Rp 80 Ribuan per Kg, Petani Lada Hitam di Lampung Tersenyum Panen Hingga Beberapa Ton

Petani lada hitam di Lampung dapat merenovasi rumah dari hasil panen.

ANTARA/Fakhri Hermansyah
Pekerja mengemas lada hitam di Billiton Spice di Belitung, Kepulauan Bangka Belitung, Senin (23/5/2022). Billiton Spice merupakan salah satu dari lima UMKM juara pada kegiatan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI) yang mendapatkan pelatihan strategi promosi untuk meningkatkan penjualan di tingkat Nasional dan Internasional.
Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, TANGGAMUS -- Pagi menjelang siang itu, cuaca mendung di Air Naningan, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung. Aliran listrik PLN sempat terhenti, menyusul hujan disertai angin kencang yang terjadi malam sebelumnya menumbangkan beberapa pepohonan dan mengganggu jaringan listrik.

Baca Juga


Hingga pertemuan petani pembudidaya lada hitam Lampung dengan mitra mereka nyaris usai lewat tengah hari, aliran listrik ternyata belum juga pulih.

Namun para petani pembudidaya lada hitam Lampung itu dengan bersemangat tetap melaksanakan pertemuan mereka dengan mitra dan pendamping Program Lada Lestari Lampung (3L) yang diinisiasi Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ), Keith Spicer/Harris Spice, bersama PT Mitra Agro Usaha Perkebunan (MAUP), serta didukung stakeholders lainnya.

GIZ adalah perusahaan kerja sama internasional untuk pembangunan berkelanjutan yang beroperasi di lebih dari 130 negara atas nama Pemerintah Federal Jerman.

Keith Spicer Ltd/Harris Spice adalah pemimpin global dalam pembuatan, pemasaran dan distribusi teh, rempah-rempah, jamu dan bumbu, serta perisa/perasa lainnya, untuk industri makanan dan merupakan bagian dari Harris Freeman Group.

Misinya adalah untuk mendapatkan dan mendistribusikan rempah-rempah dan rempah-rempah terbaik, dengan cara yang aman, terjamin, dan berkelanjutan.

GIZ bekerja sama dengan Keith Spicer/Harris Spice telah memulai proyek lada organik di Indonesia. Proyek ini menawarkan model kemitraan pemerintah dengan swasta terkait pertanian, peningkatan pasar, serta pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan pada subsektor lada.

Proyek bersama ini menghubungkan keahlian yang ditawarkan oleh kedua belah pihak. Keith Spicer Ltd/Harris Spice menghadirkan pengetahuan khusus industri, teknologi baru, dan pendekatan kreatif. Sedangkan GIZ menyediakan keahlian kebijakan pembangunan, staf terampil di bidangnya, dan jaringan global yang mencakup pembuat kebijakan, sektor swasta, dan masyarakat sipil.

Dalam penelitiannya berjudul Peningkatan Daya Sang Lada (Piper nigrum L) Melalui Budi daya Organik oleh Agus Kardinan, I Wayan Laba, dan Rismayani dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (2018), menyatakan bahwa lada (Piper nigrum L.) merupakan tanaman rempah yang memiliki nilai ekonomi tinggi, dan penghasil devisa terbesar ketujuh pada kelompok tanaman perkebunan.

 

Pekerja menyusun botol untuk penyinaran UV sebelum pengemasan lada hitam di Billiton Spice di Belitung, Kepulauan Bangka Belitung, Senin (23/5/2022). Billiton Spice merupakan salah satu dari lima UMKM juara pada kegiatan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI) yang mendapatkan pelatihan strategi promosi untuk meningkatkan penjualan di tingkat Nasional dan Internasional. - ( ANTARA/Fakhri Hermansyah)
 

Daerah pengembangan lada di Indonesia sebagian besar berada di Provinsi Lampung, Bangka Belitung, Kalimantan, dan Sulawesi. Indonesia bukanlah negara terbesar pemasok kebutuhan lada di tingkat dunia, namun Indonesia merupakan negara pemasok lada nomor tiga di dunia. Negara pemasok kebutuhan lada terbesar di dunia adalah Vietnam, disusul oleh Brasil.

Salah satu kunci keberhasilan Vietnam adalah diterapkannya budi daya lada yang baik didukung oleh pemerintah dan swasta. Sedangkan di Indonesia sebagian besar perkebunan lada adalah milik petani dengan teknik budi daya yang beragam, seringkali tidak sesuai dengan standard operasional prosedur (SOP) budi daya lada yang dianjurkan.

Bersaing secara kuantitas dirasa berat untuk Indonesia, karena sampai saat ini produktivitas lada di Indonesia masih relatif rendah. Banyak permasalahan yang dihadapi oleh petani lada di Indonesia di antaranya mutu dari produk lada dihasilkan petani masih rendah. Tapi, Indonesia pernah menduduki peringkat pertama produsen lada dunia, terutama dari Lampung.

 

Permasalahan yang dihadapi usaha tani lada di Indonesia cukup klasik, terutama rendahnya produktivitas lada (kurang dari 1 ton/ha), besarnya kehilangan hasil karena hama dan penyakit, serta pendapatan yang tidak menentu karena harga lada yang sangat fluktuatif (Soetopo, 2012; Rosman, 2016), sehingga mengakibatkan turunnya produksi dan nilai ekspor (Yuhono, 2007).

Tanaman lada merupakan salah satu komoditas pertanian yang ada di Nusantara, dan salah satunya terdapat di Provinsi Lampung. Pada tahun 1653, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten mengeluarkan peraturan yang mewajibkan penduduk Lampung untuk menanam pohon lada sebanyak 500 pohon per orang. Bahkan, supaya ada tata niaga tanaman lada, penguasa dari Banten menempatkan beberapa orang untuk mengawasi jual beli lada.

Pada zaman dahulu, daerah penghasil lada utama di Lampung adalah Tulang Bawang, Sekampung, dan Seputih. Hingga akhirnya, banyak masyarakat yang tertarik menanam tanaman lada, selain karena perawatan yang cukup mudah, juga karena harga lada yang menggiurkan. Pada bulan Agustus 2022, harga lada pernah mencapai Rp46.800 per kilogram. Bahkan, pada masa panen raya lada hitam di Agustus 2024, harganya mencapai Rp90.000 per kilogram.

 

Menanam lada membutuhkan waktu sekitar 3-4 tahun. Waktu panen tergantung pada jenis lada yang ditanam dan kondisi lingkungan tempat tanamnya. Lada biasanya dipanen ketika buahnya sudah berwarna merah kehitaman. Tanaman lada cocok ditanam di daerah yang memiliki ketinggian antara 0-700 meter di atas permukaan laut, suhu udara antara 25-32 derajat celsius, curah hujan yang cukup, serta tanah yang gembur dan subur.

Namun saat ini, banyak petani yang beralih dari menanam lada ke komoditas lain, padahal dengan harga lada yang tinggi, dapat meningkatkan tingkat ekonomi masyarakat.

Lada hitam (ilustrasi) - (www.pixabay.com)

Pernah berjaya

Belakangan, Provinsi Lampung dengan didukung berbagai pihak telah mampu mengekspor lada hitam ke pasar internasional melalui Vietnam Ini sebuah harapan baru sebagai bagian dari cita-cita bersama untuk mengembalikan kejayaan lada hitam Lampung yang ada sebelumnya.

Namun seiring berjalannya waktu, Penjabat Gubernur Lampung Samsudin menyatakan, provinsi itu terancam kehilangan ikon sebagai tanah lada akibat tingkat produktivitas lada serta luasan areal tanam lada yang terus turun. Oleh karena itu, dia mengajak bersama-sama menjaga dan mengelola tanaman lada untuk mengembalikan kejayaan lada Lampung.

 

Lada hitam Lampung pernah sangat terkenal. Namun beberapa waktu lalu agak tenggelam, antara lain karena penyakit busuk pangkal batang. Karena itu, saat ini sedang diujicobakan penggunaan batang bawah tanaman lada yang tahan terhadap jamur Phytophthora. Selain itu, perlu peran pemerintah bersama pihak swasta dan petani untuk bersama-sama menanggulanginya secara efektif.

Dalam suatu pertemuan, Ketua Komunitas Usaha Bersama (KUB) Koperasi Berkah Jaya Lestari Ihsanudin membeberkan capaian produksi lada hitam hasil petani setempat yang pertama kalinya telah dibeli oleh PT MAUP untuk diekspor ke Vietnam.

Kontribusi para petani lada di Air Naningan cukup besar dari sebanyak seluruhnya 63 kontainer atau 945 metrik ton (MT). Dari total pembelian sebanyak 959 metrik ton, sebanyak 61,2 persen berasal dari Kabupaten Tanggamus; 7,00 persen dari Kabupaten Lampung Barat; Pesisir Barat 0,59 persen; Lampung Tengah 6,66 persen; Lampung Timur 18,39 persen, Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan dan Sumatera Selatan 5,32 persen; dan Provinsi Bengkulu 0,22 persen. Data ini menunjukkan bahwa Kabupaten Tanggamus di Provinsi Lampung berpotensi memiliki sumber komoditas lada terbesar.

Karenanya, Ihsanudin mengajak para petani lada setempat untuk terus meningkatkan kualitas hasil panen lada mereka, agar memenuhi standar pembelian perusahaan untuk diekspor, sehingga mendapatkan harga yang lebih tinggi demi kesejahteraan mereka. "Kita sama-sama berjuang untuk meningkatkan kesejahteraan kita. Bagaimana caranya kita bisa mencapai target memproduksi lada hitam yang berkualitas, dan nantinya juga memenuhi standar budi daya lada organik," kata dia.

 

Harga lebih tinggi

Senyum ceria merekah dari umumnya para petani lada di Air Naningan tersebut. Mereka kebanyakan mengaku mendapatkan harga pembelian yang lebih tinggi dari sebelumnya. Mereka juga merasakan prosedur dan proses serta pembayaran lada yang dibeli dengan lebih transparan, merasa lebih nyaman dan aman.

Muhammad Zaini atau akrab disapa Jay (33), salah satu petani muda peserta Progam Lada Lestari Lampung di Air Naningan mengaku, mampu menjual ratusan kilogram lada hitam sesuai standar ekspor, dengan harga beli minimal Rp85.000 per kg.

Dia menyebut prosedurnya, setelah lada miliknya dicek standar kualitasnya di PT MAUP Herbs & Spices Farmer Processing Centre di Ambarawa, Pringsewu, dia dan petani yang hendak menjual lada lainnya mendapatkan notifikasi detailnya beserta harga pembeliannya. Tak lama kemudian, dana pembelian lada untuk masing-masing petani ditransfer ke rekening petani lada bersangkutan.

Para petani itu pun bersyukur, pada panen dan pembelian lada hitam dengan PT MAUP kali ini tidak lagi tertipu adanya uang palsu yang diselipkan di dalamnya.

Sebelumnya, beberapa petani di sini mengakui pernah kena tipu dari transaksi pembelian tunai dengan pedagang pengumpul lada, di antaranya ada uang palsu terselip di dalamnya. Kali ini, selain mendapatkan kepastian harga pembelian lebih tinggi, petani juga terhindar dari tindak kriminalitas dan terhindari dari uang palsu.

Hasil pembelian lada hitam anggota KUB di Air Naningan oleh PT MAUP yang tersebar di desa mereka dan kawasan sekitar, memantik reaksi dari para petani lain.

Para pedagang pengumpul juga tertarik terlibat di dalamnya, hingga ada yang berupaya menggunakan identitas khusus (ID) petani anggota KUB untuk melakukan penjualan, sehingga ikut menikmati hasil harga yang lebih tinggi itu.

Namun, semua upaya itu telah diantisipasi sejak awal, seperti melalui proses penelusuran yang ketat diterapkan oleh pelaksana proyek bersama pihak perusahaan dan KUB, dengan kontrol kualitas yang ketat sehingga hal yang dikhawatirkan itu tak sampai terjadi.

Sejumlah petani yang tak ikut menjual lada hitam mengaku masih tak percaya atas apa yang dialami para petani anggota KUB tersebut, dan mempertanyakannya.

 

Nur Zamzam (64), petani di Air Naningan yang mengaku memiliki 2 hektare (ha) kebun lada hitam, mampu menjual hingga 5 kuintal, dengan harga rata-rata Rp86.000 hingga Rp87.000/kg. Kepastian harga lebih tinggi dari penjualan lada hitam sebelumnya itu diperolehnya, karena lada yang diproduksi memiliki standar untuk pembelian ekspor oleh PT MAUP. Padahal sebelumnya dia mengaku relatif susah menjual dengan harga tinggi, meskipun lada yang dihasilkan berkualitas.

Petani lainnya, Harlin (75) memiliki 4-5 ha kebun lada hitam, meskipun tergolong tanaman tua yang ditanam sejak tahun 1983. Ia mampu menjual lada hitam hingga beberapa ton, dengan harga hingga Rp85.000/kg. Kualitas lada miliknya baik, dengan standar minimal kadar air (kering) dan kandungan serasah (bersih).

Harus kering optimal

Saat cuaca panas, dengan bantuan alas terpal, dia bisa menjemur lada hasil panen selama 3-4 hari, untuk memenuhi standar kadar air yang ditentukan dalam pembelian untuk ekspor. "Paling bagus, kalau cuaca terik, cukup tiga hari lada yang dijemur di atas terpal plastik itu sudah kering secara optimal," katanya.

Namun, bila kondisi cuaca sedang tidak bersahabat, mendung atau kerap hujan seperti akhir tahun 2024 ini, perlu waktu beberapa hari lagi untuk mengeringkan ladanya. Padahal bila terlalu lama tidak dijemur dalam panas matahari secara mencukupi, lada yang sudah dipanen itu akan berjamur dan memutih, sehingga dipastikan menyusut beratnya.

 

"Rugi petani kalau lada tidak kering optimal, karena faktor cuaca kurang mendukung," ujarnya lagi.

Karena itu, dia dan para petani setempat berharap adanya dukungan peralatan pengering lada (dome dryer) yang dapat digunakan secara kolektif oleh anggota KUB ketika tak bisa menjemur lada karena cuaca sedang mendung atau hujan. Kondisi ini biasanya dialami mereka saat panen lada berlangsung di musim penghujan. Sudah pasti kerugian dialami mereka ada di depan mata, karena tak memiliki alat bantu pengering lada, selain hanya mengandalkan panas alami dari sinar matahari.

Harlin pernah memanen lada hingga mencapai 7-8 ton dalam satu kali musim panen, sehingga harus meminta izin kepada tetangga dan warga sekitar rumahnya untuk menggunakan sebagian areal setempat untuk menjemur lada tersebut. Pelataran rumahnya tak lagi mencukupi untuk menjemur lada sebanyak itu.

Dia menceritakan pula, pernah mengalami kejadian tanaman ladanya banyak yang mati kuning karena terkena penyakit busuk pangkal batang, disebabkan cuaca banyak hujan saat itu. Kondisi cuaca selama sekitar tiga tahunan berturut-turut, menurutnya, juga kurang baik, mengingat saat panen lada, terjadi banyak hujan dan jarang panas matahari. Karena itu, dengan bantuan dinas terkait, petani setempat telah mulai menerapkan budi daya lada sambung pucuk. Sekarang, lada hasil sambung pucuk telah mulai berbuah.

 

Ia menyebutkan, saat produktivitas tanaman ladanya tinggi, dalam satu batang bisa memanen hingga satu karung lada basah berukuran karung isi 30 kg. Satu kuintal lada basah, saat dikeringkan secara optimal bisa menjadi 30 kg lada kering siap jual. Dalam satu hektare, bisa menghasilkan lada hingga 1,5 ton.

Namun sekarang tanaman lada berusia tua yang dimilikinya paling tinggi dalam satu hektare hanya mampu menghasilkan hingga 3 kuintal saja. Produktivitasnya semakin menurun, antara lain karena buah ladanya ompong atau kurang nutrisi. Penyebabnya, antara lain terutama faktor cuaca yang kurang mendukung bagi peningkatan produktivitas tanaman lada, pemberian pupuk kurang, dan perawatan yang kurang baik.

Umumnya tanaman lada muda mulai berbuah pada umur tanam tiga tahun, dan bila dirawat dengan baik dapat terus produktif sepanjang 25 tahunan. Namun bila kurang perawatan dan petani pemilik kebun ladanya "jorok", tanaman ladanya bisa mudah terserang hama penyakit sehingga lebih cepat tidak produktif, kemudian tak lama mati.

Ihsanudin juga menyatakan dukungan adanya Program Lada Lampung Lestari selama ini telah memberikan panduan, bimbingan dan pembinaan serta pendampingan kepada para petani lada anggotanya, baik dari aspek budi daya, perawatan, hingga pascapanen dan pemasarannya. Para petani pun optimis berpeluang besar menghasilkan lada berkualitas dengan harga tinggi.

 

Apalagi, umumnya petani lada di Air Naningan merasakan, dalam tiga tahun terakhir, kondisi cuaca yang sudah berubah sehingga menjadikan budi daya dan perawatan tanaman lada perlu perhatian lebih ekstra. Cuaca yang kurang mendukung seperti sebelumnya, mengharuskan mereka mulai menerapkan pola budi daya yang lebih baik lagi, untuk mengantisipasi perubahan iklim dan kondisi cuaca seperti saat ini dan ke depannya lagi.

Karena itu, berbagai panduan, bimbingan dan pembinaan serta pendampingan dalam Program Lada Lestari Lampung dapat menjawab kondisi ini.

Salah satu antisipasi budi daya yang diaplikasikan adalah Program Solarisasi Tanah untuk menekan penyebaran dan penularan penyakit utama tanaman lada berupa busuk pangkal batang yang disebabkan oleh cendawan Phytophthora capsici. Solarisasi tanah merupakan metode ramah lingkungan dalam mengendalikan organisme pengganggu tanaman menggunakan sinar matahari untuk meningkatkan suhu tanah.

Selain itu, pemerintah melalui Dinas Perkebunan untuk mengantisipasi serangan penyakit busuk pangkal batang, mendorong petani lada menerapkan budi daya sambung pucuk (malada). Itu merupakan alternatif memperkuat pangkal batang tanaman lada, agar lebih kuat menghadapi serangan busuk pangkal batang itu.

 

Namun petani di Air Naningan berharap metode sambung pucuk ini dapat dikaji dan diteliti lebih lanjut, sehingga pada akhirnya tidak merugikan petani untuk memberikan jaminan hasil panen dengan produktivitas tinggi serta kualitas lada yang memenuhi standar untuk ekspor. Jangan sampai terhindar dari penyakit busuk pangkal batang, tapi hasil panen kualitasnya tidak memenuhi standar pasar ekspor.

Para petani lada di Air Naningan mengeluhkan pula keterbatasan tenaga kerja untuk membersihkan tanaman lada, karena bila dibiarkan saja tanpa perawatan dikhawatirkan panennya kurang maksimal. Padahal upah tenaga kerja, termasuk untuk memanen lada di sini berkisar Rp3.000 untuk setiap kilogram lada yang dipanen, ditambah dengan makan dan rokoknya.

Budi daya lada bagi umumnya petani di sini sudah mendarah daging dan dilakukan turun temurun oleh nenek moyang mereka yang diteruskan hingga sekarang. Beberapa petani senior maupun petani muda di sini mengaku cinta mati pada komoditas lada, sehingga apa pun yang terjadi pada tanaman ini, bertekad akan terus membudidayakannya.

Kesetiaan sebagian besar petani di sini untuk terus membudidayakan tanaman lada telah teruji. Mereka tak bergeming ke komoditas perkebunan lain, walaupun terjadi pasang surut harga dan ancaman penyakit mematikan dialami tanaman lada mereka. Kendati masih ada tanaman kopi maupun jenis tanaman bernilai ekonomis tinggi lainnya, mereka menyatakan masih tetap akan bertahan membudidayakan lada itu.

 

Ihsanudin bersama petani anggotanya berharap, KUB atau koperasi yang ada dapat mewakili petani untuk melakukan pembelian secara kolektif bagi para anggotanya, sehingga PT MAUP tidak lagi perlu langsung terlibat dalam pembelian di lapangan.

"Untuk panen ke depan, petani di sini berharap peranan Koperasi BJL yang ada bisa lebih efektif menjalankan fungsinya, sehingga perlu ditata menjadi lebih baik lagi, termasuk dilakukan penguatan pada KUB-nya," kata Ihsanudin. Namun untuk mengekspornya, sesuai dengan kesepakatan, mereka tetap perlu bermitra dengan PT MAUP untuk melakukannya.

Atasi permasalahan

Di balik sejumlah manfaat dan dampak positif Program/Proyek Lada Lestari Lampung, tentu saja masih terselip sejumlah permasalahan yang dialami para petani lada itu, baik dari aspek budi daya, pascapanen maupun saat pembelian lada yang telah berjalan.

Semua permasalahan yang masih ada itu tetap perlu dilakukan evaluasi dan dicarikan solusi terbaiknya, seperti dukungan transportasi/pengangkutan lada dari kebun/rumah petani ke gudang atau ke perusahaan secara memadai sesuai dengan kondisi lapangan dan kebutuhan konsumen.

 

Transportasi yang tersedia juga harus bisa menyesuaikan dengan kondisi geografis dan infrastruktur jalan/jembatan di wilayah tersebut, dengan memperhitungkan daya angkut kendaraan, daya tampung di gudang yang tersedia, dan kesiapan sarana pencatatan maupun pengecekannya di laboratorium.

Targetnya tak ada lagi lada hasil panen yang diangkut sampai menginap di gudang, atau daya tampung gudang tak mampu menyimpan lada yang dikumpulkan dari para petani setempat.

Mereka juga berharap pemerintah daerah, pemerintah pusat, bersama pihak perusahaan untuk bisa membenahi kondisi infrastruktur jalan ke desa-desa mereka, sehingga mengurangi risiko medan yang berat saat mengangkut lada maupun hasil pertanian dan perkebunan dari dalam desa mereka. Jalan-jalan yang rusak parah diminta segera diperbaiki, sehingga transportasi hasil panen petani di sini menjadi lancar dibawa ke luar untuk dijual.

Mereka menyatakan jika hasil pertanian dan perkebunan lancar dibawa keluar untuk dijual, atau para pembeli datang langsung ke desa mereka, sehingga memberikan peluang peningkatan penghasilan dan pendapatan serta kesejahteraan petani maupun warga setempat.

Sekarang saja, setelah merasakan adanya pembelian lada hitam oleh perusahaan, dengan harga sesuai standar kualitasnya, umumnya petani di Air Naningan mengaku puas mendapatkan hasil seperti diharapkan. Kenyataan ini bahkan sempat membuat cemburu para petani lain termasuk tetangga kampung mereka yang belum masuk menjadi anggota dan ikut dalam Program Lada Lestari Lampung.

Sejumlah petani lada di Air Naningan itu pun ada yang menyimpan hasil penjualan lada mereka untuk ditabung, sehingga dapat digunakan memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga mereka ke depan, termasuk persiapan biaya pendidikan anak-anak mereka.

Sebagian lagi menyiapkannya untuk membeli lahan baru yang dapat ditanami lada serta tanaman produktif penyela lainnya. Beberapa petani mengaku segera membeli lahan untuk membangun rumah baru mereka, bahkan ada yang sudah menyiapkan lahan untuk membangun rumah baru itu.

Sejumlah petani lada setempat juga mengaku sudah menyiapkan dana hasil penjualan untuk memperbaiki atau merenovasi rumah mereka, sehingga menjadi lebih nyaman untuk ditinggali bersama keluarganya. Ada beberapa petani yang juga telah menabung uang hasil penjualan lada mereka, untuk menyiapkan diri berangkat menunaikan ibadah umrah bersama keluarga masing-masing. Sekaligus ada pula yang sudah bersiap mendaftarkan diri bersama keluarga inti untuk menjalankan ibadah haji ke Tanah Suci Mekkah.

Berkah dari budi daya lada hitam berkualitas, bagian dari Program Lada Lestari Lampung mulai dirasakan para petani di Air Naningan dan beberapa lainnya di Lampung ini. Berkah ini diharapkan dapat ditularkan dan dikembangkan serta diperluas maupun ditingkatkan lagi, sehingga benar-benar dapat memberikan jaminan kesejahteraan bagi mereka yang tetap bertahan tidak pergi ke lain hati komoditas lainnya, tetap setia mengurus dan membudidayakan tanaman ladanya dengan baik.

Harapan besar ini semoga bisa terwujud segera, dan aspirasi para petani lada itu untuk dukungan infrastruktur di kampung mereka, dapat didengar oleh para pihak yang berwenang.

Merespons capaian Program Lada Lestari Lampung itu, Dinas Perkebunan dan Peternakan (Disbunnak) Kabupaten Tanggamus menurut Kepala Disbunnak setempat Henri Fatra meyakini dengan Program Lada Lestari Lampung yang mulai terbukti dirasakan para petani lada di daerah ini, dapat menjadi pengungkit semangat terus mengembangkan budi daya lada hitam.

"Petani mendapatkan pendampingan dan dukungan untuk terus mengembangkan budi daya lada hitam, sehingga dapat menghasilkan lada hitam berkualitas. Makin berkualitas harga pembeliannya juga kian tinggi," kata Henri.

Pihaknya juga mendukung penuh target lebih lanjut program ini untuk mengembangkan budi daya lada hitam organik.

Pastinya, dengan budi daya lada hitam yang baik, lada yang diproduksi petani juga makin berkualitas sehingga mendapatkan harga lebih tinggi. Apalagi saat budi daya lada hitam organik diterapkan, hampir pasti pula kualitas lada yang dihasilkan makin berkualitas dengan harga kian tinggi pula.

"Pemerintah daerah di Tanggamus mendukung budi daya lada organik ini, selain memang ramah lingkungan, juga memberikan manfaat langsung bagi petani dan masyarakat sekitar," kata Henri Fatra.

Dinas Kehutanan Lampung, menurut Kepala Dinasnya, Yanyan Ruchyansyah, mendukung penuh pengembangan komoditas lada hitam Lampung berkualitas, termasuk sasaran menuju sertifikasi lada organik yang dicanangkan petani dengan dukungan para pihak ini.

Dia bahkan siap mendukung produksi lada itu dari para petani pengelola izin perhutanan sosial (PS) khususnya di wilayah Air Naningan, Kabupaten Tanggamus. Apalagi ternyata dari lada hitam yang diekspor itu, terdapat kontribusi sedikitnya 30 ton dari sekitar 100 petani perhutanan sosial setempat. "Ini permulaan yang sangat baik dan layak dilanjutkan serta terus dikembangkan," katanya.

Menurut Yanyan, kontribusi produksi pertanian dan perkebunan dari kawasan kelola perhutanan sosial itu menunjukkan adanya geliat semangat masyarakat petani/pekebun untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan mereka.

Karena itu, para pihaknya harus terus mendorong agar terjadi pergerakan ekonomi yang dinamis di desa-desa penyangga sekitar kawasan hutan agar dapat menerapkan pola budi daya yang ramah lingkungan. Upaya ini dalam jangka pendek dapat meningkatkan ketahanan ekonomi masyarakat sekitar hutan, dan pada akhirnya akan mendukung mereka menerapkan pola budi daya agroforestri untuk pemulihan ekologis dan ekosistem hutan di sekitarnya.

Pembuktian cerita tentang kejayaan lada hitam Lampung, kini salah satu terobosannya telah dilakukan di Pringsewu, dengan ekspor lada hitam ke pasar dunia melalui Vietnam. Ke depan, fokusnya adalah merancang program bersama dalam waktu tidak lama lagi, kolaborasi dengan berbagai pihak secara sinergis, akan mampu mengembalikan kejayaan lada hitam Lampung, dengan mewujudkan slogan “Lada Hitam Lampung Mendunia”.

Lewat kerja kolaboratif dalam Program Lada Lestari Lampung bersama PT MAUP yang telah melakukan pembelian hasil panen lada petani di tiga kabupaten di Lampung itu, para petani lada di Kabupaten Tanggamus, Pesawaran, dan Lampung Barat telah mulai merasakan manfaatnya.

Mereka pun tersenyum cerah ceria dan memiliki optimisme tinggi, program ini akan berjalan sukses sejalan dengan kerja keras untuk membangkitkan kembali kejayaan Lampung sebagai provinsi penghasil utama lada di Indonesia dan dunia. Senyum merekah para petani lada hitam Lampung itu akan kian mengembang saat semua harapan, cita-cita, dan mimpi besar bersama tersebut benar-benar dapat segera terwujud di depan mata.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler