Kasus Pembunuhan Pemimpin Hamas oleh Agen Rahasia Israel yang Menarik Perhatian Dunia
Benjamin Netanyahu memerintahkan Mossad dan Shin Bet untuk membunuh pemimpin Hamas.
REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Mossad dan Shin Bet dilaporkan telah membentuk pusat operasi pasukan khusus yang bertugas melacak dan membunuh anggota unit komando Hamas yang memimpin serangan pada 7 Oktober. Operasi yang sama pun pernah menarik perhatian dunia dengan pembunuhan komandan Hamas Mahmoud al-Mabhouh Dubai, Uni Emirat Arab, pada 19 Januari 2010.
Al-Mabhouh adalah salah satu Orang Paling Dicari Israel karena menculik dan membunuh dua tentara Pasukan Pertahanan Israel (IDF). Dia memiliki 'Halaman Merah' atau nama kode untuk perintah pembunuhan Mossad.
Sebelum kematian Al-Mabhouh, ada tiga upaya pembunuhan terhadapnya. Namun, pembunuhan tersebut berhasil dilakukan saat dia menginap di hotel Al Bustan Rotana dalam Kamar 230.
Sebanyak empat pembunuh menunggu di balik pintu kamar hotel Al-Mabhouh ketika dia kembali dari pertemuan bisnis malam itu. Kepala polisi Dubai Jenderal Dhahi Khalifan Tamim mengatakan, 99 persen yakin Mossad berada di balik pembunuhan itu.
Perselisihan diplomatik besar pun terjadi usai pembunuhan itu. Inggris dan Irlandia mengusir diplomat Israel meskipun selama bertahun-tahun badan tersebut tidak menyangkal atau menerima tanggung jawab. UEA dan Israel dilaporkan tidak melakukan perbincangan selama 18 bulan sampai Amerika Serikat (AS) menjadi perantara perundingan.
Peristiwa ini dikutip dari spyscape, diangkat menjadi sebuah film komedi aksi mata-mata Kidon atau Spear pada 2013 oleh penulis dan sutradara Perancis-Israel Emmanuel Naccache. Namun dalam film ini, narasi menyatakan Mossad dijebak atas kasus pembunuhan itu.
Kidon juga merupakan nama unit Mossad yang diduga merencanakan dan melaksanakan pembunuhan musuh-musuh Israel. Kelompok elit ahli pembunuh ini beroperasi di bawah organisasi spionase cabang Kaisarea.
Kaisarea merekrut tentara Pasukan Khusus IDF dan diyakini sebagai tim yang mengikuti al-Mabhouh pada tahun sebelum kematiannya. Mereka mempelajari pergerakannya, memasang perangkat mata-mata di komputernya, dan meretas server surelnya.
Cara ini yang membuat tim itu mengetahui saat al-Mahmoud memesan penerbangan Dubai secara daring. Tidak ada waktu untuk menyiapkan paspor palsu untuk tim yang diperkirakan terdiri dari dua lusin petugas dan tindakan ini yang membongkar keterlibatan intelijen Israel dalam pembunuhan tokoh Hamas tersebut.
Pasukan tersebut menggunakan paspor Inggris, Australia, Irlandia, Jerman, dan Prancis. Beberapa dipinjam atau dikloning dari orang Israel dengan kewarganegaraan ganda, yang lain dicuri dan direkayasa. Itu berisiko.
Tim tersebut telah terbang ke Dubai tiga kali dalam enam bulan dan perlu menggunakan kembali paspor yang sama. Meskipun demikian, penulis Rise and Kill First Ronen Bergman mengatakan. kepala Mossad Meir Dagan menyetujui rencana tersebut dan mendiktekan keputusannya kepada asistennya "Plasma Screen: diizinkan untuk dieksekusi".
Cara al-Mabhouh dibunuh Mossad...
Salah satu anggota tim adalah seorang Israel yang mendapatkan paspor Jerman dengan nama samaran Michael Bodenheimer, seorang Amerika yang berhak mendapatkan kewarganegaraan Jerman melalui ayahnya. Identitas ini adalah satu-satunya paspor yang tidak dipalsukan dalam Operation Plasma Screen tetapi terbukti menjadi mata rantai lemah dalam misi yang sangat koreografinya.
Mata-mata tersebut mengajukan permohonan dokumen Jerman menggunakan paspor Israel dan alamat fiktif sehingga ceritanya dengan cepat terbongkar. Di Cologne, Badan Kebijakan Kriminal Federal Jerman segera mengetahui bahwa 'Michael Bodenheimer' alias Uri Brodsky, alias Alexander Varin adalah orang yang sama.
Brodsky/Varin ditangkap di Polandia dan dipulangkan ke Jerman pada Agustus 2010. Setelah jaminan tunai sebesar 100 ribu euro dibayarkan untuk pembebasannya, Brodsky/Varin segera meninggalkan Jerman menuju Tel Aviv.
“Karena dia, kita sekarang tahu bahwa Mossad berada di balik semua yang terjadi di Dubai pada 19 Januari,” ujar Dan Magen dalam buku Israeli Mossad - The True Story yang diterbitkan 2017.
Hingga saat ini tidak jelas cara al-Mabhouh meninggal. Wartawan BBC Jane Corbin mengatakan, dia dicekik dengan bantal. Bergman mengatakan, para pembunuh menggunakan gadget dengan gelombang ultrasonik yang dapat menyuntikkan obat tanpa merusak kulit. Namun Magen menyatakan, mungkin kombinasi cara-cara tersebut digunakan.
Al-Mabhouh meninggal dalam waktu 20 menit. Kamera CCTV merekam empat pembunuh keluar dari Kamar 230. Sebagian besar tim meninggalkan Dubai dalam beberapa jam dan sisanya hilang dalam 24 jam.
Keamanan hotel menemukan mayat al-Mabhouh keesokan harinya ketika dia tidak menjawab ketukan pelayan hotel. Kepala polisi Dubai memerintahkan otopsi dan menyusun daftar pengunjung yang masuk dan keluar Dubai pada waktu yang hampir bersamaan dengan perjalanan al-Mabhouh pada 2009 hingga 2010.
Polisi menemukan tim mencurigakan yang terdiri dari ‘warga negara’ Inggris, Irlandia, Australia, Prancis, dan Jerman menggunakan paspor yang sama pada setiap perjalanan. Nama mereka direferensikan silang dengan daftar tamu hotel Al Bustan.
Mantan kepala Mossad Meir Dagan mengakui kesalahannya untuk pertama kalinya. “Saya salah dalam mengirimkan tim dengan paspor tersebut. Itu adalah keputusanku dan satu-satunya keputusanku. Saya memikul tanggung jawab penuh atas apa yang terjadi," ujarnya yang berhenti atau dikeluarkan dari jabatannya sebagai kepala intel Mossad pada akhir 2010.