Netanyahu Semakin Jadi Beban Rakyatnya dan Dijauhi Trump, Kejatuhan Rezim Israel Pembantai?
Trump kecewa dengan sikap Netanyahu yang memanipulasi.
REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Para analis politik melihat bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah menjadi beban di negara pendudukan, bahkan pada Partai Likud-nya.
Hal ini mengingat meningkatnya tekanan tidak langsung dari Amerika Serikat untuk mengganti dirinya, mengingat kegagalan dalam mengelola perang di Jalur Gaza dan memburuknya hubungannya dengan pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Hal ini bertepatan dengan kesepakatan pembebasan tentara Amerika-Israel, Edan Alexander, karena kontak langsung antara pemerintahan Amerika Serikat dan Gerakan Perlawanan Islam Hamas menunjukkan bahwa Israel tidak memainkan peran aktif, yang dianggap oleh para pengamat sebagai indikasi besarnya ketegangan antara Washington dan Tel Aviv pada saat ini.
Dalam konteks ini, analis Dr Liqa Makki percaya bahwa perselisihan Amerika Serikat-Israel penting pada saat ini, tetapi tidak akan mengubah sifat dukungan Amerika Serikat untuk Israel dalam jangka menengah, tetapi dapat mendorong ke arah pencarian jalan keluar dari krisis Netanyahu, yang telah menjadi beban bagi partainya sendiri.
Dikutip dari Aljazeera, Selasa (13/5/2025), dia menjelaskan bahwa Netanyahu sadar akan besarnya tekanan terhadap dirinya, sehingga dia berusaha untuk keluar dengan kerugian sekecil mungkin dengan cara meningkatkan pengeboman Gaza.
Ini dia lakukan semata untuk menampilkannya sebagai sebuah pencapaian pribadi dan untuk menepis tuduhan bahwa dia tunduk pada tekanan Amerika.
BACA JUGA: Media Militer Israel Ungkap Trump Jauhi Netanyahu dan Tutup Komunikasi, Ada Apa?
Terutama mengingat narsisme yang membuatnya berpegang teguh pada posisinya dengan cara apa pun.
Sementara itu, Ihab Jabarin, seorang penulis yang mengkhususkan diri dalam urusan Israel, menunjukkan bahwa Israel hari ini tampak sebagai “negara ke-51” Amerika Serikat.
Ini mengingat ketundukan yang ditunjukkannya pada kehendak Washington, dan berbicara tentang keadaan goncangan di dalam Israel atas cara penyerahan tentara Amerika tanpa partisipasi Israel.
Selama partisipasinya dalam program yang sama, Jabarin mengatakan bahwa pidato Netanyahu baru-baru ini di konferensi GNS yang diadakan di Yerusalem runtuh sepenuhnya.
Trutama klaimnya tentang pertempuran eksistensial dengan Iran dan bahwa Hamas adalah bagian darinya. Sementara Washington menjelaskan kepadanya bahwa jalannya berbeda, yang merupakan pukulan langsung bagi pemimpin Likud di depan publik dan elite politiknya.
Momen yang sensitif
Dalam konteks ini, penulis dan peneliti urusan internasional Hossam Shaker menjelaskan bahwa pembebasan Edan terjadi di saat yang sangat sensitif, karena Trump sedang mencari sebuah pencapaian di kawasan ini di tengah memburuknya citra Israel secara global, dan munculnya pendudukan sebagai beban moral bahkan bagi para sekutunya.
Shaker menunjukkan bahwa langkah ini dapat mewakili peluang untuk memberi energi kembali pada jalur negosiasi dari luar pendekatan dan narasi Netanyahu.
Meskipun belum ada yang dijamin, tetapi pesan yang dikirim oleh Washington melalui kesepakatan tersebut menunjukkan dimulainya jalur baru di mana Netanyahu tidak berperan sebagai pahlawan.
Pada saat media Israel dan Amerika merayakannya, Makki mencatat bahwa pembebasan Aidan tanpa kompensasi merupakan langkah cerdas Hamas untuk mendapatkan poin propaganda dan moral dengan menekankan perbedaan antara penahanan Aidan secara kemanusiaan dengan pembunuhan yang dilakukan Israel di Gaza.
Dia menambahkan bahwa Netanyahu sadar bahwa dia sedang menghadapi saat-saat kritis, dan bahwa keberlangsungan kekuasaannya tidak lagi terjamin, terutama karena adanya tekanan-tekanan dari dalam Partai Likud sendiri, di mana suara-suara yang menuntut untuk memikirkan fase pasca-Netanyahu, dan mengkritik perubahan partai tersebut yang telah menjadi sandera satu keluarga.
Jabarin menekankan bahwa krisis Netanyahu tidak terletak di Washington atau Gaza, tetapi di dalam tubuh Likud sendiri.
Perbandingan sedang dibuat antara situasinya saat ini dan apa yang dihadapi oleh para pemimpin sebelumnya seperti Ariel Sharon, Menachem Begin, dan Yitzhak Shamir saat mereka disingkirkan dari kepemimpinan partai setelah melakukan transformasi yang serupa.
Jabarin mengatakan bahwa ada beberapa artikel dan gerakan internal di Likud yang mencerminkan keyakinan bahwa kepemimpinannya yang berkelanjutan akan melemahkan partai dan menambah beban partai, terutama mengingat skandal dan tuduhan korupsi yang mengikuti karir politiknya.
Batas tertinggi negosiasi
Di sisi lain, Shaker percaya bahwa tuntutan Hamas dalam pernyataan-pernyataannya baru-baru ini, mulai dari gencatan senjata permanen hingga pencabutan pengepungan dan pertukaran tawanan, mewakili batas negosiasi yang diinginkannya, meskipun untuk mencapainya diperlukan perubahan besar dalam persamaan politik dan militer yang ada.
Dia menunjukkan bahwa pendudukan belum mencapai pencapaian lapangan yang substansial sejauh ini, meskipun telah terjadi pembunuhan dan kelaparan selama dua bulan, menjelaskan bahwa perlawanan masih aktif di lapangan, yang tercermin dari cara penyerahan Aidan, dengan pesan tersirat tentang kegagalan Israel untuk mengamankan tentaranya.
Dia menunjukkan bahwa gambar Aydan yang menolak untuk bertemu Netanyahu menunjukkan krisis kepercayaan di dalam Israel, dan dapat membuat warga negara ganda enggan untuk bergabung dengan tentara Israel di masa depan, menambah beban baru bagi kepemimpinan saat ini.
Di sisi lain, Makki mengatakan bahwa kontradiksi dalam pernyataan-pernyataan Israel mengenai posisi Trump dalam perang di Gaza mencerminkan kondisi kebingungan di dalam negeri Israel, dan menekankan bahwa yang pasti Trump tidak menyukai Netanyahu dan menganggapnya sebagai beban politik yang harus disingkirkan sebelum kunjungannya ke wilayah tersebut.
Dia menambahkan bahwa Netanyahu telah berulang kali mengecewakan Trump dan belum mencapai terobosan apapun dalam masalah Gaza meskipun telah memberinya kesempatan yang panjang untuk melakukannya, yang membuat Trump merasa bahwa terus mendukung Netanyahu akan merusak citranya sendiri dan melemahkan kartunya di depan sekutunya di wilayah tersebut.
Kartu-kartu tekanan Trump
Dalam konteks yang sama, Jabarin mengatakan bahwa Washington memiliki kartu-kartu penekan yang besar yang belum digunakannya, mulai dari dukungan militer hingga kedok diplomatik.
Kemampuan Netanyahu untuk memimpin proses normalisasi dengan negara-negara Arab patut dipertanyakan, mengingat meningkatnya ketidaksukaan terhadapnya di dalam dan di luar Israel.
Shaker memperingatkan bahwa Netanyahu mungkin akan melancarkan eskalasi besar di Gaza untuk menghindari tekanan yang semakin meningkat terhadapnya.
Biaya kemanusiaan telah mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan bahwa kelanjutan dari pendudukan dengan cara ini mencerminkan sebuah momen keprihatinan strategis di dalam pendirian Israel.
Dia menunjukkan bahwa Trump sendiri mungkin akan bergerak dengan kejutan-kejutan yang membalikkan keadaan, terutama karena dia tidak lagi melihat Israel sebagai kartu truf seperti sebelumnya, yang mendorongnya untuk memperkuat hubungannya dengan negara-negara regional melalui pintu gerbang file dan kesepakatan kemanusiaan, bukan dengan mengadopsi posisi keras kepala Netanyahu.
Makki percaya bahwa kunjungan Trump yang akan datang dapat menjadi momen yang sangat penting, terutama karena Washington percaya bahwa menyingkirkan Netanyahu dapat membuka pintu menuju fase baru dalam hubungan dengan Timur Tengah, mengingat perilaku yang bijaksana dari ibu kota Arab yang dilihat Washington sebagai mitra yang lebih stabil daripada pemerintah Israel saat ini.
Sementara itu, Aljazeera telah mengungkapkan rincian tambahan mengenai pembebasan Edan Alexander, seorang tentara Israel berkewarganegaraan Amerika Serikat.
Proses serah terima yang berlangsung pada Senin (13/5/2025) di Khan Younis di Jalur Gaza selatan, menurut sumber-sumber khusus yang berbicara dengan wartawan Aljazeera Tamer al-Meshaal.
Menurut sumber khusus tersebut, serah terima yang dipimpin oleh Brigade Qassam - sayap militer Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) - berlangsung dengan lancar dan cepat jauh dari media pada pukul 18:35 waktu setempat.
Selama serah terima, komandan kelompok Qassam mengatakan kepada perwakilan Palang Merah bahwa serah terima Alexander merupakan kesepakatan antara pemerintah Amerika Serikat dan Hamas, bukan Israel.
Hal ini yang kemudian ditafsirkan sebagai penjelasan mengapa tentara tersebut kemudian menolak untuk bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Pada Senin malam, Israel Broadcasting Corporation mengatakan bahwa Alexander menolak untuk bertemu dengan Netanyahu.
Sementara keluarga prajurit tersebut mengungkapkan bahwa dia akan melakukan perjalanan ke Doha untuk bertemu dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad bin Khalifa Al Thani.
Alexander ditangkap dengan seragamnya dari pos militer Israel di sebelah timur Khan Younis pada 7 Oktober 2023, yang dikenal dalam istilah Palestina sebagai situs militer "Gedung Putih", dan dianggap sebagai bunker tank Israel.
BACA JUGA: Negara Islam yang Ditakuti Israel Ini Peringkat ke-4 Hasil Tes IQ Tertinggi Dunia
Menurut sumber yang berbicara dengan Al-Masahal, apa yang terjadi dianggap sebagai "inisiatif semu" oleh Hamas, di mana mereka ingin membuka jalan bagi masuknya bantuan secara cepat ke Jalur Gaza dan mulai merundingkan gencatan senjata sehubungan dengan keinginan Washington dan para penengah di Doha untuk mempercepat masalah ini.
Dalam konteks ini, kantor Netanyahu mengumumkan malam ini bahwa Israel akan mengirim delegasi ke Doha besok untuk membahas proposal yang diajukan oleh utusan Amerika Serikat untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan untuk membebaskan para tahanan yang ditahan di Gaza.
Mengenai keuntungan yang diraih oleh Hamas, al-Mishal mengatakan bahwa mereka ingin mendapatkan tiga jaminan dan pilar yaitu sebagai berikut:
Membuka jalur komunikasi dengan pemerintah Amerika Serikat dan mengaktifkannya dari Israel
Menghentikan kebijakan kelaparan, dengan mengupayakan masuknya bantuan dan memastikan adanya koridor kemanusiaan ke Gaza, seperti yang dijanjikan oleh para mediator kepada Hamas.
Memulai negosiasi mengenai proposal Witkoff, yang sebelumnya telah ditolak oleh Israel, dan bukan di atas kertas Israel.
Proposal Witkoff mencakup pembebasan lebih sedikit tahanan Israel dibandingkan dengan proposal Israel dan tidak membahas pelucutan senjata atau perlawanan untuk meninggalkan senjatanya.
Aljazeera telah mengungkapkan bahwa Doha telah menjadi tuan rumah perundingan langsung selama empat hari terakhir atas permintaan pihak Amerika Serikat.
Komunikasi ini berlangsung melalui seorang tokoh penting Amerika dalam pemerintahan Trump, dan melalui pertukaran surat dan komunikasi, bukan tatap muka.
BACA JUGA: Pakistan: Negara Islam dengan Nuklir Terbesar ke-7 Dunia, Israel Nafsu Ingin Hancurkan
Momen yang menentukan terjadi kemarin ketika Perdana Menteri Qatar dan Menteri Luar Negeri Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani mengatakan kepada Amerika bahwa Alexander masih hidup, dan bahwa Hamas siap untuk membebaskannya sebagai bagian dari upaya mewujudkan gencatan senjata dan bantuan kemanusiaan.
Hamas menggambarkan langkah untuk membebaskan Alexander bertujuan untuk membangkitkan upaya politik yang dipimpin oleh Amerika Serikat untuk mengakhiri perang yang sedang berlangsung di Jalur Gaza.
Pembebasan Alexander menyisakan 58 tawanan yang masih ditahan di Jalur Gaza, menurut laporan Israel. Dari jumlah tersebut, 23 orang diyakini masih hidup.
Pembicaraan serius membuahkan hasil
Dalam pernyataan resminya, Hamas mengatakan pembebasan Alexander menyusul komunikasi dengan pemerintah AS dan termasuk dalam upaya mediasi yang lebih luas yang bertujuan untuk mencapai gencatan senjata, membuka penyeberangan, dan memfasilitasi bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Gerakan tersebut menyoroti tingkat fleksibilitas dan kemauan yang tinggi untuk terlibat, dengan menyatakan bahwa "negosiasi yang serius dan bertanggung jawab menghasilkan hasil berupa pembebasan tahanan."
Hamas juga memperingatkan bahwa agresi berkelanjutan oleh pendudukan Israel memperpanjang penderitaan para tawanan dan membahayakan nyawa mereka.
Kelompok tersebut menegaskan kembali kesiapannya untuk segera memulai negosiasi yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata yang komprehensif dan berkelanjutan, menyerukan penarikan penuh pasukan pendudukan, pencabutan blokade, pertukaran tahanan, dan pembangunan kembali Gaza.
Dalam pernyataannya, Hamas mendesak pemerintah AS untuk mengintensifkan upayanya untuk mengakhiri perang di Gaza. Amerika Serikat mengesampingkan 'Israel'.
BACA JUGA: Ekspor Senjata ke Israel Terbongkar, Pemerintah Inggris Dituduh Berbohong
Media Israel melaporkan Senin malam waktu setempat, Edan Alexander menolak bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu setelah diserahkan kepada militer Israel oleh Komite Palang Merah Internasional.
Menurut lembaga penyiaran publik Israel Kan 11, Alexander menolak pertemuan dengan Netanyahu tak lama setelah pembebasannya. Sebaliknya, media Israel menyebarkan gambar Alexander di atas helikopter militer Israel, memegang tanda tulisan tangan yang berbunyi: "Terima kasih, Presiden Trump."
Amerika Serikat telah mengabaikan Pemerintahan Netanyahu dalam negosiasi terkait Iran, Ansar Allah, dan yang terbaru, kasus tentara Israel dan tawanan Amerika Idan Alexander, menurut Channel 13 Israel.
Mengutip seorang pejabat AS, Channel 13 melaporkan bahwa setelah pembebasan Alexander, negosiasi segera diharapkan akan dimulai untuk mencapai kesepakatan yang komprehensif. Nasib tawanan lainnya yang ditahan di Gaza kini dilaporkan berada di tangan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, karena Hamas dan "Israel" menunggu langkah selanjutnya dari Washington.
Media Israel juga melaporkan bahwa Amerika Serikat secara aktif berupaya untuk menemukan sisa-sisa empat tawanan Amerika yang diyakini telah tewas selama perang.
BACA JUGA: 3 Alasan Trump Berdamai dengan Houthi dan Tinggalkan Israel Menurut para Pakar
Klaim Netanyahu
Pembebasan tawanan AS-Israel yang diantisipasi oleh Hamas tidak akan mengarah pada gencatan senjata di Jalur Gaza atau pembebasan tahanan Palestina, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan pada Senin.
Negosiasi untuk kesepakatan yang lebih luas guna mengamankan pembebasan semua tawanan Israel di Gaza akan dilanjutkan. Meski demikian, Netanyahu yang dikenal sebagai seorang penjahat perang, mengungkapkan, akan melakukannya di bawah senjata, selama persiapan untuk mengintensifkan pertempuran," menurut pernyataan yang dikeluarkan oleh kantornya.
Sumber: Aljazeera