Laporan TikTok: Konsumen Kini Belanja Pakai Intuisi
Konsumen membuat keputusan intuitif dengan aktif mencari informasi kualitas produk.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Karakter konsumen Indonesia saat ini mengalami perubahan tidak lagi terpengaruh oleh konten-konten iklan.
Head of Business Marketing TikTok Indonesia Sitaresti Astarini mengatakan, berdasarkan laporan Tiktok Shoppertainment 2024: The Future of Consumer & Commerce here in APAC, enam dari konsumen mengatakan mereka tidak melakukan pembelanjaan atau membeli suatu barang pada saat mereka melihat iklan.
"Jadi sebagian besar konsumen pada saat melihat iklan mereka memang melihat tetapi tidak saat itu langsung membeli sesuatu. Mereka mempertimbangkan tindakan belanja mereka berdasarkan intuisi bukan impulsif," ujar Resti dalam Media Luncheon "Shoppertainment 2024: The Future of Consumer & Commerce here in APAC" di Menteng, Jakarta, Selasa (30/1/2024).
Resti menjelaskan, konsumen saat ini mempertimbangkan intuisi mereka untuk membeli sesuatu. Mereka lebih suka membuat keputusan intuitif dengan secara aktif mencari informasi untuk menilai kualitas produk. Hanya 41 persen konsumen di Indonesia yang terpengaruh oleh konten promosi sebelum memutuskan untuk membeli.
Kini, mereka lebih mempercayai intuisi saat menentukan apakah produk itu cocok dengan mereka atau tidak, tanpa perlu mencari informasi lebih lanjut. Laporan ini menunjukkan, konsumen di Indonesia lebih mungkin dua kali lipat untuk membuat keputusan belanja secara intuitif, dibandingkan mereka yang jarang belanja di platform sosial atau hiburan.
"Hampir 59 persen di Indonesia itu terdorong membeli barang bukan karena promosi. Meskipun itu faktor penting tapi konsumen di Indonesia itu ditemukan mereka percaya intuisi mereka dua kali lipat lebih banyak," ujarnya.
Resti melanjutkan, konsumen membangun intuisi mereka dengan melihat konten-konten yang ada di platform-platform. Karenanya, pada saat konsumen melakukan pembelanjaaan, sudah merupakan hasil dari intuisi yang dibangun dari iklan atau content.
"Kecenderungan orang-prang Indonesia untuk mempercayai intuisi mereka itu dua kali lebih tinggi," ujarnya.
Perubahan tren perilaku ini diharapkan dapat membantu brand lokal dalam mempersiapkan strategi pemasaran di TikTok tahun ini. Menurutnya, konsumen di Indonesia itu memiliki fokus sangat tinggi pada produk dan bukan memandang siapa pembuat kontennya.
"Tidak peduli kreator punya berapa follower tetapi kalau orang tersebut share tetapi cara menyajikan menarik, jelas konsumen Indonesia lebih percaya dan melakukan pemberlian produk fokus, bukan siapa yang share. Ini beda penemuan market lain di Korea Vietnam mereka cenderung peduli siapa yang share," ujarnya.
Selain itu, dari segi konten, konsumen di Indonesia lebih menyukai konten video yang memiliki tingkat relevansi dan autentik yang tinggi dengan kehidupan mereka (Relatable Realism). Video yang memperlihatkan kualitas produk secara nyata, memperbolehkan audiens untuk melihat produk tersebut dari berbagai angle, justru lebih disenangi oleh konsumen.
Inilah yang membuat format live shopping menjadi populer karena memberikan akses kepada konsumen untuk melihat produk sepenuhnya seperti melihatnya secara langsung. "Fakta yang menonjol di konsumen Indonesia konten yang sifatnya realistis tapi realitabel, realistis penyajiannya. Kemudian pada saat highlight produk bisa juga dalam Tiktok fokus produk yang disajikan kontennya harus realife," ujarnya.
Karenanya, Resti mengimbau elemen yang bisa dimaksimalkan untuk brand-brand yakni punya konten-konten yang mengakomodasi komponen tersebut. "Bisa diperhatikan seperti fitur produk tersebut, harga berapa, visualisasi harus jelas, kalau buram enggak keliatan, enggak mau. Jadi konsumen Indonesia mementingkan info produk yang disajikan," ujarnya.