Polisi Israel Larang Keluarga Palestina Rayakan Pembebasan Tahanan

Keluarga para tahanan akan ditangkap jika mereka menunjukkan bentuk perayaan

AP Photo/Nasser Nasser
Mantan tahanan wanita Palestina Hanna Barghouti, yang dibebaskan oleh otoritas Israel, mengenakan ikat kepala Hamas saat dia diterima oleh para pendukungnya setibanya di kota Beitunia, Tepi Barat, Jumat (24/11/2023). Israel dan Hamas sepakat untuk melakukan pembebasan sandera sebagai bagian dari perjanjian gencatan senjata selama empat hari. Sebanyak 50 sandera Israel dibebaskan oleh Hamas dan 150 wanita Palestina serta anak-anak yang ditahan di penjara Israel dibebaskan oleh Israel.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Polisi Israel melarang keluarga Palestina melakukan selebrasi atau perayaan dalam menyambut kepulangan kerabat mereka yang dibebaskan dari penjara. Pada Rabu (22/11/2023) malam, polisi Israel memotret rumah para tahanan yang dijadwalkan akan dibebaskan di Yerusalem.

Polisi mengancam bahwa keluarga para tahanan akan ditangkap jika mereka menunjukkan bentuk perayaan pembebasan kerabat mereka. Pembatasan seperti ini bukanlah hal baru di Yerusalem.

Dalam beberapa tahun terakhir, Israel telah melarang perayaan apa pun ketika keluarga menerima putra dan putri mereka yang dibebaskan.  Dalam beberapa kasus, narapidana yang baru dibebaskan ditangkap kembali setelah keluarga mereka merayakan pembebasan.

Baca Juga



Sementara dalam kasus lain, para tahanan yang dibebaskan dideportasi dari Yerusalem. Ketua Komite Keluarga Tahanan Yerusalem, Amjad Abu Asab mengatakan, melarang perayaan kebebasan anak-anak mereka, setelah menunggu pembebasan yang cukup lama, adalah bagian dari tekanan terus-menerus yang ingin diterapkan oleh Israel.

Israel juga menerapkan tindakan keras yang berlebihan terhadap anak-anak yang ditangkap di Yerusalem, seperti hukuman berat, denda berat, dan tahanan rumah. Abu Asab mengatakan, Israel tidak hanya memberlakukan pembatasan fisik, namun juga bentuk tekanan psikologis yang berlangsung selama berbulan-bulan. Menurut Abu Asab, pemukulan merupakan ciri khas penangkapan anak-anak di Yerusalem dengan tujuan intimidasi.

“Sejak para pemukim membakar dan membunuh anak Muhammad Abu Khudair di Yerusalem pada 2014, Israel semakin menargetkan anak-anak di kota tersebut untuk mencegah mereka melakukan balas dendam. Israel juga mengembangkan undang-undang untuk melipatgandakan hukuman mereka dengan dalih pencegahan,” ujar Abu Asab, dilaporkan Middle East Eye.

Penggunaan kekuatan berlebihan dalam menangani anak-anak di Yerusalem adalah kebijakan sistematis yang diterapkan oleh polisi Israel dengan tujuan untuk menundukkan mereka. Abu Asab menggambarkan kondisi penangkapan dan interogasi mereka lebih brutal dibandingkan tahanan lainnya.

Penolakan pengobatan, pemukulan yang menyebabkan patah tulang dan memar, ancaman terus-menerus, perampasan pendidikan, penundaan di pengadilan, dan kondisi pembebasan yang rumit bahkan setelah mereka dibebaskan, merupakan prosedur yang bertentangan dengan hukum internasional. Padahal 30 tahun lalu, Israel telah menandatangani Konvensi Perlindungan Anak.

Tahanan Palestina yang dibebaskan pada Jumat termasuk 24 wanita, beberapa di antaranya telah dijatuhi hukuman penjara bertahun-tahun karena percobaan penikaman dan serangan lain terhadap pasukan keamanan Israel. Sementara yang lainnya dituduh melakukan penghasutan di media sosial.

Selain itu, terdapat juga 15 anak laki-laki, sebagian besar dari mereka didakwa melakukan pelemparan batu dan “mendukung terorisme". Tuduhan ini menggarisbawahi tindakan keras Israel terhadap pemuda Palestina ketika kekerasan meningkat di wilayah pendudukan.

Pembebasan tahanan ini menimbulkan perasaan senang dan sedih yang bercampur aduk....

Bagi keluarga-keluarga di kedua pihak yang berkonflik, berita tentang pertukaran tersebut merupakan momen penuh harapan pertama dalam 49 hari perang. Pembebasan tahanan ini menimbulkan perasaan senang dan sedih yang bercampur aduk.

“Sebagai warga Palestina, hati saya hancur untuk saudara-saudara saya di Gaza, jadi saya tidak bisa merayakannya,” kata Abdulqader Khatib, seorang pekerja PBB.

Putra Khatib yang berusia 17 tahun, Iyas, ditempatkan di penahanan administratif tahun lalu. Iyas menjalani penahanan tanpa dakwaan atau pengadilan dan berdasarkan bukti rahasia. 

"Tetapi saya seorang ayah. Dan jauh di lubuk hati, saya sangat bahagia," kata Khatib.

Pada Jumat di Beitunia, seorang remaja kurus berusia 16 tahun, Aban Hammad, berdiri lemas. Dia tampak terguncang oleh keramaian, air mata, pelukan dan nyanyian pro-Hamas di sekelilingnya. Ini adalah pertama kalinya dia melihat dunia setelah setahun dipenjara karena melempar batu di Kota utara Qalqilya.

Hammad dibebaskan meski masa hukumannya masih tersisa delapan bulan. Dia berbalik ke arah ayahnya, dan memeluknya. 

“Dengar, aku hampir lebih besar darimu sekarang,” kata ayah Hammad.

Sejak 7 Oktober, ketika Hamas menyandera sekitar 240 warga Israel dan warga negara asing dalam serangan mengejutkan di Israel selatan, warga Palestina bertanya-tanya tentang nasib para tahanan mereka sendiri. Israel memiliki sejarah dalam menyetujui pertukaran yang tidak seimbang.  Pada 2011, Hamas meminta Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk membebaskan lebih dari 1.000 tahanan Palestina dengan imbalan satu tentara Israel yang ditawan, Gilad Schalit.

Pembebasan tahanan sangat menyentuh hati masyarakat Palestina.  Hampir setiap warga Palestina mempunyai kerabat yang dipenjara atau pernah dipenjarakan.  Kelompok hak asasi manusia memperkirakan bahwa lebih dari 750.000 warga Palestina telah ditahan penjara-penjara Israel sejak Israel merebut Tepi Barat, Gaza dan Yerusalem Timur pada 1967.

Israel memandang tahanan Palestina sebagai teroris. Sedangkan warga Palestina menyebut mereka dengan kata Arab yang berarti tawanan perang.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler