Mengusir Rohingya dari Serambi Mekkah: Masih adakah Ukhuwah Islamiyyah di Aceh?
Benarkah masyarakat Aceh menolak pengungsi Muslim Rohingnya?
Oleh: Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh, Dosen pada Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh
Rohingya adalah salah satu etnis minoritas yang paling teraniaya di dunia. Mereka telah mengalami diskriminasi, penganiayaan, dan pembunuhan massal oleh rezim militer Myanmar yang berhaluan komunis sejak tahun 1970-an (Ware dan Laoutides, 2018).
Meskipun mereka telah tinggal di negara itu selama berabad-abad, mereka tidak diakui sebagai warga negara dan dituduh sebagai imigran ilegal dari Bangladesh. Mereka juga tidak memiliki hak politik, sosial, ekonomi, dan agama yang sama dengan etnis lain di Myanmar.
Salah satu tokoh yang diharapkan dapat membela hak-hak Rohingya adalah Aung San Suu Kyi, pemenang Nobel Perdamaian dan pemimpin de facto Myanmar.
Namun, ia justru menunjukkan sikap diam dan membela tindakan militer terhadap Rohingya. Ia bahkan menolak untuk menyebut nama etnis tersebut dan menganggap mereka sebagai "Muslim di Rakhine" (Lee, 2014).
Suu Kyi juga menuduh media internasional sebagai provokator yang menyebarkan berita palsu tentang krisis kemanusiaan di Rakhine (Zahed dan Jenkins, 2022).
Banyak pengamat yang menilai bahwa Aung San Suu Kyi telah kehilangan kredibilitas moralnya sebagai ikon demokrasi dan hak asasi manusia (Cagape, 2020; Connelly, 2017).
Akibat kekerasan yang tak berkesudahan, lebih dari satu juta Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar dan mencari perlindungan di negara-negara tetangga seperti Bangladesh, Malaysia, Thailand, dan Indonesia.
Salah satu tempat yang menjadi tujuan mereka adalah Aceh, provinsi paling barat di Indonesia yang dikenal sebagai "Serambi Mekkah" karena mayoritas penduduknya beragama Islam. Aceh pun telah memiliki sejarah panjang dalam memberikan bantuan kemanusiaan kepada pengungsi Rohingya.
Pada tahun 2015, saat ribuan Rohingya terdampar di laut karena ditolak oleh negara-negara lain, Aceh menjadi satu-satunya wilayah yang bersedia menampung mereka dengan tangan terbuka (Thom, 2016).
Banyak masyarakat Aceh yang merasa terpanggil untuk membantu saudara seiman mereka yang tertindas. Mereka memberikan makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan kepada pengungsi Rohingya.
Mereka juga mengajak mereka untuk beribadah bersama di masjid-masjid dan mengikuti tradisi-tradisi Islam lokal. Beberapa bahkan mengadopsi anak-anak Rohingya sebagai anggota keluarga mereka sendiri (Missbach, 2017).
Mereka (warga Aceh_ menganggap bahwa ini adalah bagian dari ukhuwah islamiyyah atau persaudaraan sesama Muslim yang harus dijaga dan dipertahankan.
Salah satu nilai yang menginspirasi masyarakat Aceh untuk menerima pengungsi Rohingya adalah spirit Islam yang mengajarkan sikap kemanusiaan dan solidaritas terhadap sesama muslim yang tertindas.
Masyarakat Aceh, yang mayoritas beragama Islam, merasa terpanggil untuk menolong orang-orang Rohingya yang terusir dari Myanmar akibat kebiadaban rezim komunis yang sangat tidak berperikemanusiaan.
Selain itu, masyarakat Aceh juga memiliki tradisi adat yang menghormati tamu dan mengikat para nelayan untuk menolong siapapun yang kesusahan di laut.
Namun, penanganan pengungsi Rohingya memamng tidak cukup hanya dengan spirit hati dan nurani saja, tetapi juga membutuhkan koordinasi dan dukungan dari pemerintah pusat dan lembaga internasional, karena menyentuh banyak aspek, seperti regulasi, kewenangan, dan keuangan.
Lindra Darnela (2021) membahas bagaimana bantuan kemanusiaan untuk pengungsi Rohingya di Aceh dikomodifikasi oleh berbagai pihak, seperti LSM, media, dan pemerintah.
Penulis mengkritik praktik-praktik tersebut yang mengeksploitasi penderitaan Rohingya demi kepentingan politik dan ekonomi.
Darnella menyebutkan, "The commodification of aid for Rohingya refugees in Aceh has shown that humanitarianism is not merely a moral obligation but also a political and economic opportunity for various actors to gain benefits from the suffering of others (Komodifikasi bantuan bagi pengungsi Rohingya di Aceh telah menunjukkan bahwa paham kemanusiaan bukan sekedar kewajiban moral namun juga merupakan peluang politik dan ekonomi bagi berbagai aktor untuk mengambil manfaat dari penderitaan orang lain.." (Darnela 2021, 93).
Semenetara itu, Antje Missbach (2017) menggambarkan berbagai aspek dari keramahan masyarakat Aceh terhadap pengungsi Rohingya, seperti motivasi, bentuk, batasan, dan dampaknya.
Antje Missbach menunjukkan bahwa keramahan Aceh tidak hanya didasarkan pada kesamaan agama, tetapi juga pada sejarah, budaya, dan geopolitik.
Antje Missbach secara tajam menyatakan bahwa: "The hospitality extended by the Acehnese to the Rohingya refugees was not only an expression of religious solidarity but also a reflection of their own history of displacement and marginalization (Keramahan yang diberikan masyarakat Aceh kepada para pengungsi Rohingya bukan hanya merupakan ekspresi solidaritas agama namun juga merupakan cerminan dari sejarah pengungsian dan marginalisasi yang mereka alami)." (Missbach 2017, 62).
Namun, tidak semua orang Aceh menyambut kedatangan Rohingya dengan baik. Beberapa kelompok menolak keberadaan mereka dengan alasan bahwa mereka akan menjadi beban bagi perekonomian dan keamanan Aceh.
Mereka juga khawatir bahwa Rohingya akan menimbulkan konflik sosial dan budaya dengan masyarakat lokal. Mereka menuntut agar pemerintah segera memulangkan atau menyalurkan Rohingya ke negara ketiga yang lebih siap menampung mereka (Robbins, 2020).
Bahkan, beberapa mahasiswa Aceh pernah melakukan aksi unjuk rasa untuk mengusir Rohingya dari tanah mereka (Darnela, 2021).
Hal ini menunjukkan bahwa sikap masyarakat Aceh terhadap Rohingya tidak monolitik dan bervariasi.
Ada yang bersikap simpatik dan empatik, ada juga yang bersikap apatis dan antagonis. Ini juga mencerminkan bahwa ukhuwah islamiyyah tidak selalu menjadi faktor utama dalam menentukan sikap seseorang terhadap orang lain.
Ada faktor-faktor lain seperti politik, ekonomi, budaya, dan sejarah yang mempengaruhi persepsi seseorang terhadap Rohingya.
Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat Aceh tentang kondisi dan hak-hak Rohingya sebagai manusia dan sebagai Muslim.
Perlu juga adanya kerjasama antara pemerintah, masyarakat sipil, dan organisasi internasional untuk mencari solusi jangka panjang bagi krisis Rohingya yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Referensi:
Albert, Eleanor, and Lindsay Maizland. "The rohingya crisis." Council on Foreign Relations 23 (2020).
Cagape, Wendell Gleen P. "Denial of the Rohingya Genocide: Problematising Daw Aung San Suu Kyi and the Rule of Law in Postcolonial Myanmar." Otoritas: Jurnal Ilmu Pemerintahan 10.2 (2020): 176-198.
Connelly, Aaron L. "'Aung San Suu Kyi makes things worse for Rohingya'." (2017).
Darnela, Lindra. "Islam and Humanity: Commodification of Aid for Rohingya in Aceh." Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies 59.1 (2021): 57-96.
Lee, Ronan. "A politician, not an icon: Aung San Suu Kyi's silence on Myanmar's Muslim Rohingya." Islam and Christian–Muslim Relations 25.3 (2014): 321-333.
Missbach, Antje. "Facets of Hospitality: Rohingya Refugees' Temporary Stay in Aceh." Indonesia 104.1 (2017): 41-64.
Robbins, Lindsay. "The Rohingya Case in Aceh: Indonesia's Role as a Destination for Refugees." Towson University Journal of International Affairs 53.2 (2020).
Thom, Graham. "The May 2015 boat crisis: the Rohingya in Aceh." Cosmopolitan Civil Societies: An Interdisciplinary Journal 8.2 (2016): 43-62.
Ware, Anthony, and Costas Laoutides. Myanmar's' Rohingya'conflict. Oxford University Press, 2018.
Zahed, Iqthyer Uddin Md, and Bert Jenkins. "Aung San Suu Kyi and ethnic cleansing: the dark side of ‘Myanmar way’democracy." South East Asia Research 30.2 (2022): 202-218.