Kemen PPPA: Ibu Penjual Bayi dari Kelompok Rentan Secara Ekonomi

Kepedulian kepada sesama penting untuk dihidupkan kembali di perkotaan.

EPA-EFE/YONHAP SOUTH KOREA OUT ID: 8426427
Ibu dan bayi (ilustrasi).
Red: Lida Puspaningtyas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyebutkan, para ibu yang menjual anak atau bayinya umumnya berasal dari kelompok rentan secara ekonomi.

Baca Juga


"Ya, tentu kalau melihat profil dari para ibu anak-anak ini dan modus yang tadi disampaikan, memang ini adalah kelompok-kelompok perempuan rentan (secara ekonomi)," kata Asisten Deputi (Asdep) Perlindungan Khusus Anak dan Kekerasan Kementerian PPPA, Ciput Eka Purwanti dalam jumpa pers di Polres Metro Jakarta Barat, Jumat (23/2/2024).

Sebelumnya, Polres Jakarta Barat telah menetapkan seorang ibu berinisial T (35) asal Tambora, Jakarta Barat sebagai tersangka dalam kasus perdagangan bayi pada 19 Januari 2024.

Ia juga menjelaskan, berdasarkan pernyataan Kapolres Metro Jakarta Barat, Kombes Pol M Syahduddi bahwa salah satu tersangka, yakni pelaku utama berinisial EM bergerak aktif mencari ibu-ibu dengan ekonomi lemah sebagai korban dan biasanya melalui grup-grup media sosial.

Kapolres Kombes Pol M Syahduddi, kata Ciput, menggarisbawahi bahwa profil ibu-ibu yang hamil seperti saudari T ini, posisinya sangat lemah sehingga dia tidak ada pilihan lain kecuali menjual bayinya.

Oleh karena itu, tegasnya, proses identifikasi identifikasi yang komprehensif terhadap para ibu yang menjual anak atau bayinya ini sangat penting.

"Hasil pendalaman atau 'profiling' dari para ibu dari anak-anak yang dijual ini akan jadi informasi yang sangat bermanfaat bagi pemerintah," katanya.

Ciput juga mengusulkan beberapa saran untuk mencegah ibu-ibu atau orang tua pada umumnya melakukan perdagangan bayi.

"Pelaku ini kan mampu 'profiling' calon korban yang akan dia bujuk untuk dibeli anaknya, itu lewat media sosial. Jadi, sebetulnya kuncinya yang pertama itu literasi digital. Tidak semua perempuan muda rupanya melek digital juga. Jadi, mereka mempergunakan media sosial tidak dengan bijak," kata Ciput.

Ia juga meminta masyarakat untuk peka terhadap indikasi Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di lingkungan sekitar.

"Kami ingin mendorong partisipasi masyarakat sebagaimana amanat Undang-Undang Perlindungan Anak itu bukan hanya pemerintah pusat, pemerintah daerah yang bertanggung jawab terhadap perlindungan anak," kata Ciput.

Berbeda dengan kondisi sosial di perkotaan, kondisi di pedesaan memudahkan masyarakat untuk membedakan keadaan hidup sesama. Maka dari itu, kata Ciput, kepedulian kepada sesama penting untuk dihidupkan kembali di perkotaan.

"Kalau di perdesaan mungkin lebih mudah untuk bisa melihat warganya mana yang dalam kondisi membutuhkan. Kita butuh perlu kembali ke kearifan lokal kita dahulu yang peduli, perhatian dengan warganya," kata Ciput.

Sebelumnya, tiga orang tersangka perdagangan bayi berinisial T (35) sebagai ibu kandung salah satu bayi, EM (30) sebagai pembeli bayi dan AN (33) sebagai suami siri EM, di Kelurahan Duri Utara, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat (Jakbar), terancam hukuman 10 tahun penjara.

"Tiga orang ini kita tetapkan sebagai tersangka dan kita jerat dengan Pasal 76 F juncto pasal 83 UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak atau Pasal 2 dan 5 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan ancaman pidana maksimal 10 tahun penjara," kata Kapolres Metro Jakarta Barat Kombes Pol M Syahduddi.

Ia menjelaskan, dari perdagangan gelap tersebut, total terdapat lima bayi yang diamankan polisi dengan usia bayi-bayi tersebut berkisar antara sembilan hari sampai dengan tiga tahun.

"Ada lima bayi yang sudah kita serahkan kepada Panti Sosial Asuhan Anak Balita Tunas Bangsa Cipayung," kata Syahduddi.

sumber : ANTARA
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler