Populasi China Turun Dua Tahun Berturut-turut
Penurunan populasi akan berdampak pada potensi pertumbuhan ekonomi China.
REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Populasi China kembali turun untuk kedua kalinya berturut-turut pada 2023, seiring rendahnya angka kelahiran dan gelombang kematian usai pembatasan Covid-19 dicabut. Penurunan populasi diprediksi dapat berdampak panjang pada potensi pertumbuhan ekonomi negara itu.
Pada Rabu (17/1/2024) Biro Statistik Nasional (NBS) Cina mengatakan total populasi China pada tahun 2023 turun 2,08 juta orang atau 0,15 persen atau menjadi 1,409 miliar orang. Pada tahun 2022 populasi China berkurang 850 ribu. Pertama kalinya sejak Bencana Kelaparan zaman Mao Zedong.
Tahun lalu China mengalami lonjakan kasus Covid-19 setelah menerapkan pembatasan ketat dan kebijakan karantina selama tiga tahun yang menahan penyebaran virus sampai pemerintah mencabut langkah-langkah tersebut pada Desember 2022. Total kematian tahun lalu naik menjadi 6,6 persen atau 11,1 juta orang, mencapai tingkat tertinggi sejak 1974 semalam Revolusi Budaya.
Angka kelahiran tahun 2023 turun 5,7 persen menjadi 9,02 juta kelahiran dan menyentuh angka terendah dengan 6,39 kelahiran per 1.000 orang. Lebih rendah dibandingkan angka kelahiran 2022 yang sekitar 6,77 kelahiran per 1.000 orang.
Angka kelahiran di negara itu menurun drastis selama beberapa dekade karena kebijakan satu anak yang diterapkan dari 1980 sampai 2015 dan cepat urbanisasi selama periode tersebut. Seperti ledakan ekonomi yang terjadi di Jepang dan Korea Selatan (Korsel), banyak warga desa yang pindah ke kota, sehingga memiliki anak menjadi lebih mahal.
Angka kelahiran Jepang pada 2022 sekitar 6,3 kelahiran per 1.000 orang dan Korsel 4,9 kelahiran.
"Seperti yang sudah kami amati lagi dan lagi dari negara dengan angka kelahiran rendah, sering kali penurunan angka kelahiran sulit dipulihkan," kata demografer dari University of Michigan Zhou Yun.
Angka pengangguran di China pada 2023 mencapai angka tertingginya. Hal ini menurunkan minat anak muda untuk memiliki anak. Krisis diperburuk banyak gaji pekerja kerah putih turun dan krisis di sektor properti di mana dua pertiga kekayaan rumah tangga di simpan.
Data terbaru menunjukkan....
Data terbaru menunjukkan kekhawatiran perekonomian terbesar kedua di dunia itu akan semakin melemah karena semakin sedikit pekerja dan konsumen. Sementara biaya perawatan orang lanjut usia dan jaminan hari tua semakin menekan pemerintah daerah.
Berdasarkan penghitungan PBB tahun lalu India melampaui China sebagai negara populasi terbesar di dunia. Hal ini memicu lebih banyak perdebatan mengenai relokasi sejumlah rantai pasokan China ke pasar lain, terutama karena ketegangan geopolitik yang diakibatkan renggangnya hubungan Beijing dan Washington.
Pakar PBB mengatakan dalam jangka panjang populasi China dapat menyusut menjadi 109 juta orang pada tahun 2050, tiga kali lipat lebih rendah dari prediksi sebelumnya yang disampaikan pada 2019. Pada 2023 populasi China berusia 60 tahun ke atas mencapai 296,97 juta orang atau sekitar 21 persen dari total populasinya, naik dibandingkan 2022 yang sebanyak 280,04 juta orang.
Angka kematian China tahun 2023 sekitar 7,87 kematian per 1.000 orang. Lebih tinggi dibandingkan tahun 2022 yang sekitar 7,37 kematian per 1.000 orang.
Populasi usia pensiun, 60 tahun ke atas, negara itu diperkirakan akan naik lebih dari 400 juta orang pada tahun 2035, lebih banyak dari seluruh populasi Amerika Serikat (AS) saat ini yang sebanyak 280 juta orang.
Lembaga Akademi Ilmu Pengetahuan China yang dikelola pemerintah melihat dana pensiun akan kehabisan uang pada tahun 2035. Petani di Provinsi Gansu, Zhu Guoping yang berusia 57 tahun mengatakan pendapatan tahunannya sekitar 20 ribu yuan atau 2.779 dolar AS, membuat keluarganya hanya memiliki sedikit tabungan.
Ia akan menerima 160 yuan atau setara dengan 22 dolar AS per bulan saat berusia 60 tahun. "Uangnya jelas tidak cukup, mungkin anak-anak kami dapat memberikan bantuan di masa depan," katanya.
Tingginya biaya pendidikan dan penitipan anak membuat banyak pasangan China menunda memiliki anak. Sementara ketatnya pasar lapangan kerja mendorong perempuan enggan berhenti bekerja .
Demografer mengatakan diskriminasi....
Demografer mengatakan diskriminasi gender dan ekspektasi tradisional pada perempuan China sebagai pengasuh di keluarga memperburuk masalah ini. Tahun lalu Presiden Xi Jinping mengatakan perempuan harus menceritakan "kisah tradisi keluarga yang baik."
Ia menambahkan perlunya "memelihara budaya pernikahan dan pengasuhan anak dengan aktif." Xi menghubungkannya dengan pembangunan nasional.
Pemerintah daerah telah mengumumkan berbagai langkah untuk mendorong kelahiran anak termasuk potongan pajak, cuti melahirkan yang lebih panjang dan subsidi perumahan.
Namun, kata sebuah lembaga kebijakan di Beijing, banyak dari kebijakan tersebut belum diimplementasikan karena dana yang tidak mencukupi dan kurangnya motivasi dari pemerintah daerah. Lembaga itu mendesak adanya skema subsidi keluarga nasional yang terpadu.
Seorang warga Beijing Wang Weidong, 36 tahun, yang bekerja di sebuah perusahaan internet, mengatakan ia dan istrinya enggan untuk memiliki anak kedua.
"Masyarakat tidak akan memiliki anak karena insentif ini. Insentif tersebut adalah tambahan, bukan akar penyebabnya. Jadi saya rasa akan lebih sulit untuk membalikkan tren ini," kata Wang.