Pengembangan Energi Panas Bumi Masih Lambat, Dewan Energi: Risiko Masih Tinggi
Indonesia memiliki potensi panas bumi sebesar 23,06 GW.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) masih memiliki berbagai risiko yang cukup tinggi, semisal dalam tahapan eksplorasi dan pembiayaan. Dewan Energi Nasional (DEN) menilai bahwa risiko tersebut menjadi salah satu penyebab lambatnya akselerasi atau pengembangan energi panas bumi di Indonesia.
Indonesia memiliki potensi panas bumi sebesar 23,06 GW, merujuk data dari Kementerian ESDM (2023). Meski demikian, pengembangannya berjalan relatif lambat dengan hanya sekitar 2,35 GW atau sekitar 10,19 persen baru dimanfaatkan dari total potensi yang ada.
Menanggapi hal tersebut, DEN kemudian memberikan setidaknya delapan rekomendasi guna mengurangi risiko dalam akselerasi panas bumi. Anggota Dewan Energi Nasional Satya Widya Yudha mengatakan bahwa rekomendasi ini disusun setelah mendengarkan masukan dari beberapa pertemuan dengan asosiasi dan para ahli.
“Sehingga masukan ini menjadi bentuk penetrasi kebijakan Pemerintah dalam mengakselerasi sumber daya panas bumi menjadi skenario yang bisa diwujudkan pada 2060,” kata Satya dalam webinar yang diselenggarakan ReforMiner pada Senin (15/1/2024).
Rekomendasi pertama, harga panas bumi harus disesuaikan dengan keekonomian proyek. Satya menjelaskan bahwa tarif yang meluncur harus sesuai dengan keekonomian proyek (feed in tariff berdasarkan lokasi jaringan), terjangkau dari segi harga rata-rata bauran energi, tidak membandingkan harga satu jenis energi dengan jenis energi lain yang tidak apple to apple.
Kedua, lanjut Satya, perihal perizinan. Perlu ada keselerasan peraturan di tingkat yang lebih tinggi seperti Peraturan Presiden Percepatan Pembangunan Panas Bumi Izin AMDAL, izin kehutanan seperti IPPKH atau IPJLPB, dan sumber perizinan sumber daya alam.
Selanjutnya ketiga, terdapat penggantian biaya infrastruktur sebagai kompensasi atas kewajiban perpajakan khususnya yang bersifat sosial, risiko eksplorasi ditanggung pemerintah, dan internalisasi biaya lingkungan (carbon tax). “Poin ini begitu penting menurut saya karena ini akan betul-betul memberikan dampak dan perubahan,” jelas Satya.
Keempat, perpajakan yang dikenakan adalah hanya menanggung pajak badan yaitu 20 persen dan menerapkan tax holiday serta insentif pajak lainnya. Lalu rekomendasi kelima terkait dengan peraturan energi terbarukan yang diharapkan dapat memuat mitigasi risiko pada setiap fase atau tahapannya.
Untuk rekomendasi keenam, Satya menekankan perlunya jaminan keuntungan ekonomi yang wajar terkait dengan alokasi risiko yaitu pembagian risiko antara PLN sebagai off taker menjadi tarif kompetitif dan pengembang yang mempunyai risiko menjadi tarif menarik. Menurut dia, pemerintah juga perlu memastikan tingkat Internal Rate of Return (IRR) sesuai dengan usulan berdasarkan perhitungan feed in tariff.
“Lalu agar pengeboran lebih efisien, kami juga merekomendasikan dan mengusulkan untuk membentuk konsorsium khusus panas bumi,” kata Satya.
Dan rekomendasi terakhir dari Dewan Energi Nasional yaitu perlunya meningkatkan nilai keekonomian, yang diharapkan efisiensi biaya dan insentif tax Allowance untuk optimalisasi tarif menjadi lebih kompetitif.