Ancaman Terberat Manusia karena Perubahan Iklim, Apa Itu?
Perubahan iklim telah membuat bumi semakin panas yang membahayakan manusia.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ancaman terberat bagi umat manusia semakin dekat, karena emisi gas rumah kaca telah memanaskan planet ini ke tingkat lebih berbahaya. Lima ambang batas alami yang penting telah berisiko dilewati, dan tiga ambang batas lainnya dapat tercapai pada tahun 2030-an jika dunia memanas 1,5 derajat Celcius di atas suhu pra-industri, demikian menurut laporan Global Tipping Points.
"Titik kritis dalam sistem Bumi menimbulkan ancaman yang belum pernah dihadapi umat manusia," kata Tim Lenton, dari University of Exeter's Global Systems Institute seperti dilansir Bloomberg, Jumat (8/12/2023).
Hal itu dapat memicu efek domino yang menghancurkan, termasuk hilangnya seluruh ekosistem dan kapasitas untuk menanam tanaman pokok, dengan dampak sosial termasuk perpindahan massal, ketidakstabilan politik dan keruntuhan ekonomi. Titik kritis yang berisiko juga bisa memicu runtuhnya lapisan es besar di Greenland dan Antartika Barat, meluasnya pencairan lapisan es, matinya terumbu karang di perairan hangat, dan runtuhnya sirkulasi atmosfer di Atlantik Utara.
Tidak seperti gelombang panas atau perubahan iklim lainnya, sistem ini tidak bergeser secara perlahan seiring dengan emisi gas rumah kaca, melainkan dapat berubah dari satu kondisi ke kondisi yang sama sekali berbeda. Ketika sebuah sistem iklim berubah, terkadang dengan guncangan yang tiba-tiba, hal ini dapat mengubah cara kerja planet ini secara permanen.
Para ilmuwan memperingatkan bahwa ada ketidakpastian yang besar mengenai kapan sistem tersebut akan berubah, namun laporan ini menemukan bahwa tiga hal lain akan segera menyusul. Ini termasuk hutan bakau dan padang lamun, yang diperkirakan akan mati di beberapa wilayah jika suhu naik antara 1,5 derajat Celcius dan 2 derajat Celcius, dan hutan boreal, yang mungkin akan mengalami kenaikan suhu sedini 1,4 derajat Celcius atau paling lambat 5 derajat Celcius.
Peringatan ini muncul ketika para pemimpin dunia sedang melakukan pertemuan iklim COP28 di Dubai. Pada Selasa, Climate Action Tracker memperkirakan bahwa target emisi mereka untuk tahun 2030 akan membawa planet ini ke arah kenaikan suhu sebesar 2,5 derajat Celcius pada akhir abad ini, meskipun ada janji dari beberapa negara untuk mencoba membatasi kenaikan suhu di angka 1,5 derajat Celcius.
Laporan titik kritis, yang dibuat oleh tim internasional yang terdiri dari 200 peneliti dan didanai oleh Bezos Earth Fund, adalah yang terbaru dari serangkaian peringatan tentang efek paling ekstrem dari perubahan iklim. Para ilmuwan telah memperingatkan bahwa beberapa perubahan yang terjadi dapat menciptakan lingkaran umpan balik yang semakin memanaskan planet ini atau mengubah pola cuaca sehingga memicu titik kritis lainnya.
Para peneliti mengatakan bahwa sistem ini sangat terkait erat sehingga mereka tidak dapat mengesampingkan "tipping cascades". Jika lapisan es Greenland hancur, misalnya, hal itu dapat menyebabkan pergeseran mendadak dalam Sirkulasi Balik Meridional Atlantik, arus penting yang mengalirkan sebagian besar panas ke arus teluk. Hal ini, pada gilirannya, dapat mengintensifkan osilasi El Nino selatan, salah satu pola cuaca paling kuat di planet ini.
Rekan penulis Sina Loriani, dari Potsdam Institute for Climate Impact Research, mengatakan bahwa risiko titik kritis dapat menimbulkan bencana dan harus ditanggapi dengan sangat serius, meskipun masih ada ketidakpastian.
"Melewati ambang batas ini dapat memicu perubahan mendasar dan terkadang tiba-tiba yang dapat menentukan nasib bagian-bagian penting dari sistem Bumi kita selama ratusan atau ribuan tahun mendatang," kata dia.
Dalam tinjauan terbarunya terhadap ilmu pengetahuan tentang perubahan iklim, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menemukan bahwa ambang batas tersebut tidak jelas, namun bahayanya akan semakin meningkat seiring dengan semakin panasnya bumi.
"Risiko yang terkait dengan kejadian tunggal berskala besar atau titik kritis, seperti ketidakstabilan lapisan es atau hilangnya ekosistem dari hutan tropis, transisi ke risiko tinggi antara 1,5 derajat Celcius hingga 2,5 derajat Celcius dan risiko sangat tinggi antara 2,5 hingga 4 derajat Celcius," jelas Loriana.
Laporan titik kritis tersebut juga melihat apa yang disebutnya sebagai "titik kritis positif", seperti anjloknya harga energi terbarukan dan pertumbuhan penjualan kendaraan listrik. Laporan ini menemukan bahwa pergeseran tersebut tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi perlu diaktifkan dengan mendorong inovasi, membentuk pasar, mengatur bisnis, dan mengedukasi serta memobilisasi masyarakat.
Sebuah studi dari rekan penulis laporan tersebut, Manjana Milkoreit, tahun lalu memperingatkan agar tidak terlalu sering menggunakan label titik kritis sosial dengan menjanjikan solusi yang nihil dalam skala besar atau tidak dapat dikontrol.