Wamenhan: Pembelian 42 Pesawat Rafale Sejarah Baru Bagi Indonesia
Pesawat tempur Rafale tersebut baru akan siap
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Pertahanan Muhammad Herindra menyebut, pembelian 42 pesawat tempur Rafale dari Prancis oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto merupakan sejarah baru bagi Indonesia. Menurut Herindra, pengadaan 42 unit pesawat tempur Rafale tersebut merupakan bentuk kepedulian Menhan agar performa TNI terus optimal.
“Contohnya sekarang Pak Menhan itu sekarang sudah mengakuisasi membeli 42 pesawat tempur Rafale. Belum pernah ada sejarah selama republik ini berdiri, pengadaan alat perang baru 42 unit. Itu Pak Menhan,” kata Herindra dalam acara diskusi ‘Membangun Kekuatan Pertahanan di Kawasan Regional’ di Media Center Indonesia Maju, Jakarta, Jumat (12/1/2024).
Kendati demikian, pesawat tempur Rafale tersebut baru akan siap dikirimkan ke Indonesia tujuh tahun mendatang. Selama menunggu dikirimnya alutsista baru tersebut, Kemenhan pun menggunakan alutsista bekas yang masih layak dan siap digunakan. Sehingga tidak terjadi kekosongan alutsista dalam waktu yang lama.
“Tapi kalau kita dalam menunggu yang baru itu, kekosongan yang masih lowong itu diisi lah. Dan ini bukan masalah bekas dan baru ya yang kita pilih kemarin yang dibicarakan itu, ini karena alat perang pesawat itu masih layak pakai atau tidak. Jadi itu lah, itu pengganti untuk saling menunggu alat perang yang sudah kita rencanakan,” jelas Herindra.
Herindra pun menyampaikan, secara umum alutsista Indonesia saat ini sudah menuju ke arah yang baik untuk mendukung tugas pokok dan fungsi TNI. Ia pun mengakui, sejumlah alat perang yang dimiliki saat ini sudah berusia cukup tua karena pengadaannya dilakukan sejak sekitar tahun 1960.
Karena itu, Menhan Prabowo sering menggelar diskusi bersama TNI untuk meningkatkan performa militer Indonesia. Sejumlah hal pun memang harus segera dilakukan perbaikan. Dalam proses pengadaan alutsista, Kemenhan melakukan mekanisme bottom up ke seluruh matra angkatan TNI sehingga bisa menyerap aspirasi yang dibutuhkan.
“Untuk pengadaan alat perangnya kita kan juga mengandung mekanisme bottom up. Intinya apa, kita menanyakan angkatan dulu, 'lu perlunya apa sih?' Nah kemudian mereka mengajukan kepada kita, kita mengafiliasi, dan kita juga tentunya melihat dari ada berapa anggaran yang tersedia,” kata Herindra.