FKUB Sulteng: Jangan Bawa Agama untuk Kepentingan Politik Praktis
FKUB ajak masyarakat tak gunakan isu SARA dalam Pemilu 2024
REPUBLIKA.CO.ID, PALU— Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Sulawesi Tengah Profesor Kiai Haji Zainal Abidin mengimbau kepada peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 agar tidak membawa-bawa agama dalam politik praktis untuk kepentingan tertentu.
"Politik identitas berbasis agama hanya akan merusak dan menghancurkan kerukunan umat beragama," kata Zainal Abidin saat dihubungi dari Palu, Senin (1/1/2023).
Agama, kata Profesor Zainal, harus ditempatkan pada tempatnya oleh semua pihak, sebab penggunaan politik identitas berbasis agama sangat kontradiksi dengan nilai-nilai ajaran setiap agama.
"Karena agama salah satu fungsinya untuk mendorong dan menginspirasi penganutnya mewujudkan perdamaian dan kemaslahatan bersama," ungkapnya.
Dia mengatakan bila agama dibawa ke dalam politik praktis, bukan hanya mengancam semangat nasionalisme, tetapi lebih dari itu akan mengancam kerukunan umat beragama.
Di sisi lain, ujar dia, politik identitas berbasis agama mencederai kesucian dan kesakralan agama. Karena agama diperalat untuk kepentingan politik sesaat, yang dapat menimbulkan perpecahan dan merusak keharmonisan hidup masyarakat. "Maka tidak boleh agama dibawa ke dalam kepentingan politik," ujarnya.
Saat ini proses pelaksanaan Pemilihan Umum 2024 telah sampai pada tahapan kampanye pemilu. Di tahapan ini, peserta pemilu dapat menyosialisasikan gagasan pembangunan dan sosialisasi jati diri.
Baca juga: Alquran Abadikan Tingkah Laku Yahudi yang Bodoh tapi Berlagak Pintar
Zainal Abidin yang juga sebagai Rais Syuriah PBNU mengimbau kepada peserta pemilihan umum agar tidak perlu mengedepankan membawa - bawa identitas SARA dalam tahapan kampanye 2024.
"Tidak perlu membawa-bawa simbol-simbol atau gerakan-gerakan ibadah agama dalam kampanye, tidak perlu membawa identitas SARA apalagi agama. Berkampanyelah dengan gagasan membangun yang baik," imbuhnya.
Dia menambahkan, politik identitas apapun bentuknya tidak dapat menciptakan iklim demokrasi yang sehat. "Serta tidak mendidik masyarakat dalam konteks pendidikan demokrasi," sebutnya.