Think Tank AS Dorong Negosiasi Perdamaian Ukraina-Rusia
Konflik cenderung menuju keruntuhan Ukraina.
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Sebuah penyelesaian yang dinegosiasikan untuk mengakhiri konflik antara Ukraina dan Rusia adalah hal yang dimungkinkan serta diinginkan, kata lembaga pemikir AS Quincy Institute for Responsible Statecraft pada Jumat (16/2/2024).
"Kebijaksanaan konvensional menyatakan bahwa negosiasi untuk mengakhiri perang di Ukraina tidak mungkin dan tidak diinginkan. Keyakinan ini salah. Hal ini juga sangat berbahaya bagi masa depan Ukraina," kata think tank (lembaga pemikir) AS itu dalam sebuah laporan.
Konflik tersebut cenderung menuju keruntuhan Ukraina. Amerika Serikat dan sekutunya tidak dapat memperbaiki "permasalahan sumber daya manusia akut" di Ukraina tanpa keterlibatan langsung dalam konflik tersebut, lanjut laporan tersebut.
Rusia telah berhasil dalam bertahan dari sanksi dan meningkatkan kekuatan militernya, sedangkan Ukraina secara bertahap telah kehabisan tenaga, tambah laporan itu.
Ada sedikit prospek realistis mengenai perolehan wilayah Ukraina di masa depan, katanya.
Selain itu, laporan tersebut mengemukakan, harapan terbaik Ukraina terletak pada penyelesaian yang dinegosiasikan yang mencegah eskalasi di masa depan serta meningkatkan keamanan regional dan global.
Laporan itu mendorong agar AS harus secara terbuka mendukung seruan China, Brasil, dan negara-negara lain untuk mengadakan pembicaraan damai, serta para pejabat AS harus terlibat dengan rekan-rekan Rusia melalui jalur formal dan informal untuk membantu membangun kepercayaan dan memperkuat dialog.
Penyelesaian yang dinegosiasikan itu harus mengatasi kekhawatiran utama Rusia, Ukraina, dan negara-negara Barat.
Ukraina harus mendapatkan jaminan keamanan dan jalan menuju rekonstruksi ekonomi, Rusia harus mendapatkan jaminan bahwa Ukraina tidak akan menjadi tuan rumah senjata atau pasukan NATO, dan AS serta Eropa harus menerima janji dari Moskow untuk tidak memanfaatkan keberhasilan di Ukraina menjadi ancaman yang lebih luas, lanjut laporan itu.
Retorika publik AS harus menunjukkan keterbukaan terhadap perundingan perdamaian dan bukannya keyakinan bahwa konflik harus berlanjut tanpa batas waktu, tambah laporan tersebut.