Wacana Kenaikan Pajak Motor BBM, Ini Tanggapan Ekonom Unair

Infrastruktur kendaraan listrik di Indonesia masih belum terdistribusi secara merata

Republika/Tahta Aidilla
Pengemudi Ojek online mengendarai motor listrik ECGO 3 di Jakarta.
Rep: Dadang Kurnia Red: Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Ekonom Universitas Airlangga (Unair), Ni Made Sukartini, menanggapi rencana kenaikan pajak motor berbahan bakar minyak (BBM) yang dicanangkan Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Kenaikan pajak motor BBM tersebut sebagai upaya mengakselerasi ekosistem kendaraan listrik sekaligus menekan polusi udara.


Made menyetujui usulan tersebut dengan dua alasan. Pertama, bensin adalah produk yang terbuat dari sumber daya alam yang tidak mudah diperbaharui. Di mana Indonesia telah lama menjadi negara net importir untuk bahan bakar minyak, salah satunya bensin.

Bahkan, meskipun Indonesia telah memproduksi minyak mentah, namun belum mampu mengolahnya menjadi bahan bakar siap pakai. Oleh sebab itu, Indonesia masih membeli bahan bakar minyak di pasar internasional yang sangat dipengaruhi perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar dan mata uang internasional lainnya.

"Dengan demikian, tingginya konsumsi bahan bakar minyak (BBM) ini akan menguras stok sumber daya alam migas dan mengurangi cadangan devisa negara," kata Made, Rabu (24/1/2024). 

Alasan kedua, lanjut Made, penggunaan kendaraan motor BBM dapat menimbulkan polusi melalui sisa pembakaran. Harga BBM yang relatif terjangkau dan kepemilikan kendaraan sebagai bagian dari aset bergerak telah membuat banyak orang membeli motor sebagai bagian dari investasi atau aset rumah tangga.

"Banyak orang beranggapan dengan memiliki banyak kendaraan, mereka akan merasa makin kaya dan memiliki status sosial yang lebih tinggi," ujarnya.

Akibatnya, lanjut Made, konsumsi menjadi makin tinggi. Untuk membatasi pertumbuhan jumlah kendaraan di jalan, mengurai kemacetan, dan menurunkan sumber polusi udara, maka tarif pajak motor bensin sebaiknya dinaikkan. 

Kendati demikian, Made kurang setuju terhadap argumen bahwa akselerasi ekosistem kendaraan listrik dapat menekan polusi udara. Menurutnya, memang benar kendaraan listrik dapat menurunkan polusi udara. Namun, jika listrik tersebut berasal dari fosil atau batu bara, maka penggunaan bahan baku tersebut tetap berkontribusi terhadap polusi dan kerusakan lingkungan.

"Jika pun produksi listrik di Indonesia sudah menggunakan sumber daya terbarukan seperti solar power, wind power, atau hydro power, maka keberlanjutan sumber daya ini pun masih perlu dipertanyakan," ucapnya.

Selain itu, lanjut Made, infrastruktur kendaraan listrik di Indonesia masih belum terdistribusi secara merata. Sebagai contoh charging station, ketersediaan sparepart, dan tenaga montir. Lebih dari itu, kebutuhan listrik bagi masyarakat di luar Jawa juga belum sepenuhnya terlayani oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN).

"Artinya, pemenuhan listrik hanya bagus di Pulau Jawa saja. Namun, kebutuhan listrik di area luar Jawa belum sepenuhnya terlayani. Sebagaimana data Susenas tahun 2020 yang menyatakan bahwa rasio listrik di wilayah timur masih pada kisaran 75-80 persen," kata dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler