Perekonomian Palestina Terancam Hancur karena Perang
Ratusan ribu warga Palestina bisa jatuh miskin
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persoalan sosio-ekonomi akibat perang Israel-Hamas di Gaza akan memaksa ratusan ribu warga Palestina jatuh miskin. Laporan yang dirilis oleh Program Pembangunan PBB dan Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia Barat (ESCWA) menyatakan, ketika perang melewati batas satu bulan, kemiskinan meningkat sebesar 20 persen dan produk domestik bruto menurun sebesar 4,2 persen,
Tingkat dampak ekonominya melebihi konflik Suriah dan Ukraina, atau perang Israel-Palestina sebelumnya. Setidaknya 10.800 warga Palestina telah terbunuh di Gaza dan lebih dari dua pertiga dari 2,3 juta penduduknya telah meninggalkan rumah mereka sejak Israel memblokade daerah kantong tersebut, serta melancarkan kampanye serangan udara dan serangan darat. Setidaknya 182 warga Palestina tewas dan lebih dari 2.250 orang terluka ketika kekerasan menyebar di Tepi Barat.
Jika perang terus berlanjut hingga bulan kedua, PBB memproyeksikan bahwa PDB Palestina, yang sebelumnya berjumlah 20,4 miliar dolar AS per tahun, akan turun sebesar 1,7 miliar dolar AS atau 8,4 persen. Sementara perekonomian kemungkinan akan menyusut sebesar 12 persen, dengan kerugian sebesar 2,5 miliar dolar AS, dan lebih dari 660.000 orang terjerumus ke dalam kemiskinan, jika konflik berlanjut hingga bulan ketiga.
Asisten Sekretaris Jenderal Program Pembangunan PBB, Abdallah al-Dardari mengatakan, hilangnya PDB sebesar 12 persen pada akhir tahun ini akan menjadi besar dan belum pernah terjadi sebelumnya. Sebagai perbandingan, perekonomian Suriah biasanya kehilangan 1 persen PDB-nya per bulan pada puncak konflik, dan butuh waktu satu setengah tahun untuk berjuang. Sementara Ukraina kehilangan 30 persen PDB-nya, dengan rata-rata sekitar sekitar 1,6 persen sebulan.
"Pada awal 2023, wilayah Palestina dianggap sebagai negara dengan perekonomian berpendapatan menengah ke bawah dengan tingkat kemiskinan 6 dolar AS per hari per orang," kata Sekretaris Eksekutif ESCWA PBB, Rola Dashti, dilansir Aljazirah, Jumat (10/11/2023).
Pada Januari, Gaza sudah bergulat dengan tingkat pengangguran yang tinggi, yakni sekitar 46 persen, atau tiga setengah kali lebih tinggi dibandingkan di Tepi Barat yang mencapai 13 persen. Perang selama empat minggu telah menghancurkan sekitar 390.000 pekerjaan.
“Saat perang mencapai satu bulan, 61 persen lapangan kerja di Gaza, setara dengan 182.000 pekerjaan, diperkirakan telah hilang,” kata Dashti.
Sekitar 24 persen lapangan kerja di Tepi Barat juga hilang, setara dengan 208.000 lapangan kerja. Al-Dardari mengatakan, ada gangguan ekonomi besar-besaran di sektor pertanian dan pariwisata di wilayah pendudukan. Selain itu, terdapat gangguan besar terhadap perdagangan, transfer uang dari Israel ke Otoritas Palestina yang menguasai Tepi Barat, dan kurangnya investasi.
Tingkat kehancuran di Gaza tidak terbayangkan
Sementara Dashti menyebut tingkat kehancuran di Gaza tidak terbayangkan dan belum pernah terjadi sebelumnya. Hingga 3 November diperkirakan 35.000 unit rumah rusak total dan sekitar 220.000 unit rusak sebagian. Laporan tersebut menyebutkan setidaknya 45 persen unit perumahan di Gaza telah hancur atau rusak.
"Jika hal ini terus berlanjut, mayoritas penduduk Gaza tidak akan memiliki rumah. Bahkan jika pertempuran berakhir akan terjadi pengungsian besar-besaran dalam jangka panjang, dengan segala konsekuensi pembangunan ekonomi kemanusiaan dan keamanannya,” kata al-Dardari.
Citra satelit menunjukkan bahwa di wilayah utara Gaza dan Kota Gaza, lebih dari 36 persen rumah kaca hancur atau rusak. Sementara lebih dari 1.000 lahan pertanian rusak. Dalam pandangan yang paling pesimistis, indeks pembangunan manusia, yang mengukur harapan hidup, pendidikan dan standar hidup, dapat kembali ke tingkat tahun 2007.
“Kita harus menyadari bahwa konsekuensi dari apa yang terjadi saat ini adalah krisis pembangunan di tahun-tahun mendatang,” kata administrator UNDP, Achim Steiner.
“Dalam skenario kami yang paling konservatif, konflik ini kemungkinan akan menghambat pembangunan (di wilayah Palestina) selama lebih dari satu dekade,” ujar Steiner menambahkan.