Perubahan Iklim Sebabkan Kekeringan Parah di Suriah, Irak, dan Iran
Kekeringan di Suriah, Irak, dan Iran, dinilai sebagai kondisi yang tidak wajar.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekeringan parah yang menyebabkan krisis air di Suriah, Irak, dan Iran tidak akan terjadi tanpa adanya perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia. Demikian menurut para ilmuwan dalam studi terbarunya.
Para ilmuwan dari Imperial College London menjelaskan bahwa kekeringan di Asia Barat, yang dimulai pada Juli 2020, sebagian besar disebabkan oleh suhu panas yang lebih ekstrem, sehingga menguapkan sedikit curah hujan yang turun.
“Tanpa pemanasan global sebesar 1,2 derajat Celcius sejak pertengahan abad ke-19, kekeringan tidak akan terjadi sama sekali," ujar penulis utama studi, Friederike Otto, seperti dilansir US News, Senin (13/11/2023).
Otto menilai bahwa ini merupakan kasus perubahan iklim yang secara tidak wajar mengintensifkan kondisi kering secara alami menjadi krisis kemanusiaan, yang membuat jutaan orang kehausan, lapar, dan terlantar.
Untuk sampai pada kesimpulan tersebut, para ilmuwan mengamati suhu, curah hujan, dan tingkat kelembaban. Lalu dengan berbagai simulasi computer, mereka membandingkan apa yang terjadi dalam tiga tahun terakhir jika dunia tidak mengalami perubahan iklim.
Menurut Otto, simulasi computer tidak menemukan ‘sidik jari’ manusia dalam perubahan iklim yang signifikan dalam curah hujan yang berkurang. Namun penguapan air di danau, sungai, lahan basah dan tanah jauh lebih tinggi daripada yang seharusnya terjadi, tanpa adanya lonjakan suhu akibat perubahan iklim.
Selain membuat kondisi air yang hampir normal menjadi kekeringan ekstrem, peneliti menghitung bahwa kondisi kekeringan di Suriah dan Irak 25 kali lebih mungkin terjadi karena perubahan iklim, dan di Iran 16 kali lebih mungkin terjadi.
"Perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia telah membuat kehidupan puluhan juta orang di Asia Barat semakin sulit. Dengan setiap tingkat pemanasan, Suriah, Irak dan Iran akan menjadi tempat yang lebih sulit untuk ditempati,” kata salah satu penulis studi, Mohammed Rahimi, seorang profesor klimatologi di Semnan University Iran.
Para peneliti menambahkan, kekeringan di Timur Tengah sudah menyentuh batas kemampuan manusia untuk beradaptasi. Dan kondisi konflik termasuk perang saudara di Suriah, membuat wilayah tersebut semakin rentan terhadap kekeringan karena infrastruktur yang rusak dan manajemen air yang lemah.
“Selama kita terus membakar bahan bakar fosil atau bahkan memberikan izin baru untuk mengeksplorasi ladang minyak dan gas baru, kejadian seperti ini akan semakin memburuk dan terus menghancurkan mata pencaharian dan membuat harga pangan tetap tinggi. Dan ini bukan hanya masalah bagi beberapa bagian dunia, tetapi benar-benar masalah bagi semua orang,” tegas Otto.