Media AS: Gedung Putih Dilanda Perpecahan Internal Soal Israel-Hamas
Campur tangan pemerintah Biden di Gaza merusak otoritas moral AS di mata dunia.
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Surat kabar the Washington Post melaporkan perpecahan internal di Gedung Putih mengenai perang Israel-Gaza. Harian Amerika Serikat (AS) tersebut mengatakan pada awal bulan ini sekitar 20 staf Gedung Putih meminta bertemu dengan penasihat Presiden Joe Biden mengenai serangan Israel ke Gaza.
Kelompok itu mengajukan tiga isu utama yang ingin mereka bahas dengan Kepala Staf Gedung Putih Jeff Zients, penasihat senior Anita Dunn dan Deputi Penasihat Keamanan Nasional. Mereka ingin tahu strategi pemerintah untuk menekan korban jiwa sipil, pesan yang ingin dikirimkan dalam konflik tersebut dan visi pemerintah pada kawasan setelah perang berakhir.
Sumber yang tidak bersedia disebutkan namanya mengatakan Zients, Dunn dan Finer mendengarkan dengan hormat. Tapi, beberapa peserta merasa mereka kembali ke poin-poin yang sudah dibahas sebelumnya. Para penasihat itu mengatakan pemerintah berhati-hati untuk tidak mengkritik Israel di publik sehingga dapat mempengaruhi pemimpinnya.
Pemerintah AS menekan Israel untuk meminimalisir korban jiwa sipil. Presiden dan pejabat tinggi lainnya juga mendorong solusi dua negara setelah perang berakhir.
Pertemuan yang tidak diungkapkan ini menunjukkan bagaimana Pemerintah AS menangani konflik ini memicu perpecahan di Gedung Putih yang bangga dengan operasi mereka yang disiplin dan penuh dengan kesatuan.
Beberapa pembantu dan staf presiden mengatakan konflik Israel-Gaza menjadi isu yang paling mengguncang bagi pemerintah Biden dibandingkan isu-isu lain selama tiga setengah tahun ia menjabat. Sebab para staf kesulitan karena posisi mereka dalam isu yang sangat emosional.
Dikutip dari the Washington Post, Senin (27/11/2023) para sumber mengatakan banyak staf Gedung Putih tidak nyaman atas dukungan Biden pada Israel berdasarkan keterikatannya pada negara itu. Presiden kerap menyinggung pertemuannya dengan Perdana Menteri Golda Meir tahun 1973 sebagai peristiwa penting yang mengkristalkan pandangannya tentang Israel.
Saat itu negara Israel baru berusia 25 tahun, negara yang condong ke kiri dan lemah secara militer. Israel masih mencari jalan untuk pulih dari Holocaust.
Kini Israel salah satu negara dengan kekuatan militer terbesar di dunia dan condong ke ekstrem kanan. Pemerintah Biden kini dapat diidentifikasi dengan operasi militer yang menewaskan 13 ribu lebih warga Palestina, memaksa ratusan ribu lainnya mengungsi, menciptakan bencana kemanusiaan dan merusak otoritas moral AS di mata dunia.
Namun, ada batas-batas seberapa jauh AS dapat memengaruhi tindakan Israel karena sebagian besar menahan diri untuk tidak mengkritik mereka secara terbuka.
"Saya kira sejak awal pemerintah telah menyadari mereka berada dalam posisi terjepit," kata kepala eksekutif Chicago Council on Global Affairs yang pernah menjabat sebagai duta besar NATO di bawah Presiden Barack Obama, Ivo Daalder.
"Dan hal ini terjadi bukan hanya karena kecenderungan Biden sendiri, yang nyata dan kuat dan penting," kata Daalder.
Tetapi, tambahnya, karena biaya politik untuk memutuskan hubungan dengan Israel, terutama setelah serangan Hamas pada 7 Oktober yang menewaskan lebih dari 1.200 orang dan menyandera 200 orang lebih.
The Washington Post mengatakan laporan tentang bagaimana pemerintah AS menangani perang Israel-Gaza diwawancara 27 staf, pejabat senior dan penasihat luar Gedung Putih. Sebagian besar menolak disebutkan namanya karena mengungkapkan diskusi internal.
Para pejabat Gedung Putih berpendapat pendekatan "memeluk" Biden pada Israel memberinya kredibilitas terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Sehingga ia dapat memberikan tekanan yang mengarah pada kesepakatan gencatan senjata dan pembebasan sandera yang saat ini sedang berlangsung.
Dua pejabat senior mengatakan pemerintah AS menggunakan jeda pertempuran ini untuk mendesak Israel agar operasi militernya ke Gaza selatan yang dihuni lebih dari 2 juta warga Palestina, lebih terkonsentrasi dan kurang mematikan.
Sudah lama tim kebijakan luar negeri Biden menyadari pengaruh organisasi-organisasi lobi pro-Israel di Washington. Namun, perubahan demografi di negara-negara bagian penting, seperti Michigan, yang merupakan rumah bagi komunitas Arab-Amerika yang terus berkembang, mendorong beberapa analis Demokrat untuk mempertanyakan kebijaksanaan politik konvensional.
Tokoh-tokoh progresif AS seperti Senator Bernie Sanders mendesak Biden untuk memberikan bantuan tahunan sebesar 3,8 miliar dolar AS kepada Israel dengan syarat harus diakhirinya pemboman yang meluas di Gaza dan dibekukannya permukiman di Tepi Barat.
Biden mengatakan desakan ini "pemikiran yang berharga," tetapi jika dia melakukannya terlalu cepat, hal itu akan merusak pengaruhnya dengan Israel. "Saya tidak berpikir jika saya memulainya dengan hal itu, kita tidak akan pernah mencapai posisi kita sekarang," katanya.