Soal Kebocoran Data, Tim AMIN: Kok Bisa Menkominfo Sebut Data Biasa?
Tim AMIN mempertanyakan pernyataan Menkominfo soal yang bocor hanya data biasa KPU.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menkominfo, Budi Arie Setiadi menyatakan, data yang mengalami bocor merupakan data biasa KPU. Jubir Timnas Amin, Sukamta Mantamiharja, mengkritisi kebocoran data yang bisa menjadi malapetaka bagi demokrasi.
"Ini malapetaka untuk rakyat dan demokrasi, kok malah dibilang data biasa," kata Sukamta lewat rilis yang diterima Republika, Senin (4/12).
Ia menerangkan, data yang bocor meliputi NIK, nomor KK, nomor KTP dan paspor untuk pemilih luar negeri, nama lengkap, jenis kelamin, tanggal lahir, tempat lahir, status pernikahan, alamat lengkap sampai RT dan RW.
Lalu, kodefikasi kelurahan, kecamatan dan kabupaten serta kodefikasi TPS. Ini bukan kali pertama kebocoran data di KPU terjadi setelah sebelumnya data-data bocor oleh Bjorka dan dijual di dark web seharga Rp 1,2 miliar.
Anggota Komisi I DPR RI itu menekankan, UU PDP sudah disahkan sejak 2022. Saat itu, ia menilai, UU PDP sangat mendesak karena kebocoran data terus terjadi dan DPR RI merasa kejadian-kejadian itu berbahaya bagi bangsa.
"Pak Menteri seolah menyepelekan itu. Peretasan sistem elektronik milik lembaga pemerintah dan kebocoran data pribadi itu sangat bahaya. Bukan hanya terkait motif ekonomi, tapi bisa mengacaukan proses Pemilu 2024," ujar Sukamta.
Sukamta menekankan, data yang bocor itu cukup lengkap karena mulai NIK sampai nomor KK. Ia mengingatkan, itu masuk kategori data pribadi karena bisa mengidentifikasi seseorang dan masuk data pribadi bersifat umum.
"Sangat rawan disalahgunakan kepentingan ekonomi dan bisnis. Terlebih, bila data yang bocor adalah data yang dikelola oleh lembaga publik, potensi dampaknya bisa mengganggu penyelenggaraan negara," kata Sukamta.
Maka itu, ia menyarankan, Menkominfo tidak lagi membuat komentar-komentar yang kontraproduktif. Apalagi, terkesan menyepelekan apa yang selama ini sudah sama-sama diupayakan, perlindungan data pribadi dalam bentuk UU.
Selain itu, ia menilai, pemerintah harus segera menyelesaikan aturan-aturan turunan dari UU PDP tersebut. Khususnya, Presiden Jokowi harus segera menerbitkan perpres tentang lembaga otoritas pengawas DPDP.
"Agar segera bisa melakukan fungsi pengawasan perlindungan data pribadi. Jangan sampai UU ini tumpul karena badan penyelenggaranya belum ada," ujar Sukamta.