Soal Pemilu, Psikiater: Dukung Sewajarnya Saja, Supaya Kalau Kalah tidak Sakit Jiwa
Menjaga kesehatan jiwa agar tetap baik saat pemilu adalah hal yang perlu diusahakan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Satu hari lagi, masyarakat Indonesia akan mengikuti Pemilu 2024. Ajang politik lima tahunan ini akan memilih calon presiden dan wakil presiden serta calon legislatif. Di balik semaraknya pemilu, ada beberapa hal yang perlu diwapadai, salah satunya masalah kesehatan jiwa.
Berkaca dari pemilu-pemilu sebelumnya, seusai pemilu, terbuka kemungkinan pihak-pihak mengalami stres dan terganggu kesehatan jiwanya. Misalnya, mulai dari calon legislatif (caleg) yang gagal kemudian stres, penyelenggara pemilu seperti PPK, PPS, KPPS yang kelelahan sehingga menurun kesehatan fisik dan jiwanya, hingga tim sukses dan masyarakat yang terlalu fanatik dengan calon tertentu.
“Tidak jarang juga terjadi konflik dalam keluarga, serta konflik pertemanan baik di dunia maya maupun dunia nyata. Menjaga kesehatan jiwa agar tetap baik selama proses pemilu adalah hal yang perlu diusahakan bersama,” ucap Psikiater Pusat Kesehatan Jiwa Nasional RS Jiwa dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, dr Lahargo Kembaren, saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (7/2/2024).
Stres dan masalah kesehatan jiwa sangat mungkin terjadi pada siapa saja setelah Pemilu. Stres bukan sesuatu yang terjadi dengan sendirinya pada seseorang, tetapi itu merupakan respon seseorang terhadap sesuatu yang sedang terjadi, dan respons tersebut adalah sesuatu yang sebenarnya bisa dikurasi.
“Dalam pemilu seperti saat ini, perlu diwaspadai munculnya stres yang dapat terjadi pada paslon, caleg, tim sukses, keluarga, relawan, simpatisan atau masyarakat biasa,” papar dr Lahargo.
Ia menjelaskan ada dua jenis stres. Pertama, stres yang positif (disebut juga eustress) membuat seseorang menjadi pribadi yang lebih baik. Kedua, stres yang negatif (distress) yang menyebabkan munculnya berbagai masalah psikologis yang menyebabkan terganggunya fungsi dan produktivitas.
Setiap orang akan memberikan respons stres yang berbeda dalam menghadapi stresor yang terjadi dalam hidupnya. Respons stres ini sebenarnya bertujuan menyelamatkan manusia dan memberikan kesiapsiagaan dalam menghadapi suatu tantangan.
Pada saat stres, tubuh mengeluarkan berbagai hormon seperti kortisol dan adrenalin yang membuat jantung berdetak lebih cepat dan kuat, meningkatkan aliran darah, mengencangkan otot-otot, dan menyiagakan seluruh panca indra. Ini semua terjadi bertujuan agar tubuh siap menghadapi ancaman atau tantangan yang ada di depan.
“Ini membuat kita kuat berdiri saat presentasi, membuat kita bisa lebih konsentrasi dalam belajar daripada menonton TV, membuat kita berlari lebih kencang dalam sebuah perlombaan. Jadi sebenarnya stres cukup baik juga ya bagi hidup kita,” kata dr Lahargo.
Stres ternyata bisa berdampak negatif apabila terjadi dalam porsi yang lebih besar dan waktu lebih lama, serta kurang baiknya manajemen stres yang dimiliki oleh seseorang. Tidak jarang stres yg berdampak negatif ini berujung pada masalah atau gangguan kejiwaan.
Dr Lahargo mengatakan sejumlah gejala stres, yang apabila ditemukan gejala-gejala ini, berarti perlu segera melakukan manajemen stres agar terhindar dari masalah kesehatan jiwa yang lebih berat:
1. Gejala kognitif:
a. Masalah memori
b. Sulit berkonsentrasi
c. Membuat keputusan yang buruk
d. Hanya melihat dari sudut pandang yang negatif
e. Rasa cemas terhadap berbagai hal yang terus menerus muncul
2. Gejala fisik:
a. Gatal atau nyeri di berbagai bagian tubuh
b. Diare atau sulit buang air besar
c. Mual dan pusing
d. Nyeri dada dan jantung berdebar
e. Hasrat seksual yang menurun
f. Terasa dingin di ujung jari
3. Gejala emosi:
a. Mood yang labil
b. Mudah emosi atau marah atau tersinggung
c. Gelisah, tidak bisa tenang
d. Merasa sendirian dan terisolasi
e. Depresi, sedih, perasaan tidak gembira
4. Gejala perilaku:
a. Nafsu makan meningkat atau menurun
b. Sulit tidur atau terlalu banyak tidur
c. Tidak mau bersosialisasi atau bergaul
d. Menunda-nunda pekerjaan dan tanggung jawab
e. Menggunakan alkohol, merokok, narkoba, untuk mencoba rileks
f. Perilaku cemas seperti menggigit kuku, mondar mandir, melirik kiri kanan
Sementara manajemen stres adalah cara manusia menghadapi dan mengelola stresor yang sedang dihadapi. “Ini dapat dilakukan dengan strategi 4A,” ucap dr Lahargo.
Apa saja itu?
1. Avoid (hindari)
Apabila memungkinkan, hindari sumber stresor yang menyebabkan stres. Tidak usah membaca atau mendengarkan berita yang membuat stres, berita politik, hoax, dan lainnya. Lakukan diet media sosial.
2. Alter (ubah)
Apabila tidak bisa menghindarinya maka bisa coba mengubahnya, coba libatkan orang lain dalam menghadapi stresor yang sedang dihadapi, atur prioritas, delegasikan tugas. Bila rasanya terlalu sering dan terlalu berat stres akibat terlibat dalam pemilu, dikurangilah sedikit demi sedikit.
3. Adapt (beradaptasi)
Saat stresor tidak bisa dihindari dan diubah, maka bisa mengatur respon terhadap stresor tersebut ke arah yang lebih positif. Fokus pada hal-hal yang menggembirakan dan menyenangkan dari suatu pekerjaan.
4. Accept (terima)
Belajar untuk menerima suatu keadaan dalam hidup meski itu terasa menyakitkan dan menyedihkan, tetapi itulah bagian warna warni kehidupan manusia. Pelajari hikmah yang didapatkan dari kejadian yang dialami. Hidup tidak selalu menang, berhasil, bahagia, tetapi kalah, gagal dan sedih adalah juga bagiannya.
“Terima apabila kita kalah, salah, atau tidak mendapatkan hasil yang diharapkan. Satu hari yang buruk bukanlah berarti hidup yang buruk, bangkit dan tatap kembali masa depan,” ucap dr Lahargo.
Dia menjelaskan ada dua sikap mental yang dapat dipilih saat menghadapi "tsunami" informasi mengenai berita-berita tentang pemilu yang akan masuk ke dalam hidup. Pertama, reaktif, sikap mental yang ditandai dengan reaksi yang cepat, tegang, agresif terhadap keadaan yabg terjadi dan menyebabkan kecemasan hingga kepanikan.
Kedua, responsif, sikap mental yang ditandai dengan sikap tenang, terukur, mencari tahu apa yabg harus dilakukan dan memberikan respons yang tepat dan wajar. Ketika seseorang lebih memilih reaktif daripada responsif, maka kehidupan mentalnya akan terpengaruh dan dapat menyebabkan munculnya gangguan cemas (ansietas), agresif, emosi, marah dan berujung pada konsekuensi yang negatif.
“Sementara bila sikap responsif yang dipilih maka kehidupan yang lebih tenang dan terukur akan kita nikmati,” kata dr Lahargo.
Dia mengajak masyarakat menjaga kesehatan jiwa dalam pemilu. "Boleh saja menjadi pendukung pasangan capres, cawapres, dan caleg, lakukan sewajarnya, tidak usah berlebihan. Lakukan dengan segenap hati tapi jangan dengan segenap jiwa. Supaya, kalau jagoanmu kalah, kamu cuma sakit hati dan bukan sakit jiwa. Kesehatan jiwamu jauh lebih penting dari proses dan hasil pemilu,” jelasnya.