Studi Ungkap Bagaimana Perubahan Iklim Picu Cuaca Ekstrem

Peningkatan emisi karbon menyebabkan suhu bumi meningkat.

www.freepik.com
Selama satu abad terakhir, peningkatan besar-besaran dalam karbon dioksida, metana, dan emisi gas rumah kaca lainnya telah menyebabkan suhu di planet kita meningkat.
Rep: Gumanti Awaliyah Red: Nora Azizah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aktivitas manusia menyebabkan perubahan cepat pada iklim global yang berkontribusi pada kondisi cuaca ekstrem. Ketika bahan bakar fosil dibakar untuk menghasilkan listrik, panas, hingga transportasi, gas rumah kaca yang memerangkap radiasi matahari dilepaskan ke atmosfer. Selama satu abad terakhir, peningkatan besar-besaran dalam karbon dioksida, metana, dan emisi gas rumah kaca lainnya telah menyebabkan suhu di planet kita meningkat.

Baca Juga


Pada awal tahun 2000-an, muncul bidang baru dalam penelitian ilmu iklim yang mulai mengeksplorasi sidik jari manusia pada cuaca ekstrem, seperti banjir, gelombang panas, kekeringan, dan badai. Dikenal sebagai Atribusi Peristiwa Ekstrem, penelitian-penelitian ini memiliki kekuatan untuk menghubungkan konsep perubahan iklim yang tampaknya abstrak dengan pengalaman yang nyata seperti cuaca.

Kini, Carbon Brief telah mencoba mengalanisis lebih dari 400 penelitian yang telah ditelaah oleh rekan sejawat yang mengamati cuaca ekstrem di seluruh dunia, mulai dari kebakaran hutan di AS, gelombang panas di India dan Pakistan, angin topan di Asia dan curah hujan yang memecahkan rekor di Inggris. Hasilnya adalah semakin banyak bukti bahwa aktivitas manusia meningkatkan risiko beberapa jenis cuaca ekstrem, terutama yang terkait dengan panas.

Dalam edisi pertama analisis Carbon Brief terkait ratusan studi Atribusi Peristiwa Ekstrem pada tahun 2017, 68 persen kejadian ditemukan memiliki dampak terhadap manusia, dengan 63 persen kejadian yang lebih parah atau mungkin terjadi dan 6 persen kejadian yang lebih kecil. Sebuah penelitian yang lebih besar pada 2015 memperkirakan bahwa sebagian kecil dari seluruh kejadian panas dan hujan lebat yang terjadi secara global yang disebabkan oleh pemanasan.

“Sekitar 75 persen dari suhu panas harian yang ekstrem di atas daratan dan 18 persen dari curah hujan harian yang ekstrem di atas daratan disebabkan oleh peningkatan suhu yang diamati sejak masa pra-industri. Fraksi ini diperkirakan akan meningkat dengan pemanasan lebih lanjut,” kata para penulis seperti dilansir Carbon Brief, Selasa (9/1/2024).

Melalui pemodelan peta atribusi, para ilmuwan di Carbon Brief menemukan bahwa 71 persen dari 504 kejadian dan tren cuaca ekstrem yang termasuk dalam peta ditemukan menjadi lebih mungkin terjadi atau lebih parah akibat perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia.

Lalu sebanyak sembilan persen kejadian atau tren menjadi lebih kecil kemungkinannya atau tidak terlalu parah akibat perubahan iklim, yang berarti 80 persen dari semua kejadian mengalami dampak dari manusia. Sisanya, 20 persen kejadian dan tren tidak menunjukkan adanya pengaruh manusia atau tidak dapat disimpulkan.

Peta atribusi ini juga mencakup penelitian terhadap 152 kejadian panas ekstrem, di mana 142 di antaranya (93 persen) menjadi lebih mungkin terjadi atau lebih parah karena perubahan iklim. Tidak ada penelitian yang menemukan gelombang panas yang tidak terlalu parah akibat perubahan iklim, sementara penelitian terhadap dua kejadian (1 persen) tidak menemukan adanya pengaruh dan delapan kejadian (5 persen) tidak dapat disimpulkan. 

Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian telah menunjukkan bahwa beberapa kejadian panas ekstrem tidak mungkin terjadi atau hampir tidak mungkin terjadi tanpa adanya pengaruh manusia terhadap iklim. Ini termasuk gelombang panas Siberia pada tahun 2020 hingga musim panas yang memecahkan rekor pada tahun 2023.

Dari 126 kejadian hujan atau banjir yang termasuk dalam peta atribusi, 71 menemukan bahwa aktivitas manusia telah membuat kejadian tersebut menjadi lebih mungkin terjadi atau lebih parah - proporsi yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan penelitian terkait panas. Sembilan belas studi (15 persen) menemukan bahwa perubahan iklim telah membuat seluruh kejadian menjadi lebih kecil kemungkinannya untuk terjadi. Dari kejadian hujan lebat yang tersisa, 24 penelitian (19 persen) tidak menemukan bukti adanya hubungan dengan perubahan iklim, sementara 12 penelitian (10 persen) tidak dapat disimpulkan.

Dalam kasus lain, hasil yang tidak meyakinkan dapat mencerminkan fakta bahwa curah hujan atau kejadian banjir pada dasarnya lebih kompleks daripada gelombang panas, dengan banyak cara untuk variabilitas alami yang berperan. Faktor manusia, seperti penggunaan lahan dan drainase, juga berperan dalam menentukan apakah hujan lebat menyebabkan banjir.

Ambil contoh di Inggris. Sementara satu studi menemukan bahwa perubahan iklim telah meningkatkan risiko banjir di Inggris dan Wales pada Musim Gugur 2000, setidaknya 20 persen dan bahkan hingga 90 persen, studi lain menemukan sedikit pengaruh pada curah hujan musim panas di tahun 2012.

 

Hal ini menimbulkan poin penting lainnya. Dalam hal menafsirkan hasil studi atribusi peristiwa ekstrem, penting untuk mengetahui apa pertanyaannya. Sebagai contoh, sebuah studi tahun 2013 menanyakan apakah musim panas yang basah baru-baru ini di Eropa barat laut merupakan respon terhadap mencairnya es laut Arktik. Jawaban dari penelitian tersebut adalah "tidak". Namun, seperti yang dijelaskan dalam kata pengantar dari laporan BAMs tahun itu.

"Mengingat berbagai cara perubahan iklim dapat mempengaruhi curah hujan di wilayah ini, hasil 'tidak' untuk peran es laut Arktik tidak boleh ditafsirkan sebagai tidak adanya peran apa pun dalam perubahan iklim,” demikian kata penulis.

Dari 81 kejadian kekeringan, perubahan iklim juga ditemukan telah meningkatkan tingkat keparahan atau kemungkinan 55 kejadian (68 persen). Dari sisanya, kemungkinan atau tingkat keparahan berkurang untuk satu kejadian (1 persen), sementara tidak ada kaitan yang jelas dengan aktivitas manusia yang ditemukan pada 15 kejadian (19 persen) dan 10 kejadian (12 persen) tidak dapat disimpulkan.

Hasil yang beragam ini mencerminkan kompleksitas yang melekat pada kekeringan. Dan, sekali lagi, pertanyaan spesifik menjadi penting. Kesimpulan mengenai peran perubahan iklim dalam kekeringan tertentu dapat bergantung pada apakah sebuah studi melihat suhu, curah hujan atau kelembaban tanah, misalnya.

"Kekeringan terus menjadi jenis peristiwa yang hasilnya memerlukan konteks yang signifikan, dan jawaban yang mudah sering kali sulit dipahami karena banyaknya faktor pendorong meteorologis, hidrologis, dan sosial yang bergabung untuk menyebabkan kekeringan,” demikian laporan BAMS 2015.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler