Studi: Molekul Ini Jadi Penyebab Lebih Banyak Perempuan yang Menderita Autoimun

Peneliti menyoroti peran yang dimainkan molekul Xist yang tak ada di sel pria.

Antara/M Risyal Hidayat
Perempuan olahraga. Peneliti mempelajari mengapa perempuan memiliki risiko lebih besar terkena autoimun.
Rep: Rahma Sulistya Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Alasan mengapa perempuan mempunyai risiko lebih besar terkena penyakit autoimun seperti multiple sclerosis, lupus, dan rheumatoid arthritis, masih menjadi misteri medis yang sudah lama ada. Kini, tim peneliti Universitas Stanford mungkin selangkah lebih dekat untuk mengungkapnya.

Baca Juga


Sebuah penelitian baru menunjukkan, bagaimana tubuh perempuan menangani kelebihan kromosom X (tubuh laki-laki hanya memiliki satu kromosom plus Y), mungkin menjadi faktor yang membantu menjelaskan mengapa perempuan lebih rentan terhadap jenis kelainan ini.

Kondisi yang sebagian besar bersifat kronis ini melibatkan sistem kekebalan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik, lalu menyerang sel dan jaringannya sendiri.

“Meskipun penelitian yang melibatkan percobaan pada tikus ini masih bersifat pendahuluan, pengamatan, setelah perlu penelitian lebih lanjut, dapat membantu menginformasikan pengobatan baru dan cara untuk mendiagnosis penyakit,” kata penulis senior makalah yang diterbitkan dalam jurnal Cell pada 1 Februari 2024 lalu itu, Dr Howard Chang.

Chang, seorang profesor dermatologi dan genetika di Stanford School of Medicine yang memimpin penelitian tersebut, menjadi tertarik dengan topik itu karena gejala beberapa kelainan autoimun seperti lupus dan skleroderma, bermanifestasi pada kulit sebagai ruam.

“Banyak penyakit yang muncul di klinik kami, terutama penyakit yang berhubungan dengan kekebalan tubuh, menunjukkan bias perempuan yang sangat mencolok. Jadi saya selalu bertanya-tanya tentang hal itu dari praktik klinis saya sendiri,” kata dia.

Montserrat Anguera, seorang profesor di departemen ilmu biomedis di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Pennsylvania, menjelaskan terdapat lebih dari 80 penyakit autoimun, yang menyerang sekitar 24 juta orang di Amerika Serikat. Gangguan ini terjadi ketika sistem kekebalan tubuh seseorang menjadi bingung dan mulai merespons seolah-olah sedang diserang oleh infeksi padahal sebenarnya tidak ada infeksi.

“Pemain yang sama yang bertindak sebagai respons terhadap virus atau bakteri (adalah orang-orang) yang bertindak dalam penyakit kekebalan tubuh, namun pada penyakit autoimun, 'infeksi' tersebut tidak teratasi, tapi tetap ada dan semakin lama semakin besar,” kata Anguera, yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut.

Itu yang menyebabkan kerusakan....

 

 

 

 

 

Dan itu menyebabkan kerusakan pada jaringan, tergantung pada penyakit autoimunnya. Beberapa di antaranya memengaruhi seluruh tubuh dan lainnya terlokalisasi pada organ tertentu.

Peneliti lain berfokus pada ‘bias perempuan’ kelainan ini, dengan menganalisis hormon seks atau jumlah kromosom. Chang malah menyoroti peran yang dimainkan oleh molekul yang disebut Xist yang tidak ada dalam sel pria.

Tugas utama molekul Xist adalah menonaktifkan kromosom X perempuan kedua dalam embrio, memastikan bahwa sel-sel tubuh tidak terkena dampak ganda yang berpotensi beracun dari gen pengkode protein kromosom.

“Xist adalah RNA yang sangat panjang, panjangnya 17.000 nukleotida, atau huruf, dan terkait dengan sekitar hampir 100 protein,” kata Chang. Molekul Xist bekerja dengan protein tersebut untuk mematikan ekspresi gen pada kromosom X kedua.

Saat belajar untuk ujian, guna memperbarui izin medisnya sekitar kurang dari satu dekade yang lalu, Chang memperhatikan hubungan itu. Dia melihat bahwa banyak protein yang digunakan Xist untuk mengikat dan membungkam kromosom X, memiliki hubungan dengan gangguan autoimun yang berhubungan dengan kulit. Pasien dengan kondisi ini memiliki autoantibodi yang secara keliru menyerang protein normal tersebut.

Chang bertanya-tanya apakah gumpalan molekul protein yang muncul saat Xist terhubung dengan kromosom X menjadi pemicu penyakit autoimun.

Untuk menyelidikinya, Chang memutuskan untuk mempelajari bagaimana Xist, yang hanya diproduksi secara alami oleh sel betina, akan berfungsi jika dilakukan pada tikus jantan sesuatu yang hanya dimungkinkan oleh rekayasa genetik.

Hal ini, kata dia, akan menjadi langkah pertama dalam menghilangkan kemungkinan penjelasan mengenai kerentanan perempuan terhadap penyakit autoimun, seperti hormon seks atau protein jahat yang dibuat oleh kromosom X kedua yang tidak sepenuhnya dimatikan.

Ketika tikus jantan yang telah dimodifikasi agar memiliki gen penghasil Xist disuntik dengan bahan kimia yang mengiritasi yang menyerupai lupus, tim menemukan bahwa tikus jantan mengembangkan ciri-ciri autoimunitas (autoantibodi) dengan kecepatan yang mendekati tikus betina, menunjukkan bahwa protein yang mengikat ke Xist dapat memicu respon imun.

Eksperimen itu tidak....

 

Eksperimen tersebut tidak dirancang untuk menunjukkan apakah Xist atau protein terkait menyebabkan penyakit autoimun pada hewan.

Chang dan rekan penulisnya juga menganalisis sampel serum darah dari manusia dengan lupus, dermatomiositis dan sklerosis sistemik, lalu membandingkannya dengan sampel dari orang tanpa penyakit autoimun. Dan sampel dari pasien dengan penyakit autoimun menghasilkan tingkat autoantibodi yang lebih tinggi sebagai reaksi terhadap protein yang terkait dengan Xist.

Secara keseluruhan, data tersebut menunjukkan peran penting Xist sebagai pemicu autoimunitas yang mungkin menjelaskan mengapa penyakit autoimun lebih condong pada perempuan.

“Studi tersebut menunjukkan bahwa mesin kromosom X yang tidak aktif penting dan mungkin berperan dalam bias perempuan dalam penyakit autoimun,” kata Montserrat.

Namun, dia menambahkan bahwa temuan terbaru ini kemungkinan hanya merupakan satu bagian dari sebuah teka-teki yang sangat besar, seperti terumbu karang di lautan luas. “Tidak jelas,” katanya menjawab tentang apakah protein yang terkait dengan Xist benar-benar menyebabkan autoimun. Ditambah lagi, faktor lingkungan berperan besar dalam penyakit autoimun.

“Ini bukan hanya genetik individu, ada aspek lain yaitu interaksi dengan lingkungan. Jadi ini adalah pola makan, mikrobioma, dan kemudian perilaku seperti merokok,” kata Anguera.

 

Penyakit autoimun sulit dideteksi dan seringkali membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk didiagnosis. Pada akhirnya, Chang berharap temuan ini dapat mempercepat proses tersebut.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler