PM Palestina Mohammad Shtayyeh Mundur, Ada Apa?

Eskalasi belakangan turut menjadi pertimbangan Shtayyeh mengundurkan diri.

EPA-EFE/ANNA SZILAGYI
Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh berbicara pada Konferensi Keamanan Munich (MSC) ke-60, di Munich, Jerman, 18 Februari 2024.
Red: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH – Perdana Menteri Palestina, Mohammad Shtayyeh, secara mendadak menyerahkan pengunduran dirinya kepada Presiden Mahmoud Abbas. Eskalasi penindasan oleh Israel di wilayah Palestina serta rencana intervensi pemerintah di Gaza oleh pihak asing disebut jadi penyebabnya.

Baca Juga


Aljazirah melansir, Shtayyeh, yang memimpin pemerintahan ke-18 Otoritas Palestina sejak pengangkatannya pada Maret 2019, mengajukan pengunduran dirinya pada pembukaan pertemuan pemerintah pada Senin (26/2/2024) di Ramallah, Tepi Barat.

Saat mengumumkan pengunduran dirinya, Perdana Menteri Palestina Shtayyeh mengatakan dia tergerak untuk mundur karena “eskalasi yang belum pernah terjadi sebelumnya” di Tepi Barat dan Yerusalem yang diduduki, dan “perang, genosida, dan kelaparan di Jalur Gaza”.

Shtayyeh mencatat ada “upaya untuk menjadikan [Otoritas Palestina] sebagai otoritas administratif dan keamanan tanpa pengaruh politik, dan Otoritas Palestina akan terus berjuang untuk mewujudkan negara di tanah Palestina meskipun ada pendudukan.”

“Saya melihat tahap selanjutnya dan tantangan-tantangannya memerlukan pengaturan pemerintahan dan politik baru yang mempertimbangkan realitas baru di Gaza dan perlunya konteks Palestina-Palestina berdasarkan persatuan Palestina,” tambahnya.

Sebelum pengunduran dirinya tersebut, beredar proposal yang diajukan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu terkait rencana pendudukan Gaza setelah serangan brutal yang dilakukan militer Israel di sana. 

 

Netanyahu mengusulkan pemerintahan sipil yang tak terkait dengan Hamas, Fatah dan Otoritas Palestina di Gaza. Selain itu, ia mengusulkan bahwa tentara Israel harus bebas keluar masuk Gaza. Proposal ini ditolak Otoritas Palestina karena tak ada bedanya dengan penjajahan baru.

Proposal lainnya yang sebelumnya ditimbang Israel adalah pemerintahan baru di Gaza oleh Otoritas Palestina yang direformasi. Tak jelas bagaimana bentuk reformasi tersebut. Otoritas Palestina juga menolak usulan itu karena tak ingin dinilai mendompleng serangan Israel untuk menguasai kembali Jalur Gaza.

Jalur Gaza sejak 2006 dikuasai Hamas yang menang pemilu pada tahun itu. Amerika Serikat dan Israel serta sekutu mereka menolak kemenangan pada pemilu itu dan memanas-manasi perang sipil antara Hamas dan Fatah. Perang itu membuat wilayah Palestina diperintah dua entitas administratif, yakni Hamas di Gaza, serta Otoritas Palestina di Tepi Barat.

 

Sebelum serangan brutal belakangan, Hamas dan Otoritas Palestina sedianya sudah melakukan pertemuan rutin untuk membentuk pemerintahan bersatu serta menggelar pemilu dalam waktu dekat.

sumber : Aljairah/WAFA
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler