brasil, Ekuador, Ghana, Malta, dan Swiss). 

Rancangan resolusi Rusia menyerukan gencatan senjata kemanusiaan, pembebasan semua sandera, akses bantuan, dan evakuasi warga sipil yang aman. Negara anggota DK PBB terpecah atas usulan resolusi tersebut karena kurangnya kecaman khusus terhadap Hamas.

Agar DK dapat mengadopsi sebuah resolusi, rancangan resolusi harus mendapat setidaknya sembilan suara setuju,dan tidak diveto dari satu pun dari lima negara anggota tetap DK, yakni AS, Rusia, Cina, Prancis, dan Inggris. Rancangan resolusi Rusia gagal diadopsi pada 16 Oktober 2023 lalu karena tak mencapai ambang batas persetujuan dan ditolak tiga negara anggota tetap DK, yaki AS, Inggris, dan Prancis.

Pada 18 Oktober 2023, DK PBB kembali bersidang untuk melakukan pemungutan suara atas rancangan resolusi Brasil yang turut menyerukan gencatan senjata kemanusiaan di Jalur Gaza. Namun rancangan resolusi tersebut kembali gagal diadopsi. Sebanyak 12 negara anggota DK sebenarnya mendukung usulan resolusi Brasil, termasuk Cina dan Prancis sebagai anggota tetap. Sementara Rusia dan Inggris memilih abstain. Namun, AS memilih memveto atau menggugurkan rancangan resolusi tersebut. 

Rancangan resolusi Brasil mengutuk semua aksi kekerasan dan permusuhan terhadap warga sipil serta semua tindakan terorisme. Resolusi pun menyerukan pembebasan segera para sandera tanpa syarat. Selain itu, usulan resolusi Brasil turut menyerukan perlindungan terhadap semua personel medis, personel kemanusiaan, serta fasilitas medis dan rumah sakit, sesuai dengan hukum humaniter internasional. Namun, dalam resolusi Brasil memang tak ada kecaman eksplisit terhadap Hamas. AS kemudian memilih memveto rancangan resolusi tersebut.

Jika rancangan resolusi Brasil diadopsi, ia dapat membatalkan perintah Israel terhadap warga sipil dan staf PBB mengevakuasi diri mereka dari wilayah utara ke selatan Gaza. Resolusi tersebut pun akan sangat mendesak suplai barang dan jasa esensial bagi warga Gaza tanpa hambatan, termasuk di dalamnya air, makanan, listrik, bahan bakar, dan pasokan medis, berdasarkan hukum kemanusiaan internasional.

Pada 25 Oktober 2023, DK PBB kembali bersidang untuk melakukan pemungutan suara atas rancangan resolusi jeda kemanusiaan di Gaza yang diajukan Rusia dan AS. Rancangan resolusi yang diajukan AS menyerukan jeda kemanusiaan di Gaza. Namun, dalam resolusi tersebut turut termaktub kecaman terhadap Hamas atas serangannya ke Israel pada 7 Oktober 2023 lalu.

Rancangan resolusi AS didukung 10 negara anggota DK. Namun, Rusia, Cina, dan Uni Emirat Arab menentangnya. Sementara, dua negara lainnya, yakni Brasil dan Mozambik memilih abstain. Karena ditolak Moskow dan Beijing, draf resolusi AS tak dapat diadopsi.

Sementara, rancangan resolusi Rusia gagal disahkan karena tak memperoleh jumlah dukungan. Rancangan yang turut menyerukan jeda kemanusiaan itu didukung empat negara (Cina, Gabon, Rusia dan Uni Emirat Arab), ditolak dua negara (Inggris dan AS), dan sembilan negara lainnya memilih abstain (Albania, Brasil, Ekuador, Prancis, Ghana, Jepang, Malta, Mozambik, Swiss). 

Deadlock di DK PBB mengakibatkan krisis kemanusiaan di Gaza memburuk...

Deadlock yang terjadi di DK PBB telah mengakibatkan krisis kemanusiaan di Gaza semakin memburuk. Selain karena terus berlanjutnya agresi tanpa pandang bulu Israel, hal itu turut dipengaruhi minimnya konvoi bantuan kemanusiaan yang dapat melintasi Gaza via Rafah, yakni gerbang penyeberangan satu-satunya untuk masuk dan keluar Gaza. Hanya puluhan truk pengangkut bantuan bisa memasuki Gaza per harinya. Padahal sebelum konflik pecah, biasanya terdapat sekitar 500 truk yang mengangkut berbagai macam kebutuhan untuk masyarakat Gaza per harinya.

Hingga saat ini Israel pun belum mengizinkan pengiriman bahan bakar ke Gaza. Salah satu akibat dari tindakan tersebut adalah 16 dari 35 rumah sakit di Gaza tak bisa beroperasi. Hal itu karena mereka tak memiliki bahan bakar untuk mengoperasikan generator pembangkit listrik.

Pada 26 Oktober 2023, Majelis Umum PBB berhasil mengadopsi resolusi yang menyerukan gencatan senjata segera, tahan lama, dan berkelanjutan di Gaza. Resolusi itu turut menuntut penyediaan pasokan barang-barang esensial secara memadai dan berkelanjutan bagi masyarakat di Gaza. Resolusi Majelis Umum PBB diadopsi dengan komposisi 120 negara mendukung, 14 menentang, dan 45 lainnya memilih abstain.

Namun resolusi Majelis Umum PBB bersifat non-legally binding. Dengan kata lain, resolusi yang diadopsi Majelis Umum dianggap sebagai rekomendasi dan tidak mengikat secara hukum bagi negara-negara anggotanya.

Di luar isu Palestina, seruan dan dukungan atas gagasan reformasi DK PBB telah diembuskan oleh sejumlah negara, termasuk Indonesia. Peran badan tersebut dinilai tak lagi mencerminkan kebutuhan perkembangan dinamika geopolitik global beserta tantangannya. Sebab struktur DK PBB saat ini masih sama ketika dibentuk pada 1946. Ia terdiri dari lima anggota tetap, yakni AS, Rusia, Prancis, Inggris, dan Cina. Kelima negara pemenang Perang Dunia II tersebut memiliki hak istimewa yang disebut veto. 

Sementara 10 kursi anggota tetap diisi bergilir oleh negara anggota PBB lainnya. Masa keanggotaan mereka hanya dua tahun.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler