Pembatasan Produksi Bahan Bakar Fosil, Efektif Atasi Perubahan Iklim?
Bahan bakar fosil berpotensi menghasilkan lebih dari satu gigaton karbon dioksida.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para aktivis iklim AS kerap berunjuk rasa untuk menghentikan proyek batu bara, minyak, atau gas fosil yang berpotensi menghasilkan lebih dari satu gigaton CO2. Proyek-proyek besar yang kemudian dilabeli sebagai bom karbon ini telah eksis selama bertahun-tahun, dan meliputi jaringan pipa Keystone XL, Proyek Willow, serta terminal ekspor gas alam seperti CP2 di Louisiana.
Di sisi lain, kelompok kanan dan kiri moderat kerap mendukung proyek tersebut. Kelompok ini beranggapan, jika AS tidak memproduksi bahan bakar fosil, maka negara lain yang akan melakukannya. Atau, dalam kasus gas alam, gas alam akan digantikan oleh energi yang lebih kotor yang dihasilkan oleh batu bara.
Lantas siapa yang benar? Kebenarannya sangat rumit. Beberapa ekonom berpendapat bahwa kebijakan mengurangi permintaan akan bahan bakar fosil, dibandingkan pasokannya, akan lebih efektif. Namun, kebijakan semacam itu juga tidak sempurna dan sulit secara politis.
Penggunaan bahan bakar fosil - batu bara, minyak dan gas - merupakan pendorong utama perubahan iklim, yang pada gilirannya berkontribusi pada badai dan banjir yang lebih intens dan merusak, serta kekeringan, kebakaran, dan kerawanan pangan.
Kebijakan iklim dapat dilakukan dalam beberapa bentuk, termasuk kebijakan yang mencoba membatasi pasokan bahan bakar fosil dan kebijakan yang mencoba mengurangi kebutuhan kita akan sumber energi tersebut. Kredit pajak energi terbarukan, mandat untuk beralih ke sumber listrik yang ramah lingkungan, dan membuat rumah, bangunan, dan transportasi yang lebih hemat energi dapat mengurangi kebutuhan bahan bakar fosil.
Membatasi pasokan melibatkan kebijakan seperti menetapkan batas jumlah bahan bakar yang dapat diproduksi atau diekspor atau memblokir proyek bahan bakar fosil tertentu.
Kebijakan dari sisi pasokan juga sering kali menjadi berita utama. Para aktivis iklim mengecam pemerintahan Biden atas persetujuannya terhadap Proyek Willow, sebuah usaha pengeboran minyak ConocoPhillips di Alaska. Proyek ini diperkirakan akan menghasilkan 576 juta barel minyak selama 30 tahun.
Di sisi lain, para aktivis iklim mengapresiasi langkah pemerintah untuk menghentikan persetujuan baru untuk beberapa proyek gas alam. Mereka juga mendesak pemerintah untuk menolak proyek yang diusulkan bernama Calcasieu Pass 2 (CP2), yang dapat mengekspor 20 juta ton gas alam per tahun, yang setara dengan hampir seperempat ekspor tahunan AS saat ini.
Shaylyn Hynes, juru bicara Venture Global LNG, perusahaan di balik CP2, mengatakan dalam sebuah email bahwa para aktivis yang menentang proyek ini sama sekali tidak realistis. Hynes menilai, penundaan persetujuan ekspor gas baru akan menyebabkan emisi global yang lebih tinggi dan membahayakan keamanan energi.
Sementara itu, Stevie O'Hanlon, direktur komunikasi Sunrise Movement, sebuah kelompok aktivis iklim yang dipimpin oleh generasi muda, menyatakan bahwa produksi minyak dan gas di AS terus meningkat di bawah pemerintahan Joe Biden membuat generasi muda frustasi. Terlebih, generasi muda tersebut dulunya mendukung pemilihan Biden.
“Melihat seseorang yang banyak dari kita kampanyekan, dan dipilih pada tahun 2020, yang berjanji untuk mengambil tindakan terhadap perubahan iklim, ternyata malah mendukung bom karbon dalam produksi minyak dan gas," kata O'Hanlon seperti dilansir The Hill, Rabu (6/3/2024).
O'Hanlon mengatakan bahwa organisasinya berfokus pada proyek-proyek besar karena, setidaknya dalam beberapa kasus, pemerintah memiliki kontrol lebih besar terhadap proyek-proyek tersebut.
"Apa yang dapat dilakukan Joe Biden saat ini adalah menggunakan kekuasaan eksekutifnya, seperti yang ia lakukan dengan jeda ekspor LNG, untuk menghentikan langkah kita ke arah yang salah dengan produksi bahan bakar fosil," kata dia.
O'Hanlon juga mencatat bahwa keprihatinan lingkungan dari komunitas lokal tentang polusi dan kerusakan lahan juga telah menjadi kekuatan pendorong di balik beberapa gerakan anak muda. Ia menunjuk pada penentangan dari beberapa komunitas Pribumi di dekat Proyek Willow, yang menilai proyek itu sebagai sebagai sumber frustasi.
Lebih lanjut, para ekonom juga telah memperdebatkan apakah dan sejauh mana pembatasan produksi bahan bakar fosil di AS bermanfaat bagi iklim. Brian Prest, seorang ekonom dan rekan di lembaga thinktank iklim Resources for the Future, berpendapat bahwa secara umum, membatasi produksi bahan bakar fosil membuat harga bahan bakar tersebut menjadi lebih tinggi, sehingga mengurangi permintaan dan emisi.
"Harga yang lebih tinggi membuat, misalnya, kendaraan listrik menjadi lebih menarik. Anda melihat adanya substitusi dari bahan bakar minyak untuk pemanas ke sumber pemanas lainnya, baik itu heat pump atau gas,” kata Prest.
Prest menilai, mengatakan bahwa kombinasi pengurangan produksi dan konsumsi bahan bakar fosil merupakan strategi terbaik untuk memerangi perubahan iklim.
Masalah lain yang terkait dengan kebijakan yang membatasi pasokan bahan bakar fosil adalah, setidaknya dalam jangka pendek, kebijakan tersebut dapat menaikkan harga energi. Lalu memberikan dampak yang tidak proporsional terhadap masyarakat dan negara-negara termiskin.
“Kenaikan harga energi sangat regresif. Hal ini lebih berdampak pada rumah tangga berpendapatan rendah, dan negara-negara berpendapatan rendah dibandingkan dengan rumah tangga berpendapatan tinggi di negara-negara berpendapatan tinggi. Jadi jika kita melarang ekspor, itu merupakan kebijakan yang sangat regresif di seluruh dunia,” kata Christopher Knittel, wakil direktur kebijakan di MIT Energy Initiative.