Media Sosial Picu Gangguan Jiwa di Indonesia?
Perilaku anak akan berdasarkan pola pengasuhan orang tua.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Aktivitas di media sosial saat ini seakan sudah menjadi budaya. Namun ada dampak negatif yang ditimbulkan, seperti halnya memengaruhi kesehatan mental, terutama anak dan remaja.
Dokter spesialis penyakit jiwa Tjhin Wiguna, mengatakan sering kali terjadi perbandingan dalam kehidupan bermedia sosial. Misalnya, orang merasa tertekan ketika ada yang seusianya sudah sudah wisuda, sementara dia belum.
“Padahal jangan pernah mencoba membanding-bandingkan karena pengalaman itu kan tidak sama, beda,” kata Tjhin dalam diskusi publik di Perpustakaan Nasional Jakarta, Selasa (14/11/2023).
Kadang-kadang, menurut dia, orang juga tidak berniat pamer. Tetapi secara tidak sadar, hal itu memang mengundang tekanan bagi orang lain yang melihatnya.
Apa pun yang muncul di media sosial perlu disadari bahwa arahnya tidak seperti yang dibayangkan. Masalah psikososial ini memang kompleks, termasuk ada orang yang merasa tidak dapat membantu penderitaan orang lain juga bisa merasa tertekan. Padahal, dalam kasus tersebut, untuk mengurangi rasa bersalah, bisa melakukan aksi-aksi, seperti donasi, share berita atau yang lainnya.
“Jadi tidak bisa bantu juga bisa pressure. Masalah psikososial adalah masalah setiap manusia itu yang bisa ditelusuri 100 persen stigma habis didiagnosis bipolar distigma gila akibatnya yang mau periksa jadi terpendam karena ditekan jadi muncul,” lanjut dia.
Lebih jauh dia mengingatkan bahwa bibit gangguan jiwa ini juga harus diperhatikan sejak usia bayi dalam kandungan. Sebab banyak teori yang membahas bahwa sejak janin dalam kandungan itu sudah punya pengalaman yang terekam dalam otak.
Janin dapat merekam bagaimana perlakuan, sikap orang tua, terutama ibu di awal khidupan. Dalam satu tahun pertama, kelekatan terbentuk antara ibu, pengasuh dan anak, bagaimana bisa memberikan perasaan aman karena itu terekam dalam memori bayi dan digunakan anak untuk tumbuh dan berkembang mencari relasi dati waktu ke waktu.
Jika pada 1.000 hari pertama kehidupan anak mengalami pengalaman tidak menyenangkan, membuat mereka menderita, bisa jadi dia tumbuh tidak percaya diri. Perilaku anak itu akan berdasarkan pola pengasuhan orang tua, bukan imitasi.
Tentu anak punya karakteristik, tapi dia mempelajarinya dari lingkup keluarga bagaimana menjalin relasi di kemudian hari. Alasan relasi interpersonal buruk bisa disebabkan kurangnya rasa aman dan memicu timbulanya masalah kesehatan mental atau jiwa. Kemudian anak masuk ke dunia maya yang dirasanya menyenangkan dan bebas bicara apa saja.
“Kalau ngomong di dunia maya happy banget tapi ketika saya ajak ngomong gak nyaman banget jangan-jangan insecure itulah yang kurang diperhatikan sehingga muncul gangguan jiwa,” jelas dia.
Orang tua disarankan segera mendatangi ahli jika melihat perubahan pada anak, misalnya dalam dua minggu berturut-turut. Jika perasaan sedih muncul akibat adanya musibah mungkin masih wajar, akan tetapi ketika terlihat berlangsung lama, sebaiknya segera konsultasi.
Kelompok usia anak dan remaja menjadi fokus yang harus diperhatikan dalam penanganan isu kesehatan jiwa. Selain kelompok usia itu, usia rentan terdampak masalah kesehatan jiwa adalah ibu dan bayi pada 1.000 hari pertama kehidupan serta para pekerja usia produktif.
Menurut Kemenkes RI, satu dari 10 orang Indonesia mengalami gangguan jiwa. Studi yang dilakukan Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa menyimpulkan tingkat urgensi isu kesehatan jiwa di Indonesia sangat tinggi.
Studi juga menemukan lima urgensi dan tiga esensi kesehatan jiwa di Indonesia. Urgensi itu antara lain menyebut bahwa kesehatan jiwa berdampak multi sektor karena merupakan bagian dari kondisi kesehatan yang komprehensif. Sehat tidaknya jiwa seseorang akan mempengaruhi tingkat produktivitas dan menentukan kualitas hidup serta pencapaian generasi selanjutnya.