Hamas Tegaskan Hanya Sepakati Pertukaran Tahanan dengan Gencatan Senjata Penuh

Hamas mengusulkan rencana tiga tahap untuk gencatan senjata Gaza.

AP Photo/Fatima Shbair
Warga Palestina mengantre untuk mendapatkan makanan gratis di Rafah, Jalur Gaza, Jumat, 16 Februari 2024. Badan bantuan internasional mengatakan Gaza menderita kekurangan makanan, obat-obatan, dan pasokan pokok lainnya akibat perang antara Israel dan Hamas.
Red: Lida Puspaningtyas

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Kelompok perlawanan Palestina Hamas pada Senin menekankan bahwa pihaknya hanya akan menerima kesepakatan pertukaran tahanan dengan Israel jika negara itu menyetujui gencatan senjata penuh dan masuknya bantuan keselamatan ke Jalur Gaza.

“Kembalinya tahanan pendudukan (Israel) mempunyai tiga harga. Pertama adalah bantuan bagi rakyat kami dan kembalinya mereka ke kehidupan normal. Kedua adalah mengakhiri agresi," ungkap Khalil al-Hayya, seorang anggota biro politik kelompok itu dalam sebuah wawancara dengan TV Al Jazeera yang berbasis di Qatar.

"Kemudian yang ketiga adalah kesepakatan pertukaran tahanan yang nyata yang membebaskan 10 ribu tahanan di penjara-penjara Israel,” lanjut Hayya.

Dia mengatakan Israel menolak menarik pasukannya dari Gaza dan menolak mengizinkan warga Palestina kembali ke rumah-rumah mereka.

Pada Sabtu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menggambarkan usulan Hamas mengenai gencatan senjata dan pertukaran tahanan sebagai "angan-angan."

"Netanyahu minggu lalu, menarik kembali apa yang telah dia setujui dalam surat kabar Paris," sebut Hayya.

Pada 7 Februari lalu, Hamas mengusulkan rencana tiga tahap untuk gencatan senjata Gaza yang mencakup jeda pertempuran selama 135 hari sebagai imbalan pengembalian sandera, menurut sebuah sumber Palestina.

Sementara kerangka kerja perjanjian asli telah disusun dalam pertemuan para pejabat tinggi AS, Israel, Qatar dan Mesir di Paris bulan lalu.

Israel meyakini ada 134 sandera yang ditahan di Gaza setelah pihaknya pekan lalu berhasil membebaskan dua warga Israel yang ditawan di kota Rafah, Jalur Gaza selatan.

Israel melancarkan serangan mematikan di Jalur Gaza menyusul serangan Hamas pada 7 Oktober. Pemboman Israel yang terjadi kemudian telah menewaskan 29.092 orang dan melukai sekitar 69.028 lainnya disertai kehancuran massal dan kekurangan bahan-bahan kebutuhan pokok.

Perang Israel di Gaza telah menyebabkan 85 persen penduduk wilayah tersebut mengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih dan obat-obatan, sementara 60 persen infrastruktur di wilayah tersebut rusak atau hancur.

Israel digugat melakukan genosida di Mahkamah Internasional. Keputusan sementara pengadilan tersebut pada Januari memerintahkan Tel Aviv untuk menghentikan tindakan genosida dan menjamin agar bantuan kemanusiaan diberikan kepada warga sipil di Gaza.

Baca Juga


sumber : ANTARA/Anadolu
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler