MK Hapus PT 4 Persen, Anies: Harusnya Begitu, Putusan MK untuk Pemilu Berikutnya
Anies menyinggung putusan MK soal batas usia cawapres yang tidak fair.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Calon presiden (capres) nomor urut 01 Anies Baswedan mengomentari tentang Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) 4 persen. Menurut Anies, keputusan yang bakal mulai berjalan pada Pemilu 2029 itu dinilai fair.
"Menurut saya memang begitu, ya. Kalau dibuat keputusan itu, ya, untuk pemilihan berikutnya. Jadi kalau ada keputusan-keputusan MK itu, ya, untuk pemilu selanjutnya," kata Anies kepada wartawan di Jakarta Utara, Jumat (1/3/2024).
Mantan gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 tersebut lantas menyinggung soal keputusan MK sebelumnya yang dianggap tidak fair. Hal itu kaitannya dengan putusan MK mengenai batas usia capres/cawapres.
"Kan yang unik tuh gini, sudah diputuskan sekarang, langsung dipakai sekarang. Betul enggak? Pernah kejadian enggak? Nah yang bikin keramaian kan gitu, tapi kalau diputuskan MK untuk berikutnya, itu namanya fair play karena semua punya kesempatan," tutur dia.
Lebih lanjut, Anies mengaku dirinya memang tidak begitu paham mengenai angka minimal PT karena bukan 'orang partai'. "Tentang angkanya, partai politik yang lebih tahu tapi cara memutuskan yang seperti inilah yang benar," ujarnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian gugatan uji materi Perludem mengenai ketentuan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 4 persen suara sah nasional yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan dalam Sidang Pleno MK yang dipantau secara daring.
Digugat Perludem...
MK memutuskan norma Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu adalah konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk Pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya, sepanjang telah dilakukan perubahan ambang batas parlemen dengan berpedoman pada persyaratan yang telah ditentukan.
Dalam perkara ini, Perludem menggugat frasa ‘partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit empat persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR’.
Perludem ingin norma pada pasal tersebut diganti menjadi “Partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara efektif secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR dengan ketentuan: a. Bilangan 75 persen dibagi dengan rata-rata besaran daerah pemilihan, ditambah satu, dan dikali dengan akar jumlah daerah pemilihan; b. Dalam hal hasil bagi besaran ambang parlemen sebagaimana dimaksud huruf a menghasilkan bilangan desimal, dilakukan pembulatan”.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra, MK tidak menemukan dasar rasionalitas dalam penetapan besaran angka atau persentase paling sedikit empat persen dimaksud dalam pasal tersebut.
Saldi juga menyebut angka ambang batas parlemen tersebut juga berdampak terhadap konversi suara sah menjadi jumlah kursi DPR yang berkaitan dengan proporsionalitas hasil pemilu.
Sebagai contoh, MK memaparkan, pada Pemilu 2004, suara yang terbuang atau tidak dapat dikonversi menjadi kursi adalah sebanyak 19.047.481 suara sah atau sekitar 18 persen dari suara sah secara nasional.
Tak mereduksi hak rakyat...
Kebijakan ambang batas parlemen dinilai telah mereduksi hak rakyat sebagai pemilih. Hak rakyat untuk dipilih juga direduksi ketika mendapatkan suara lebih banyak, namun tidak menjadi anggota DPR karena partainya tidak mencapai ambang batas parlemen.
“Hal demikian disadari atau tidak, baik langsung atau tidak telah mencederai kedaulatan rakyat, prinsip keadilan pemilu, dan kepastian hukum yang adil bagi semua kontestan pemilu, termasuk pemilih yang menggunakan hak pilih. Berdasarkan hal tersebut, dalil pemohon yang pada pokoknya menyatakan ambang batas parlemen dan/atau besaran angka atau persentase ambang batas parlemen yang tidak disusun sesuai dengan dasar metode dan argumen yang memadai pada dasarnya dapat dipahami oleh Mahkamah,” jelas Saldi.
Sementara itu, rekomendasi norma yang diajukan oleh Perludem dalam petitum, tidak dapat dikabulkan oleh MK karena hal tersebut merupakan bagian dari kebijakan pembentuk undang-undang untuk dirumuskan lebih lanjut.