Mahfud Tegaskan Pemerintah Belum Sreg dengan Revisi UU MK, Pasal Usia Hakim MK Jadi Soal
Menurut Mahfud dirinya dan Yasonna belum menandatangani persetujan draf revisi UU MK.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan Pemerintah masih keberatan dengan revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) terkait ketentuan peralihan hakim MK. Mahfud merujuk keberatannya dengan putusan terbaru MK.
MK baru saja memutuskan menolak perkara nomor 81/PUU-XXI/2023 pengujian materiil Pasal 15 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 (UU MK) tentang syarat usia minimal hakim MK minimal 55 tahun. Dalam putusannya, MK menegaskan perubahan yang terjadi dalam revisi UU tak merugikan subjek dari revisi itu.
"Sekarang sudah ada putusan MK bertanggal 29 November 2023 itu menyatakan dalam hal terjadi perubahan UU tidak boleh merugikan subjek yang menjadi adresat dari substansi perubahan undang-undang tersebut, sehingga saya dan Menkumham ini menyatakan itu belum selesai di tahap 1," kata Mahfud dalam konferensi pers pada Senin (4/12/2023).
Mahfud meminta revisi UU MK disesuaikan dengan pedoman universal tentang hukum transisional. Semangat hukum transisional agar suatu aturan berlaku di tahun berikutnya guna mencegah penyalahgunaan hukum.
"Saudara naik gaji pun kalau pejabat menaikkan gaji itu kalau yang menandatangani kenaikan gaji itu pejabat yang bersangkutan dapat bagian, itu berlaku tahun berikutnya, periode berikutnya, bukan langsung berlaku begitu. Apalagi kalau orang dirugikan. Itu dalil di dalam hukum transisional," ujar Mahfud.
Oleh karena itu, Mahfud menegaskan Pemerintah masih belum sreg dengan formulasi revisi UU MK yang disodorkan DPR RI. Keberatan dari pihak Pemerintah itu, lanjut Mahfud, sudah disampaikan ke parlemen.
"Sampai sekarang ya saya sampaikan bahwa belum ada keputusan permusyawaratan di tingkat satu sehingga belum bisa, kan kita belum tanda tangan. Saya merasa belum tanda tangan, Pak Yasonna merasa belum tanda tangan. Jadi ya saya sampaikan ke DPR. Itu saja dari saya," ucap Mahfud.
Diketahui, pemerintah mempermasalahkan ketentuan peralihan dalam draf revisi UU MK bagi hakim MK yang sedang menjabat pada Pasal 87. Pasal tersebut mengatur hakim MK yang telah menjabat 5-10 tahun melanjutkan jabatannya sampai dengan 10 tahun jika disetujui lembaga pengusul. Adapun masa jabatan hakim konstitusi yang sudah menjabat lebih dari 10 tahun berakhir mengikuti usia pensiun 70 tahun selama masa jabatannya tidak melebihi 15 tahun.
Sehingga sulit untuk menyebut revisi UU MK ini tak mengandung aroma politik. Sebab yang terdampak dari ketentuan peralihan ialah Ketua MK Suhartoyo, hakim MK Enny Nurbaningsih dan Wakil Ketua MK Saldi Isra. Ketiganya mesti melalui penilaian dari lembaga pengusul karena masa jabatan mereka sudah di atas lima tahun, tetapi belum mencapai 10 tahun. Enny dan Saldi diusulkan pemerintah, sementara Suhartoyo diusulkan MA.
Adapun paman dari cawapres Gibran Rakabuming sekaligus eks Ketua MK Anwar Usman tidak terdampak ketentuan peralihan ini. Sebab eks Ketua MK itu tak perlu lagi mendapat persetujuan dari lembaga pengusul karena sudah menjabat lebih dari 10 tahun. Anwar bisa bercokol di MK hingga pensiun di usia 70 tahun.
Di sisi lain, revisi UU MK sudah lama diduga terkait penyingkiran Saldi Isra. Dugaan ini menguat karena tak ada urgensi mengubah syarat umur hakim MK di tengah hajatan Pilpres 2024.
Hal ini pernah disampaikan eks Wamenkumham Denny Indrayana mengungkap revisi UU MK ditujukan guna menyingkirkan seorang hakim MK dalam waktu dekat ini. Caranya menaikkan syarat usia hakim MK menjadi 60 tahun.
Hal itu diutarakan Denny Indrayana lewat akun Twitter/X pribadinya beberapa waktu lalu. Denny mulanya mencuit salah satu titik yang diobrak-abrik guna memastikan kemenangan Pilpres 2024 adalah MK. Caranya memastikan komposisi hakim MK konstitusi sesuai strategi pemenangan.
"Salah satu modus operandinya lagi-lagi dengan memainkan syarat batas umur. Berkali-kali syarat umur hakim MK diubah-ubah, terakhir dinaikkan jadi 55 tahun," cuit Denny.
"Maka yang belum 60 tahun akan ditendang? Sasaran tembaknya Saldi Isra? Mengapa? Karena tidak bisa ditundukkan kepentingan kekuasaan? Karena tidak sesuai dengan strategi pemenangan?" cuit Denny lagi.
Tercatat, ada tiga hakim MK yang belum berumur 60 tahun yakni Saldi Isra, M Guntur Hamzah, dan Daniel Yusmic Pancastakih Foekh. Hakim MK yang belum genap berusia 60 tahun berpotensi akan diminta konfirmasi ke lembaga pengusulnya. Diketahui, Guntur diusulkan DPR, sedangkan Saldi Isra dan Daniel diusulkan Presiden Jokowi.
"Mengubah syarat umur hakim MK untuk memastikan kemenangan (Pilpres 2024) harus dilawan," seru Denny.
Sebelumnya, mantan Hakim MK I Dewa Gede Palguna mengkritik pedas rencana revisi UU MK. Palguna memandang rencana mengubah UU MK tergolong pelemahan MK.
"Selalu yang diutak-atik adalah persoalan umur, yang tidak ada kaitannya dengan kelembagaan MK, maupun dengan kepentingan publik," kata Palguna saat dikonfirmasi pada Kamis (30/11/2023).
Salah satu wacana dalam revisi UU MK menyangkut perubahan syarat batas usia minimal hakim MK dari 55 diubah menjadi 60 tahun. Palguna merasa heran dengan permasalahan umur yang tiada henti dibahas saban revisi UU MK.
"Apa masalahnya dengan persoalan umur? Berkali-kali soal umur saja yang diubah, pertama 46 tahun, udah itu 47 tahun, habis itu 55 tahun, sekarang mau 60 tahun," ujar Palguna.
Palguna mengingatkan, sebenarnya ada masalah yang lebih penting untuk dicarikan solusinya dalam revisi UU MK. Palguna mencontohkan hukum acara yang belum diatur lengkap.
"Ada hal-hal yang lebih substansial selama ini yang memerlukan perubahan di ketentuan di UU MK malah tidak disentuh," ucap Palguna.
Palguna juga menyinggung kewenangan MK yang belum maksimal terakomodasi dalam UU MK yang berlaku kini.
"Misalnya soal kewenangan yang lebih mendesak, yang perlu diberikan kepada MK dalam rangka penguatan dia sebagai pengawal konstitusi, yaitu pengawalan konkret judicial review atau constitutional question. Apalagi constitutional complain, yang tanpa perlu melakukan perubahan UUD, yang bisa dilakukan melalui perubahan UU, itu juga tidak pernah disentuh," ujar Palguna.
Sehingga Palguna menyimpulkan ada upaya mengintervensi MK lewat wacana revisi UU MK. Palguna sungguh menyayangkan revisi UU MK yang dijadikan alat politik.
"Bagi saya MK itu, ini bukan lagi pelemahan tapi sudah penghancuran (MK). Dan ini hanya digunakan sebagai alat politik saja," ucap Palguna.
Mantan Ketua MK, Hamdan Zoelva pun meminta pembahasan revisi UU MK saat ini disetop. Ia mengingatkan, UU MK akan sangat terkait dengan gugatan-gugatan hasil pemilu yang biasanya bermunculan setelah pemungutan atau perhitungan suara. Karenanya, Hamdan berharap, pembahasan revisi UU MK bisa disetop.
"Oleh karena itu, kami berharap, untuk membahas UU yang berkaitan dengan kepentingan pemilu itu disetop dulu," kata Hamdan saat ditemuai di The Dharmawangsa, Rabu (29/11/2023).
Ia menyarankan, pembahasan revisi UU MK dilakukan setelah pemilihan umum nanti selesai terlaksana. Sehingga, apapun perubahan yang terjadi kepada UU MK tersebut tidak mengganggu tahapan-tahapan yang ada di Pemilu 2024.
"Disetop dulu, nanti dibahas setelah pemilu selesai," ujar Hamdan.