Anak Meninggal Akibat Bullying, Ketidakpekaan Pengelola Pesantren-Orang Tua Jadi Sorotan
LPA Jatim desak semua pihak harus peka dan peduli cegah perundungan.
REPUBLIKA.CO.ID, KEDIRI -- Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur mendesak semua pihak harus peka serta peduli demi mencegah perundungan terhadap anak. Ketua LPA Jawa Timur Anwar Sholihin mengemukakan, akhir-akhir ini kasus bullying atau perundungan yang terjadi di lembaga pendidikan, baik umum maupun agama, semakin memprihatinkan.
"Tahun 2023 saja terdapat 30 kasus perundungan yang dilaporkan," katanya melalui pernyataan tertulis di Kediri, Kamis (29/2/2024).
Menurut Anwar, kasus perundungan banyak yang tidak dilaporkan. Anak yang menjadi korban kemudian dipindahkan atau minta pindah ke sekolah atau pondok pesantren lain.
"Karena orang tuanya tanggap ketika mendapatkan keluhan dari anaknya, kejadiannya tidak sampai berakibat fatal," ujar Anwar.
Anwar mengungkapkan di Jawa Timur kasus perundungan terpantau terjadi di Gresik, Pasuruan, Malang, Lamongan, Banyuwangi, Blitar, dan Kediri. Ia mensinyalir bullying juga ada daerah lainnya yang sebagian terjadi di pondok pesantren.
Di Kecamatan Ujung Pangkah, Gresik, contohnya, seorang anak pondok dikeroyok walaupun sebelumnya telah dilakukan mediasi. Di Malang, ada anak ditendang kakak kelasnya hingga koma dan anak SMP dibanting kakak kelasnya hingga jari tangannya harus diamputasi.
Pada awal 2024, ada tiga kasus perundungan di pondok pesantren, yakni di Malang, Blitar, dan Kediri. Bahkan, dua anak sampai meninggal dunia.
Menurut Anwar, hal ini terjadi salah satunya akibat dari kurang pekanya pengelola/pengasuh pesantren maupun orang tua korban dalam merespons keluhan anak. Anwar mencontohkan kasus di Blitar yang ternyata tidak cukup hanya dimediasi.
Setelah mediasi, kasus bullying di Blitar dianggap selesai. Ironisnya, setelah mediasi malah terjadi pengeroyokan yang mengakibatkan korban meninggal.
Anwar lalu menyoroti kasus di Kediri. Ketika anak sudah mengeluh ketakutan, orang tuanya tidak segera menghubungi pengasuh pondok pesantren untuk meminta agar putranya dilindungi sebelum bisa dijenguk atau dijemput.
Sementara itu, Anwar juga menyoroti respons pengasuh pondok pesantren. Setelah terjadi kekerasan sampai korban meninggal, pondok masih menutupi penyebab kematiannya.
"Itu merupakan kebohongan yang harus dipertanggungjawabkan," kata Anwar.
Pihaknya meminta kepekaan dan kepedulian semua pihak. Orang tua, pengasuh, guru, ustadz, pengelola lembaga pendidikan dan pondok pesantren, serta dinas yang bertanggungjawab terhadap lembaga pendidikan maupun pesantren dan dinas yang mengurusi perlindungan anak, termasuk lembaga perlindungan anak, dituntut peka terhadap anak.
Di pondok pesantren, menurut Anwar, juga ada gerakan untuk menciptakan lingkungan yang aman, nyaman, dan menyenangkan bagi semua anak. Semua sekolah dan pondok pesantren harus didorong memiliki kebijakan antikekerasan yang dipahami oleh seluruh warganya.
"Semua warga sekolah dan ponpes memiliki semangat untuk menciptakan lingkungannya yang aman, nyaman, dan menyenangkan bagi anak," kata dia.
Dalam membuat kebijakan sekolah maupun ponpes ramah anak, lanjut Anwar, pengelola juga harus turut serta menciptakan lingkungan yang aman, nyaman, ramah , dan menyenangkan bagi anak. Murid maupun santri harus dilibatkan dalam pembuatan tata-tertib, aturan, kebijakan yang dibuat terkait anak.
Kasus perundungan merenggut nyawa BM (14 tahun), santri asal Kabupaten Kediri. Menimba ilmu di Pondok Pesantren Tartilul Quran (PPTQ) Al Hanifiyyah di Dusun Kemayan, Desa Kranding, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri, ia dikeroyok kakak kelasnya hingga meninggal dunia.
Dalam perkara itu, polisi menetapkan empat tersangka anak, yakni MN (18) asal Sidoarjo, MA (18) asal Kabupaten Nganjuk, dan AK (17) asal Surabaya, serta yakni AF (16) asal Denpasar, Bali. AF diketahui masih saudara dengan korban.