Pembunuhan Anak di Jagakarsa dan Tragedi Filisida di Indonesia: Mencari Solusi Lewat Kepekaan Sosial

Faktor ekonomi sering kali menjadi katalisator awal dari serangkaian peristiwa tragis, seperti filisida.

retizen /Ardiansyah
.
Rep: Ardiansyah Red: Retizen

Pembunuhan empat anak oleh ayah kandung di Jagakarsa, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu, menambah deretan panjang kasus filisida di Indonesia. Fenomena ini, meskipun bukan hal baru, telah meruncing menjadi perhatian serius dalam masyarakat. Sepanjang tahun 2023, berbagai kejadian serupa telah berulang terjadi. Namun kita seolah tak bisa membendungnya dan terguncang ketika hal tersebut terjadi di depan mata.

ilustrasi anak yang selalu jadi korban kekerasan. Foto: canva

Sebelum tragedi Jagakarsa (5/12) mencuat, sudah ada peristiwa serupa di Kabupaten Tasikmalaya Oktober lalu yang juga cukup menghebohkan publik. Sepasang orang tua terbukti melakukan penyiksaan terhadap anak mereka AN (10) yang disabilitas hingga meninggal dunia.

Di Pati, bulan mei lalu, hanya karena bayinya yang berusia tiga bulan dianggap rewel, seorang ayah kesal dan mengaktualisasikan frustasinya dengan membekap anaknya dengan bantal hingga meregang nyawa. Tak sampai di situ, di bulan April 2023 kejadian serupa terjadi di Gresik. Seorang ayah tega membunuh anak kandungnya yang sedang tertidur. Menurut pengakuannya, dia tidak menyesali perbuatan karena ia ingin anak tersebut masuk surga supaya tidak meniru perilaku sang ibu yang dianggap tercela lantaran menjadi pemandu karaoke dan sering berjalan dengan lelaki lain.

Di tahun 2022 juga banyak rentetan kasus serupa yang terjadi. Di Depok pada November 2022, seorang ayah membunuh anak dan istrinya karena cekcok dengan istri.

Pada Juni 2022, di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, seorang ayah berinisial memutilasi anaknya yang berumur 9 tahun. Di Banten pada April 2022, seorang ayah membunuh anaknya yang berusia 5 tahun dengan menggunakan pisau dapur setelah sebelumnya bertengkar dengan sang istri.

Di tahun-tahun sebelumnya, jika kita perdalam banyak kasus serupa terjadi. Dalam kurun lima tahun, tak berhenti pasti selalu ada kasus pembunuhan anak yang dilakukan oleh orang tua kandung mereka.

Rentetan kejadian yang terus berulang ini menggambarkan kompleksitas psikologis yang tak terselesaikan di rumah dan selalu menyisakan tragedi setelahnya. Seolah kita tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya terulang kembali.

Faktor Penyebab

Filisida, tindakan membunuh anak oleh orang tua, dapat dilakukan oleh ayah atau ibu. Faktor penyebabnya sangat beragam. Sebuah artikel dalam bidang Psikiatri (2007) menyatakan ibu dan ayah memiliki motivasi yang berbeda dalam melakukan tindakan membunuh anak mereka.

Seorang ibu yang berpotensi terlibat dalam filisida seringkali memiliki catatan sejarah percobaan bunuh diri, depresi berat, dan penggunaan layanan psikiatri sebelumnya. Di sisi lain, tindakan filisida yang dilakukan oleh ayah seringkali dipicu oleh faktor kecemburuan terhadap perilaku anak atau ibu, seperti rasa cemburu karena anak lebih dekat dengan ibunya.

Selain itu, stresor seperti ketakutan akan perpisahan atau perselingkuhan juga dapat menjadi pemicu tindakan tragis ini. Beberapa kasus juga menunjukkan bahwa tindakan tersebut mungkin merupakan bentuk balas dendam terhadap pasangan mereka.

Faktor Ekonomi sebagai Pemicu Awal


Faktor ekonomi sering kali menjadi katalisator awal dari serangkaian peristiwa tragis, seperti filisida. Masalah ekonomi yang dialami oleh orang tua dapat menimbulkan tekanan psikologis yang mendalam.

Kesulitan ekonomi seringkali membawa dampak depresi dan ketidakharmonisan di dalam rumah tangga. Kondisi ini dapat menjadi pencetus bagi tumbuhnya kekerasan, baik terhadap pasangan hidup maupun anak-anak.

Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar keluarga dapat menciptakan lingkungan yang tegang dan penuh ketegangan. Pasangan yang merasakan beban ekonomi berlebihan cenderung mengalami ketidakharmonisan, yang pada gilirannya bisa berkembang menjadi bentuk-bentuk kekerasan, termasuk filisida. Karena itu, peran faktor ekonomi sebagai pemicu awal harus mendapat perhatian serius dalam upaya pencegahan filisida.

Banyak kasus yang ditemukan penyebabnya karena ketidakharmonisan keluarga yang disebabkan oleh faktor ekonomi. Adanya tekanan ekonomi yang signifikan dalam suatu keluarga dapat menciptakan kondisi stres dan ketidakstabilan yang berpotensi terhadap konflik, terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

Konflik yang tidak diselesaikan dengan baik dapat menyisakan luka emosional dan fisik yang mendalam. Ketidakmampuan mengelola konflik dengan baik dapat membawa dampak buruk bagi semua anggota keluarga, terutama anak-anak. Mereka menjadi saksi dari pertengkaran dan ketidakamanan, yang bisa berujung pada trauma psikologis.

Ketidakharmonisan dalam rumah tangga menjadi pemicu tindak kekerasan yang tragis seperti filisida. Implikasi dari ketegangan orang tua dapat mencapai titik puncaknya, di mana anak menjadi korban dalam tindakan kekerasan yang mengerikan. Pembunuhan anak menjadi konsekuensi yang sangat berat dan menghancurkan, yang dapat meninggalkan luka yang tak tersembuhkan bukan hanya pada keluarga yang terlibat, namun juga trauma di masyarakat.

Perlunya Proaktif Rukun Tetangga

Ketika kejadian-kejadian seperti ini terjadi di sekitar lingkungan masyarakat, peran rukun tetangga menjadi sangat penting. Kesadaran masyarakat terhadap lingkungannya dapat membantu mendeteksi tanda-tanda bahaya yang mungkin terjadi di dalam sebuah rumah tangga. Jika rukun tetangga secara proaktif mendeteksi kejadian-kejadian yang mencurigakan, langkah-langkah pencegahan dapat diambil lebih awal.

Melalui komunikasi yang baik antar tetangga, dapat dibangun kepercayaan dan saling dukungan. Sistem dukungan sosial ini bisa berperan besar dalam membantu keluarga yang tengah mengalami kesulitan ekonomi atau tekanan psikologis. Rukun tetangga yang proaktif dapat menjadi garda terdepan dalam mencegah terjadinya tindakan kekerasan dalam keluarga, termasuk filisida.

Peran Masjid dan Lembaga Sosial dalam Membantu Keluarga yang Kesulitan Ekonomi

Pentingnya meningkatkan kesadaran akan masalah filisida, mendukung kesehatan mental orang tua, dan menangani konflik rumah tangga menjadi kunci dalam mencegah tragedi-tragedi serupa di masa depan. Semua pihak, termasuk pemerintah, lembaga perlindungan anak, dan masyarakat, harus bersatu untuk melindungi anak-anak dari ancaman yang nyata ini.

Masjid, sebagai pranata sosial dan keagamaan, dapat memainkan peran yang signifikan dalam membantu keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi. Dana infaq dan zakat yang dikumpulkan dapat dialokasikan untuk membantu keluarga yang membutuhkan, termasuk yang berpotensi menjadi korban filisida. Program bantuan sosial dan dukungan psikologis di masjid dapat menjadi langkah awal untuk membantu keluarga keluar dari tekanan ekonomi yang berpotensi berujung pada kekerasan.

Kepekaan sosial dalam pengelolaan masjid memiliki peran penting dalam membangun hubungan yang kuat antara masjid dan komunitasnya. Pengurus masjid sering kali fokus pada aspek keuangan, seperti mengumumkan peningkatan saldo kas, namun kepekaan terhadap kondisi sosial masyarakat sekitar juga seharusnya menjadi prioritas.

Masjid, seyogyanya memainkan peran penting dalam mendeteksi dan memberikan bantuan awal kepada anggota komunitas yang membutuhkan. Kepekaan sosial tidak hanya sebatas keuangan, tetapi juga memahami kondisi sosial masyarakat.

Dengan mendata kesusahan dan meresponsnya, masjid dapat memberikan dukungan langsung yang relevan, membangun empati, dan meningkatkan solidaritas. Melalui langkah-langkah ini, masjid tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga pangkalan kemanusiaan yang berperan aktif dalam meningkatkan kesejahteraan dan kebersamaan komunitas.

Peran Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum

Pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam mencegah kasus filisida dan kekerasan dalam rumah tangga secara umum. Diperlukan kebijakan yang mendukung penanganan kasus KDRT secara efektif, termasuk langkah-langkah perlindungan dan rehabilitasi bagi pelaku. Peningkatan akses terhadap layanan kesehatan mental juga menjadi hal yang krusial.

Selain itu, peran aparat penegak hukum harus diperkuat untuk memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Pembentukan tim khusus yang terlatih untuk menangani kasus KDRT dan filisida dapat meningkatkan efektivitas penanganan.

Sayangnya, dalam kasus Jagakarsa, peran pihak berwajib tidak sepenuhnya dapat diandalkan. Terduga pelaku sudah dilaporkan ke pihak berwajib untuk kasus KDRT, namun tindakan lanjutannya tidak dilakukan secara efektif. Hal ini menunjukkan kegagalan sistem dalam melindungi keluarga yang berpotensi menjadi korban filisida.

Diperlukan perbaikan sistem yang lebih proaktif dan responsif terhadap laporan-laporan kasus KDRT dan potensi filisida. Orang yang sudah diketahui mengalami depresi dan memiliki riwayat kekerasan harus mendapatkan penanganan khusus. Pisah sementara antara pelaku dan keluarganya, dengan dukungan psikologis dan pengawasan ketat, dapat menjadi solusi untuk menghindari tragedi lebih lanjut.

***

sumber : https://retizen.id/posts/251062/pembunuhan-anak-di-jagakarsa-dan-tragedi-filisida-di-indonesia-mencari-solusi-lewat-kepekaan-sosial
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Berita Terpopuler