Penyebaran Ratusan Ribu Nyamuk Wolbachia Efektif? Menkes Angkat Bicara
Nyamuk Bionik Wolbachia diklaim bisa hadang demam berdarah
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyebut, implementasi teknologi nyamuk dengan bakteri wolbachia berhasil menurunkan incidence rate demam berdarah di Yogyakarta.
Budi menjelaskan, wolbachia adalah bakteri alami yang ada di dalam tubuh beberapa serangga seperti lalat buah, kupu-kupu, ngengat.
“Begitu (implementasi Wolbachia) terjadi di Yogyakarta dan mengapa kita senang karena pendekatannya ilmiah, sistematis, dan terstruktur. Bakteri wolbachia ini di nyamuk pun ada, jadi bukan sesuatu yang dibikin-bikin,” kata Budi dalam siaran pers, Kamis (1/12/2023).
Dia menjelaskan, wolbachia tak dapat bertahan hidup di luar sel serangga karena tak memiliki mekanisme untuk mereplikasi dirinya sendiri tanpa bantuan serangga sebagai inangnya.
Selain tak dapat bertahan hidup di lingkungan luar sel inang, wolbachia juga tak dapat berpindah ke serangga lain atau manusia dan bukan merupakan rekayasa genetika oleh para ilmuwan.
DI Yogyakarta, kata dia, implementasi wolbachia berhasil menurunkan incidence rate demam berdarah di bawah standar WHO, yaitu 1,94 per 100 ribu penduduk data pada Juli 2023 dengan mengimplementasikan teknologi wolbachia.
WHO menetapkan standar untuk incidence rate atau frekuensi kesakitan sebesar 10 per 100 ribu penduduk.
“Secara umum, frekuensi kesakitan demam berdarah tercatat 28,45 per 100 ribu penduduk dan frekuensi kematian 0,73 per 100 ribu penduduk. Kasus tersebut didominasi oleh usia 5-14 tahun,” tutur dia.
Baca juga: Mengapa Allah SWT Mengutuk Kaum Yahudi Menjadi Kera? Ini Tafsir Surat Al-Baqarah 65
Budi menjelaskan, dengue di Indonesia atau demam berdarah di Indonesia meningkat terus selama mungkin 50 tahun terakhir. Jadi selama 50 tahun terakhir pemerintah sudah melakukan berbagai macam intervensi dan program.
“Mulai dari pemberian larvasida, Pemberantasan Sarang Nyamuk, melakukan 3M, membentuk Juru Pemantau Jentik(Jumantik) dan adanya gerakan satu rumah satu jumantik sampai fogging,” jelas Budi.
Dia menerangkan, bakteri wolbachia...
Dia menerangkan, bakteri wolbachia menghambat perkembangan virus dengue di tubuh nyamuk aedes aegypti. Itu berarti, kemampuan nyamuk dengan wolbachia dalam menularkan virus ke manusia akan berkurang.
Ketika nyamuk aedes aegypti dengan wolbachia berkembang biak di populasi nyamuk, maka kasus dengue akan menurun. Dia menyebutkan beberapa cara berkembang biak nyamuk aedes aegypti ber-wolbachia.
Pertama, jika nyamuk jantan ber-wolbachia kawin dengan nyamuk betina ber-wolbachia, telurnya akan menetas dan menghasilkan nyamuk ber-wolbachia.
Kedua, jika nyamuk jantan tidak ber-wolbachia kawin dengan betina ber-wolbachia, telurnya akan menetas dan menghasilkan nyamuk ber-wolbachia.
Ketiga, jika nyamuk jantan ber-wolbachia kawin dengan betina tidak ber-wolbachia, maka telurnya tidak akan menetas.
“Mengenai proses penyebarannya, sebuah ember memuat 250-300 telur nyamuk, dengan angka penetasan kurang lebih 90 persen. Jumlah nyamuk yang akan disebarkan sebesar 10 oerseb dari populasi nyamuk di daerah tersebut,” kata dia.
Penyebarannya dilakukan 12 kali. Artinya, ada pelepasan kurang lebih 2-3 nyamuk per meter setiap dua pekan dan dilakukan sebanyak 12 kali.
Budi mengatakan, penelitian teknologi nyamuk ber-wolbachia itu sudah lama dilakukan. Dalam penelitiannya, peneliti menjalankan semua tahapan dan tidak memangkas alias bypass prosesnya.
Baca juga: Raksasa Bank Riba Yahudi-Jerman Rothschild yang Kuasai Dunia dan Isyarat Alquran
Hasil studi Aplikasi Wolbachia untuk Eliminasi Dengue (AWED) tahun 2017-2020 menunjukkan setelah nyamuk ber-wolbachia dilepaskan, kasus dengue menurun hingga 77 persen.
“Sudah jelas sekali hasil studi AWED begitu wolbachia disebar dengue-nya turun. Jadi secara data, secara sains, secara fakta, sudah jelas. Itu sebabnya kemudian Kemenkes yakin kita terapkan ini (wolbachia),” ungkap Budi.
Selanjutnya, kata dia, Kemenkes melakukan implementasi awal program wolbachia di lima kota, yakni Semarang, Bandung, Jakarta Barat, Bontang, Kupang, dan terakhir akan di fasilitasi pelaksanaan di Denpasar. Pemilihan wilayah itu berdasarkan analisis insiden dengue, kepadatan penduduk, keterwakilan wilayah, dan komitmen kepala daerah.