Indonesia Miliki Banyak Gunung Api, Apa Dampak Positif dan Negatifnya?

Meskipun banyak dampak positifnya, masyarakat perlu memperhatikan dampak negatifnya.

EPA-EFE/SUSANTO
Gunung Semeru memuntahkan material vulkanik seperti yang terlihat dari Lumajang, Jawa Timur, Senin, 5 Desember 2022. Pihak berwenang telah menaikkan status Gunung Semeru ke tingkat tertinggi setelah letusannya pada 04 Desember 2022 yang memaksa sekitar dua ribu penduduk desa meninggalkan rumah mereka. Semeru setinggi 3.376 meter adalah salah satu gunung berapi paling aktif di pulau Jawa.
Rep: Wilda Fizriyani Red: Fernan Rahadi

REPUBLIKA.CO.ID, BATU -- Indonesia diketahui banyak memiliki gunung api yang tersebar di berbagai daerah. Hal ini berarti terdapat hubungannya dengan potensi 80 persen panas bumi yang dapat dimanfaatkan Indonesia. 


Pakar Mitigasi Bencana dan Eksplorasi Sumber Daya Alam khususnya Kegununapian dan Panas Bumi dari Universitas Brawijaya (UB), Profesor Sukir Maryanto menyatakan, keberadaan gunung api memberikan berbagai dampak dalam kehidupan masyarakat sekitar. "Baik dampak positif maupun dampak negatif," katanya dalam kegiatan Bincang dan Obrolan Santai Bersama Pakar (BONSAI) di Agro Technopark (ATP) Cangar, Kota Batu, Jumat (24/11/2023)

Dampak positif bagi masyarakat Indonesia antara lain sebagai sumber kehidupan (gunung, sungai, ekologi, dan mata air) dan penyedia potensi panas bumi. Kemudian dapat menjadi sumber penyedia unsur-unsur mineral dan hara dalam menyuburkan tanah. Bahkan, mampu menjadi sumber tambang serta sebagai sumber penunjang ekonomi masyarakat (pariwisata, pertanian, UMKM, dan lain-lain).

Meskipun banyak dampak positifnya, masyarakat perlu juga memperhatikan dampak negatifnya. Satu di antaranya perihal potensi kebencanaan yang dapat terjadi di kawasan gunung api. Dengan demikian, keberadaan potensi panas bumi dan gunung api tersebut harus disikapi dengan bijak. 

Menurut dia, situasi tersebut pada dasarnya telah memberikan tantangan tersendiri. Hal ini karena belum optimalnya pengelolaan potensi sektoral di kawasan kaki gunung api serta belum masifnya terkait monitoring kebencanaan kawasan gunung api. Sebab itu, diperlukan kebijakan yang seimbang dalam segala aspek terkait dengan pengelolaan dan pengembangan kawasan gunung api. 

Prof Sukir menjelaskan, hidup berdampingan dengan gunung berapi perlu adanya kesadaran dari dalam diri masyarakat maupun semua stakeholder terkait kebencanaan. Itu artinya, kesadaran kebencanaan secara berangsur harus diubah menjadi budaya sadar bencana pada segenap lapisan masyarakat dan lintas sektoral.

Untuk mengubah kesadaran diri menjadi suatu budaya terhadap kebencanaan, maka dibutuhkan usaha yang sangat besar. Hal ini dapat dilakukan dalam bentuk school watching dan town watching. 

School watching berarti lingkupnya di sekolah sedangkan town watching lebih pada tingkat kota atau desa. Maksudnya adalah masyarakat yang sebenarnya mampu mengamati potensi bahaya. "Kita yang ahli bencana pada saat terjadi bencana tidak berada di tempat tersebut. Oleh karena itu, masyarakatlah yang paham, masyarakat yang bisa, masyarakat yang tahu karakternya yang bisa mengevakuasi dirinya sendiri ketika ada bencana karena mereka yang menghadapinya sendiri," katanya. 

Menurut dia, pengetahuan tentang mitigasi bencana seharusnya menjadi program pemerintah. Bahkan, jika perlu dapat dimasukkan dalam kurikulum pendidikan dengan strategi. Jika belum mampu dinasionalisasikan, maka dapat dimulai dari kurikulum lokal (muatan lokal dengan kerjasama pada daerah-daerah yang bersedia sebagai perintis).

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler