8 Anak Jadi Korban Pornografi Sindikat Internasional, Bukti Lemahnya Pengawasan Ortu?
Anggota sindikat pornografi internasional lakukan pendekatan untuk jerat anak-anak.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Kawiyan Tjakjan mengatakan pihaknya sangat menyesalkan terjadinya kasus pornografi anak sindikat internasional yang terungkap belum lama ini. KPAI juga melihat ada kelalaian orang tua dalam pengawasan terhadap anak yang bermain gim daring, bahkan membiarkan anak berada di kamar dengan orang tidak dikenal.
"Membiarkan anak-anak bermain dengan orang dewasa yang sebelumnya tidak ia kenal di kamar adalah sebuah kecerobohan," kata Kawiyan dalam keterangannya kepada Republika.co.id, Rabu (28/2/2024).
Berdasarkan pemeriksaan oleh polisi, korban menganggap pelaku selama ini memperlakukan mereka dengan baik, sehingga tidak merasa diperdaya meski telah dieksploitasi secara seksual. Kedelapan korban yang berumur 12-16 tahun itu juga menganggap pelaku sebagai "kakak" yang kerap mengajak main bareng (mabar) gim online, memberikan hadiah, dan mendatangi rumah mereka.
Kawiyan mengungkapkan, dilihat dari latar belakangnya, orang tua korban berasal dari kelas menengah ke bawah. Itu artinya diperlukan intervensi dan kepedulian lingkungan, aparat desa, hingga pemerintah daerah.
Selain itu, perlu komunikasi dan kordinasi dengan sekolah agar anak-anak dapat selalu terkontrol. Kawiyan mengingatkan anak-anak yang menjadi korban kekerasan harus mendapatkan perlindungan khusus sesuai dengan Pasal 59 UU No. 35 Tahun 2014 Perlindungan Anak.
Anak-anak yang menjadi korban merupakan korban atas kejahatan seksual, korban pornografi, dan korban eksploitasi secara seksual. Kawiyan mengatakan menjadi sangat tepat jika polisi memberlakukan beberapa UU untuk menghukum pelaku, yakni UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perindungan Anak, UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan UU No. 19 Tahun 2016 tentang ITE.
Kawiyan menyebut anak-anak yang merupakan masa depan bangsa memiliki hak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang sesuai dengan harkat dan martabatnya. Anak-anak yang menjadi korban harus diberikan penanganan secara cepat, pendampingan psikososial, pendampingan psikologi dan sosial.
Pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga lain bertanggung jawab atas penanganan dan pemulihan anak-anak yang menjadi korban pornografi jaringan internasional tersebut. Lembaga ini seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pemerintah Daerah (Unit Pelaksana Teknis Daerah/UPTD Kota Tangerang berperan dalam hal ini.
Saat ini, menurut Kawiyan, para korban tinggal bersama orang tua masing-masing. Mereka mendapatkan pemantauan/penanganan dari UPTD Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Tengerang, termasuk dalam pengawasan psikolog.
"Saat ini sudah banyak regulasi yang membatasi konten-konten negatif di jaringan digital. Tetapi masih banyak anak yang menjadi korban karena mengakses konten negatif atau bermain game online yang pada akhirnya memberi peluang kepada mereka untuk terjerumus judi online atau pornografi," kata dia.
Dalam hal ini, peran orang tua sangat penting untuk melakukan pengawasan, pendampingan, edukasi, literasi kepada anak-anak. Kawiyan mengatakan kasus ini menjadi pengingat orang tua untuk lebih waspada melakukan pengawasan.
Ayah dan ibu perlu waspada dalam hal memberi kesempatan kepada anak untuk menggunakan ponsel, media sosial, dan mengawasi buah hati dalam bergaul. Orang tua juga harus memantau apa saja yang dilihat anak-anak di ponsel mereka.
"Dampingi dan awasi anak-anak agar mereka bijak menggunakan ponsel," ujarnya.
Sebelumnya, Kepolisian Resor Kota Bandara Soekarno-Hatta mengungkap 3.870 video dan 1.245 foto porno yang melibatkan delapan anak Indonesia sebagai objek pelampiasan seksual jaringan internasional. Sebanyak lima pelaku ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pornografi ini.