Pengamat: Indonesia Berisiko Jika Beli Alutsista Bekas

Fahmi menegaskan membeli alutsista bekas tak berarti lebih murah.

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Pesawat tempur Rafale milik Angkatan Udara dan Antariksa Prancis melakukan flypass saat berlangsungnya pameran industri pertahanan Indo Aerospace Expo & Forum 2022 di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (4/11/2022). Kegiatan tersebut bagian dari pameran kedirgantaraan yang memamerkan alat utama sistem persenjataan (Alutsista) diikuti 905 perusahaan dari 59 negara.
Rep: Bambang Noroyono Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat Pertahanan Universitas Pertahanan (Unhan) Fahmi Alfansi Pane menilai Indonesia berisiko dan rugi jika kerap mengambil cara belanja alutsista yang bekas. Menurutnya, kemampuan dan kebutuhan sistem pertahanan Indonesia sanggup untuk membeli yang baru.

Baca Juga


Fahmi mengatakan, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) perlu mengkaji pola belanja alutsista, dengan meminimalisir pembelian barang bekas, lalu memprioritaskan yang baru. Ia mengatakan, kontrak beli pesawat jet tempur Rafale dari Prancis menjadi contoh Indonesia, mampu membeli alutsista yang baru.

“Bagusnya memang pembelian alutsista ini yang baru. Jangan ada yang bekas. Atau dikombinasikan dengan pola meminimalisir pembelian yang bekas, dan memprioritaskan dan perbanyak pembelian yang baru,” kata Fahmi saat dihubungi Republika.co.id, dari Jakarta, Selasa (9/1/2024).

Kata dia, terlalu berisiko jika Indonesia membeli alutsista bekas. “Ada risiko-risiko yang tidak bisa kita toleransi kalau kita membeli alutsista yang bekas,” ujar Fahmi.

Setidaknya Fahmi menyampaikan, lima risiko yang menjadi tanggungan Indonesia jika mengambil alutsista bekas dalam keranjang belanjanya. Risiko pertama menyangkut soal dampak turunan dari Undang-undang (UU) 16/2012 tentang Industri Pertahanan. Fahmi menjelaskan, dalam regulasi itu menebalkan kewajiban-kewajiban pemerintah dapat memastikan adanya imbal dagang dari setiap pembelian alutsista untuk melibatkan industri pertahanan di dalam negeri.

Kewajiban tersebut, kata Fahmi, tak akan didapat jika Indonesia membeli alutsista bekas. “Ini terkait dengan imbal beli, atau imbal dagang, yang kemudian memberikan kompensasi dalam pelibatan industri pertahanan di dalam negeri. Seperti bagaimana transfer teknologi,” kata Fahmi.

Risiko kedua, kata Fahmi, negara pembeli alutsista bekas, dipastikan tak bakal mengetahui tentang riwayat pakai barang belanjanya. Karena kata Fahmi, negara penjual alutsista bekas, tak bakal membeberkan jujur tentang riwayat pakai dagangannya.

“Ini akan menjadi persoalan yang sangat serius bagi negara yang membeli. Karena dia (negara penjual), pasti merahasiakan riwayat pemakaian alutsista bekas yang akan dijual,” ujar Fahmi.

Fahmi mengambil contoh yang pernah dilakukan Indonesia saat membeli 24 unit pesawat jet tempur F-16 bekas dari Amerika Serikat (AS). “Itu kan salah-satunya ada yang terbakar di landasan saat sedang take off. Nah, itu contoh dari riwayat barang yang kita beli, tidak tahu riwayatnya apa. Sama seperti beli mobil bekas, apakah dia pernah tabrakan, atau riwayat-riwayat minus lainnya. Yang itu pasti dirahasiakan oleh negara penjual,” ujar Fahmi.

Risiko lainnya, kata Fahmi apabila pembelian alutsista bekas tersebut, dilakukan dengan negara yang bukan produsen. “Maka ini semakin berisiko lagi,” ujar dia.

Menurut Fahmi membeli alutsista bekas yang bukan berasal dari negara produsen, hanya akan berujung pada pengeluaran yang lebih tinggi bagi negara pembeli. Karena dikatakan dia, negara pembeli, tak bisa menegosiasikan upaya memodernisasi dalam pemeliharaan alutsista bekas yang dibeli dari negara tersebut.

Ujung-ujungnya, kata Fahmi, negara pembeli, memperpanjang prosesnya dengan menggaet negara produsen alutsista tersebut. “Itu justru memperpanjang negosiasi lagi, dan itu ujung-ujungnya biaya, dan waktu,” kata Fahmi.

Indonesia, kata Fahmi semestinya menghindari pembelian alutsista bekas dari negara nonprodusen, seperti pengalaman pembelian pesawat tempur Euro Typhoon dari Austria. Juga, kata Fahmi, dalam pembelian alutsista pesawat tempur Mirage dari Qatar atau Uni Emirate Arab (UEA). Negara-negara tersebut, kata Fahmi, bukan produsen asal pesawat-pesawat tersebut. Risiko selanjutnya dari pembelian alutsista bekas, juga menyangkut biaya pemeliharaan yang bakal lebih tinggi.

“Tidak benar kalau dikatakan bahwa membeli alutsista bekas, berarti itu lebih murah. Itu belum tentu. Bisa jadi lebih mahal. Minimal dalam biaya perawatannya,” kata Fahmi.

Biaya perawatan tinggi dari alutsista bekas itu, kata Fahmi, akan berujung pada risiko selanjutnya. Yaitu, terkait dengan usaha untuk tetap menjaga performa dari alutsisa bekas yang dibeli tersebut. Risiko terakhir dari pembelian alutsista bekas, kata Fahmi, terkait dengan kebutuhan yang mendasar dari negara pembeli. Kata dia, pembelian alutsista, umumnya negara-negara pembeli meminta penyesuain sesuai dengan apa yang dimau, dan apa yang dibutuhkan.

“Istilahnya ingin di-customize seperti itu. Apakah sistem persenjataannya harus seperti apa, sistem elektroniknya harus seperti apa,” ujar Fahmi.

Dan itu, kata Fahmi, tak bakal bisa dinegosiasikan jika dengan membeli alutsista yang bekas. Persoalan belanja alutsista bekas, atau baru ini memang kerap menjadi berdebatan di Indonesia sejak lama. Namun isu ini kembali mencuat saat debat capres baru-baru ini.

Capres Prabowo Subianto, yang saat ini menjabat sebagai Menteri Pertahanan (menhan), tak mempersoalkan dengan pembelian alutsista seperti pesawat jet tempur bekas. Namun Capres Ganjar Pranowo mengkritik rival politiknya itu mengambil keputusan yang fatal selama menjabat menhan dengan belanja barang-barang pertahanan bekas untuk pertahanan Indonesia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler